Keutamaan Menebar Salam

Dimas Cokro Pamungkas
Suatu hari ketika Abdullah bin Umar RA pergi ke pasar dan mengucapkan salam pada setiap orang yang dijumpainya, seseorang bertanya padanya. “Apa yang engkau lakukan di pasar wahai Ibnu Umar? Engkau tidak berniaga, tidak juga membeli sesuatu dan tidak menawarkan dagangan, engkau juga tidak bergabung dalam majelis orang-orang di pasar.”

Ibnu Umar menjawab, ”Sesungguhnya aku pergi ke sana hanya untuk menyebarkan salam pada orang yang aku jumpai.”

Makna yang tersirat dalam kisah tersebut adalah keutamaan menyebarkan salam karena merupakan adab yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Muslim.

Salam bukanlah sekadar tradisi pada pembukaan dan penutupan suatu acara semata, ataupun disampaikan pada orang-orang tertentu saja. “Islam yang baik adalah memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal.” (HR Bukhari dan Muslim).

Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar terhadap amalan salam, beliau memotivasi umatnya untuk senantiasa menanamkan dan mempraktekkan salam dalam kehidupan sehari-hari. “Apabila Rasulullah mendatangi suatu kaum, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka sebanyak tiga kali”(Riwayat Bukhari).

Selain itu, kaidah-kaidah menebar salam telah diatur Rasulullah dalam banyak Haditsnya, Bahkan banyak para ahli Hadits mengkhususkan dan meletakkannya dalam satu bab tersendiri yang biasa disebut “Kitab Salam” ataupun “Bab Salam”.

Allah SWT juga memerintahkan kita untuk saling menebar salam, terutama ketika kita sedang bersilaturahmi ke rumah seseorang. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS an Nur [24]: 27).

Dan sesungguhnya salam yang kita sebarkan adalah doa untuk orang yang mendengarnya dan juga doa untuk diri kita sendiri. “…Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya), yang artinya juga memberi salam kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagimu, agar kamu memahaminya. (QS [24]: 61).

Inilah pentingnya kita sebagai umat Muslim untuk saling menebar salam di antara kita, baik itu di pasar, di perjalanan, di masjid dan di manapun ketika kita bertemu dengan siapapun, terlebih-lebih bertemu saudara seiman. Menebar salam dengan ikhlas dapat menjaga keimanan dan menumbuhkan ikatan cinta yang kuat dalam kehidupan umat Muslim.

“Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang jika kalian lakukan, kalian akan saling mencintai? Sebarkan salam di antara  kalian.” (Riwayat Muslim).

Betapa indahnya ukhuwah Islamiyah ketika masing-masing kita saling menebar salam yang baik lagi santun. Dan Allah telah menyiapkan tempat yang mulia bagi siapapun yang selalu menebar salam. “Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah mereka yang memulai salam.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
(Zainal Arifin)


Terlena Tipu Daya Harta

Dimas Cokro Pamungkas
Abdullah bin Ma’lam bertutur: “Ketika kami berhaji dan keluar dari Madinah, tiba-tiba kami bersua dengan seseorang dari suku Bani Hasyim dari Bani Abbas bin Abdul Muthallib. Ia menolak dunia dan fokus sepenuhnya untuk akhirat. Kemudian aku dan ia disatukan dalam suatu perjalanan, dan aku merasa nyaman bersamanya.”

Abdullah menyapanya. “Apakah Anda bisa naik kendaraan bersama saya? Kebetulan saya ada tempat lebih.” Orang itu pun menjawab; “jazakallah khaira” (semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan) pada saya.”

Setelah merasa nyaman bersama saya, ia bercerita. “Saya adalah keturunan dari Bani Abbas. Dulu saya tinggal di Basrah, mempunyai kemuliaan, kenikmatan, kekayaan yang melimpah, dan kemewahan hidup.''

Ia melanjutkan, ''Suatu hari saya menyuruh pelayan agar mengisi kasur dan bantal dengan bahan sutera, yang dihiasi pula dengan taburan bunga mawar. Pelayan pun melakukan apa yang kutitahkan,” ujarnya.

Begitu saya hendak tidur, ternyata ada cerocok bunga mawar yang tertinggal karena pelayan lupa merapikannya. Saya pun menderanya dengan sejumlah pukulan. Setelah cerocok itu dikeluarkan dari bantal, saya balik lagi ke tempat tidur.

Dalam tidur, saya bermimpi didatangi seseorang yang buruk rupa, seraya berkata; ‘Sadarlah dari pingsanmu, dan bangkitlah dari tidur lelapmu.’

Lantas dia menembangkan puisi: “Hai teman spesial, kini kau berbantalkan yang halus dan empuk. Namun setelah ini, kau beralaskan batu cadas yang keras. Maka bentangkan amal saleh untuk dirimu, sehingga kau bahagia. Jika tidak, esok engkau akan menyesal.”

Kemudian aku bangun dan terjaga, dengan dihantui kecemasan. Lalu aku keluar saat itu juga, dan lari menuju Rabb-ku.”
Medium atau sebab untuk meraih kesadaran dan pertobatan memang amat beragam. Misalnya, seseorang baru sadar jika ditimpa penyakit akut lalu sembuh, mengalami kecelakaan maut lantas selamat, bertemu dengan seseorang yang piawai dalam menyentuh tali jiwanya, karena perjalanan usia, atau lantaran mimpi— seperti tersimbul dari narasi di atas.

Terkadang, sebab itu datang sendiri menyelinap ke dalam hati seseorang yang dikehendaki Allah. (QS al-Qashash: 56). Maka berbahagialah mereka yang bisa mereguk kesadaran ini sebelum ajal tiba.

Memunculkan kesadaran akan Allah dan akhirat, hakikatnya memang hak prerogatif Allah. Di samping ia juga merupakan medan mujahadah seseorang. Beragam ujian seringkali menjadi dinding tebal untuk sampai kepadanya.

Selain kemiskinan, kekayaan juga merupakan perangkap yang kerap meninabobokan seseorang sehingga mereka terlena dalam kemaksiatan.

Ketika banyak orang dan tokoh high class terperosok dalam jurang kemaksiatan, seraya melupakan Allah dan Hari Akhir— seperti ramai diberitakan,—gambaran di atas mengajarkan hal penting.

Bagaimana keturunan Bani Hasyim yang berada dalam gemerlapnya kekayaan ini telah mengambil keputusan yang amat menentukan perjalanan hidupnya.

Hal ini jelas tak mudah, karena orang yang tidur itu tak sadar jika dirinya bermimpi, kecuali sudah bangun. Demikian pula orang yang lalai terhadap akhirat; ia tidak menyadari akan apa yang sudah disia-siakan kecuali setelah kematian menjemputnya.
(Makmun Nawawi)


Rizki Halal

Dimas Cokro Pamungkas
Suatu hari, ketika Rasulullah SAW pulang ke rumah, beliau mendapat sebutir kurma di tempat tidurnya. Beliau pun bermaksud untuk memakannya. Namun, belum sempat merealisasikannya, beliau membuang kurma itu.
“Aku khawatir kurma itu adalah kurma sedekah (zakat), maka aku membuangnya.” (HR Bukhari/2431, dan Muslim/1070, dari Abu Hurairah RA).

Dalam riwayat lain, sebagaimana ditulis Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi RA dalam karyanya Fadha`il al-A’mal (Keutamaan Beramal) disebutkan, suatu ketika Rasulullah SAW tak bisa memejamkam matanya sepanjang malam.
Beliau tampak gelisah, dan selalu mengubah posisi tidurnya. Namun, hal itu tak juga membuat beliau tertidur. Aisyah RA, istri Rasulullah kemudian bertanya penyebab beliau kesulitan memejamkan matanya untuk tidur.
Rasul menjawab; “Tadi ada sebutir kurma yang diletakkan di suatu tempat. Karena khawatir kurma itu terbuang sia-sia, maka aku memakannya.''

Rasul melanjutkan, ''Sekarang aku merasa khawatir dan menyesal, karena mungkin kurma itu dikirimkan ke sini untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin.” Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya sedekah itu halal bagi Muhammad dan keluarganya. (HR Muslim).

Saat ini, betapa banyak beredar makanan dan minuman yang tidak halal di sekitar kita. Kehalalan suatu makanan atau barang, bukan hanya zatnya saja, tapi juga dari cara mendapatkannya, mengolahnya, dan mengonsumsinya.

Ayam, misalnya, adalah hewan yang dihalalkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Walau demikian, tidak serta merta ayam halal dikonsumsi. Pertama, apakah ayam yang telah dimasak, sudah disembelih dengan menyebut nama Allah?

Kedua, apakah proses pengolahannya dan bahan-bahannya juga dari sumber yang halal? Ketiga, apakah ketika akan dikonsumsi (dimakan) juga dilakukan dengan cara-cara yang sesuai ajaran Islam?

Kita sering menemukan makanan atau minuman yang dibiarkan begitu saja. Tidak diketahui siapa pemiliknya. Namun, karena begitu membutuhkannya (haus atau lapar), acapkali kita langsung mencicipinya tanpa sepengetahuan dari sang pemilik makanan atau minuman tersebut.
Hal seperti ini juga merupakan perbuatan yang tidak dihalalkan, karena perbuatan itu sama dengan mencuri.

Allah SWT dan Rasul-Nya sudah memperingatkan kita, untuk selalu berhati-hati dengan makanan yang tidak halal. Sebab, sekecil apapun makanan atau minuman yang dikonsumsi dan tidak jelas kehalalannya, hal itu dapat mencegah seseorang dari wanginya bau surga. (HR Muslim).

Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, “Apa yang bisa melembutkan hati?” Beliau menjawab; “Makanan yang halal.” Makanan yang halal sangat memengaruhi corak dan isi hati seseorang. Jika tubuh manusia dibentuk dari sumber yang halal, maka hatinya akan berkembang penuh kelembutan. Sebaliknya, makanan dari sumber yang tidak halal, akan membuat hatinya keras dan mati.

Kita patut berhati-hati akan makanan dan minuman yang tidak halal. Rasulullah SAW menyampaikan; “Sungguh akan datang suatu masa, yaitu seseorang tidak lagi peduli darimana dia mendapatkan harta, apakah jalan halal atau haram.” (HR Bukhari). Wallahu a’lam.
(Syahruddin El-Fikri)




Keagungan Bismillah

Dimas Cokro Pamungkas
Setiap Muslim pasti pernah membaca bismillah atau bismillahirrahmanirrahim. Selain menjadi bacaan rutin atau harian, bismillah juga merupakan bacaan mulia yang didesain Allah SWT sebagai bacaan pembuka semua surat dalam Alquran kecuali surat at-Taubah atau al-Bar’ah.

Membaca bismillah memang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika kita hendak memulai aktivitas yang baik. Sabda Nabi, "Segala sesuatu (aktivitas yang baik) yang tidak dimulai dengan bismillah, akan terputus (nilai keberkahannya)". (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Dengan kata lain, kunci kebaikan dan pangkal keberkahan dalam meraih cita-cita mulia adalah membaca bismillah.

Bismillah bukan sekadar bacaan pembuka, tetapi merupakan zikir hati yang dapat memancarkan cahaya keagungan Sang Pencipta.

Menurut Bediuzzaman Said Nursi dalam karya monumentalnya, Rasail an-Nur, bismillah itu bacaan yang supermulia sehingga Allah SWT memilihnya sebagai bacaan pembuka bagi Kitab Suci-Nya, Alquran. Menurutnya, bismillah memiliki tiga keagungan yang indah dan perlu dimaknai oleh setiap Muslim.

Pertama, keagungan uluhiyyah (ketuhanan). Semua makhluk bersandar, bergantung, dan memerlukan pertolongan-Nya. Menyebut "Dengan nama Allah yang Mahapengasih Mahapenyayang" berarti meyakini sepenuh hati, Allah SWT adalah sumber kehidupan, poros kebajikan, tujuan pengabdian, dan muara segala nilai keberkahan.

Bismillah memberikan motivasi dan spirit ketuhanan untuk 'menghadirkan' dan 'mengikutsertakan' Tuhan dalam kehidupan kita. Bismillah adalah gerbang menuju keikhlasan dan harapan mulia, yaitu meraih mardhatillah (ridha Allah).

Membiasakan membaca bismillah sama dengan belajar untuk tidak melupakan Allah. Sebab lupa kepada Allah merupakan penyakit hati yang dapat menyebabkan kefasikan dan hilangnya keberkahan hidup ini.

"Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS Al-Hasyr [59]: 19).

Kedua, keagungan rahmaniyyah (kasih). Melafalkan bismillah merupakan doa bagi Muslim untuk memperoleh kasih-Nya yang tak terbatas. Bismillah  menjadi pintu tercurahnya rahmat Allah dalam menggapai kebahagiaan hidup ini.

"Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka Aku akan tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami." (QS Al-A'raf [7]: 156).

Ketiga, keagungan rahimiyyah (kasih sayang). Jika kasih Allah diberikan kepada semua makhluk-Nya, kasih sayang-Nya hanya diberikan kepada Muslim, terutama di akhirat kelak.

Bismillah menumbuhkan keyakinan kasih sayang Allah itu mengatasi segalanya, sehingga hanya Allah-lah yang akan memberi ampunan dan pertolongan pada hari perhitungan (yaumul hisab) nanti.
Dengan bismillah, Muslim diingatkan agar selalu beristighfar kepada-Nya karena Allah Mahapengampun dan Mahapenyayang.

Keagungan bismillah tidak hanya karena ia merupakan salah satu ayat dari surat Alfatihah, tapi juga induk Alquran itu sendiri.

Dari Abu Hurairah ra Nabi Muhammad saw bersabda: “Jika kamu membaca Alhamdulillah, maka bacalah Bismillahirrahmanirrrahim, karena ia adalah ummul Quran (induk Alquran) dan Assab’ul matsani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang atau Alfatihah), sedangkan bismillah itu termasuk salah satu ayatnya.” (HR Addaruqutni). 
Bismillah termasuk etika (adab) spiritual untuk 'menyapa' dan mengakrabkan diri dengan Allah SWT.

Keagungan bismillah  juga tercermin dari esensi al-Asma’ al-Husna (ar-Rahman ar-Rahim) yang terkandung di dalamnya. Bahkan dua nama dan sifat utama Allah ini sesungguhnya merupakan intisari dari al-Qur’an.

Dalam buku Kanzul ‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wal Af’al  karya ‘Ala’uddin al-Muttaqi dinyatakan  “Semua kitab suci yang pernah diturunkan oleh Allah itu (esensinya) ada dalam Alquran.

Semua yang ada dalam Alquran itu ada dalam surat al-Fatihah. Sedangkan semua yang ada dalam al-Fatihah itu ada dalam bismillah.”

Oleh karena itu, kita harus selalu membaca bismillah dalam memulai segala sesuatu yang positif agar aktivitas  kita bernilai ibadah dan mendapatkan berkah.

Kita pun harus yakin aktivitas yang didahului dengan bismillah  dapat mendatangkan kebaikan dan kemuliaan; sebaliknya bismillah dapat menjauhkan kita dari kesia-siaan dan boleh jadi kemaksiatan.
(Muhbib Abdul Wahab)


Takdir

Dimas Cokro Pamungkas
Hidup manusia tidak pernah lepas dari takdir Allah. Namun, takdir sering disalah-pahami dan dimaknai sebagai suratan nasib baik maupun buruk. Padahal, takdir merupakan sistem manajemen Ilahiyah yang dirancang sedemikian rupa oleh Allah untuk semua makhluk-Nya di alam raya ini.

Desain Allah itu terkait erat dengan hukum kausalitas (sebab-akibat) dan proses alamiah tertentu. Karena itu, manusia wajib meyakini adanya takdir dalam arti ukuran, kadar, kekuatan, dan ketentuan tertentu yang berlaku bagi makhluk-Nya. 

Kata takdir dalam berbagai bentuknya digunakan Alqur’an tidak kurang 132 kali. “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia pula yang menentukan ukuran/tingkatannya dengan sebaik-baiknya..” (QS al-Furqan [25]: 2).

Para makhluk, termasuk manusia, tidak dapat melampaui batas takdir, dan Allah SWT menuntun mereka ke arah yang seharusnya mereka tuju. “Sucikanlah nama Tuhanmu yang Mahatinggi, yang menciptakan (semua makhluk) dan menyempurnakannya, yang memberi takdir kemudian mengarahkannya.” (QS al-A’la [87]: 1-3).

Benda-benda langit (planet), misalnya, beredar sesuai dengan garis edar secara tertib dan konstan. “Dan matahari beredar menurut sumbu edarnya. Yang demikian itu adalah karena takdir (ketentuan) dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamengetahui. Begitu juga bulan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah (posisi), sehingga setelah sampai kepada manzilah yang terakhir kembalilah dia seperti bentuk tandan yang tua.” (QS Yasin [36]: 38-39).

Takdir Allah SWT kepada semua makhluk-Nya pada dasarnya dapat dipelajari melalui pengamatan qadar yang ada pada  setiap makhluk.      

Oleh karena itu, salah satu tugas kekhalifahan manusia di alam raya ini adalah menemukan hukum kausalitas atau memahami proses terjadinya sesuatu yang berjalan dengan sistem Ilahiyyah yang rutin, objektif, dan konstan atau tidak ada perubahan dari masa ke masa.

Dengan demikian, takdir Allah pada makhluk-Nya menuntut manusia untuk selalu mengamati, menyelidiki, meneliti, dan menundukkan hukum-hukum kausalitas itu demi kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia.

Di antara benda cair ciptaan Allah adalah air. Ia cenderung mencari dan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Air dapat meresap ke dalam tanah, dan dapat ditahan oleh akar-akar pepohonan.

Aliran air dalam debit tertentu akan menghasilkan energi. Semakin besar volume air yang mengalir semakin besar pula energi yang ditimbulkan. Air yang mengalir dari perbukitan (gunung) yang gundul akan dapat menimbulkan banjir bandang dan tanah longsor.

Air yang dikelola dalam bendungan, dapat dialirkan dan digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. Semua itu adalah takdir Allah terhadap air.

Jika manusia dapat memahami 'perilaku air' dengan segala hukum kausalitasnya, niscaya air akan menjadi bermanfaat dan berkah.
Sebaliknya, jika manusia tidak dapat memahaminya, air justeru akan dapat menimbulkan musibah seperti: banjir bandang, tanah longsor, dan sebagainya.
           
Suatu ketika  Umar bin al-Khattab berniat mengunjungi negeri Syam (sekarang: Suriah, Palestina, Lebanon, dan Yordania). Karena di Syam sedang berjangkit wabah penyakit yang berbahaya, ia membatalkan rencananya.

Pada saat itu, ada seorang sahabat bertanya: “Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Allah?” Umar ra. menjawab: “Aku menghindar dari takdir Allah ke takdir-Nya yang lain”.

Berjangkitnya penyakit, banjir, dan aneka bencana lainnya terjadi karena adanya hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah. Setiap Muslim wajib berusaha untuk memilah dan memilih takdirnya sendiri-sendiri.

Manusia dapat menghindar dari satu takdir ke takdir yang lain melalui usaha serius dalam menemukan “penangkal takdir” yang tidak kita harapkan terjadi.

Kalau tidak ingin terjadi banjir, maka penanaman pohon harus digalakkan, penebangan pohon secara liar dan membabi buta (illegal logging) harus dihentikan, saluran air (drainase) dan sungai-sungai harus dibuat lancar dengan tidak membuang sampah dan limbah ke dalamnya.

Setiap Muslim wajib percaya kepada takdir Allah dan memilih yang terbaik darinya dalam rangka mewujudkan perubahan sosial yang konstruktif: “Allah tidak akan merubah apa yang terjadi pada suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang melakukan perubahan…” (QS al-Ra’d [13]: 11).

Mengimani takdir mengharuskan setiap Muslim untuk selalu menyeimbangkan antara pikir dan zikir, antara iman, ilmu, dan amal, usaha dan doa, sehingga mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan di muka bumi Indonesia tercinta ini.
(Muhbib Abdul Wahab)


Do'a

Gus Dimas
Murah, mudah, tapi didengar oleh Allah. Itulah doa. Hanya kebanyakan manusia tidak terlatih untuk berdoa. Kapan manusia berdoa? Biasanya kalo sudah mentok.
Sudah nggak ada jalan. Sudah nggak tahu harus berbuat apa. Sudah nggak paham mesti ke mana dan melakukan apa. Barulah mereka berdoa.

Karena itu, barangkali Allah menghadirkan kesulitan, kesusahan, penyakit. Di antara hikmah berdoa adalah Allah ingin mendengar suara perlunya kita sama Kuasa Allah, kebesaran-Nya, ampunan-Nya, dan Kasih Sayang-Nya. Yakni suara orang-orang yang benar-benar perlu dan membutuhkan Allah.

Dan sejatinya Allah menghadirkan masalah dan hajat supaya manusia terus terhubung dengan Allah. Perlu terus sama Allah. Nggak pernah putus.

Di dalam kehidupan sehari-hari, kita terlalu mengandalkan duit, harta benda, keluarga, kawan, jalan ikhtiar. Jarang mengandalkan doa. Padahal doa itu di atas semuanya. Betul kita tetap perlu akan harta, keluarga, kawan, dan lainnya.

Namun kiranya, doa harusnya menjadi yang utama dan pertama. Mengandalkan Allah di semua kebutuhan dan keperluan. Mengandalkan Allah dalam semua urusan. Sehingga, kita jadi perlu, penting, dan terbiasa dengan doa.

Seorang anak meminta bola sama ayahnya. Ayahnya mengenalkan anaknya kepada Allah. "Allah yang punya bola, sekaligus yang punya lapangannya, yang punya kaki semua yang main dan tidak main bola. Allah pula yang punya semua lapangan bola, di seluruh dunia ini," kata ayahnya. Ia pun mengajak anaknya berdoa. "Minta sama Allah ya... Nanti ayah temenin."

Diajaknya anak lelaki kesayangannya, ke rumah Allah, yakni masjid. Disuruh dan diajarkannya anak ini berdoa. Indah sekali. Kita bahkan tidak mengajarkan diri kita meminta sama Allah. Bagaimana bisa mengajarkan anak meminta sama Allah?

Besoknya, ayah dan anak ini pergi ke mal. Alhamdulillah, ada bola. Tapi mahal, dan duit untuk membeli bola tidak cukup. Diajaknya sang anak ke pasar tradisional. Alhamdulillah, bolanya nggak ada karena sudah habis.

Sang ayah lalu mengajak anaknya bersabar. Berdoa terus, meminta terus. Nanti Allah yang akan memberi, baik itu duitnya, kesempatannya, atau bolanya. Keajaiban doa datang. Keajaiban yang tidak bisa dibeli dengan duit, bahkan keajaiban ikhtiar.

Anak lelakinya ini terpilih masuk klub bola di sekolahnya. Semua biaya operasional ditanggung. Dia dapat seragam, dapat kaos kaki baru, dapat sepatu baru.
Dan nggak perlu membeli bola. Inilah keajaibannya. Ketika sang anak meminta satu barang, subhanallah, Allah malah memberinya satu paket.

Allah sudah berjanji. Allah akan memberi kepada siapa saja hamba-Nya yang mau berdoa, yang mau meminta. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (QS al-Baqarah [2]: 186).

Nah, saudaraku semua, bagaimana dengan Anda? Mau mencoba kekuatan doa?
(Ustaz Yusuf Mansur) 


Mencoba Jadi Pemaaf

Gus Dimas
Dalam mengarungi kehidupan, setiap manusia selalu menginginkan bisa diperlakukan dengan sopan dan baik. Namun kenyataannya, kita sering dikecewakan.

Misalnya, ada orang yang hutang kepada Anda. Walau sudah jatuh tempo dan Anda sangat membutuhkan uang tersebut, namun Anda kesulitan untuk menghubunginya, apalagi mendapatkan uang yang merupakan hak Anda.

Anda selalu dijanjikan bahwa yang bersangkutan akan segera melunasi utangnya. Namun, janji hanyalah janji, dan lebih sering meleset (tidak ditepati).

Terkadang, aib Anda dibuka dan disebarkan oleh teman dekat sendiri. Terkadang teman dekat Anda berbohong kepada orang lain dan menimpakan kesalahannya kepada Anda agar ia tetap bisa menjaga hubungan baik dengan orang tersebut. Seseorang memarahi Anda dengan kasar atas kesalahan kecil atau mungkin Anda tidak salah.

Allah memerintahkan kita agar selalu bisa memaafkan kesalahan orang lain. Namun kita juga diperintahkan untuk memperbaikinya dengan doa dan menasehatinya dengan bijaksana. "Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh." (QS al-A'raf [7]: 199).

Sebagaimana kita ingin diperlakukan dengan baik oleh manusia, hendaknya kita bisa memperlakukan orang lain dengan baik pula. Orang yang suka memperlakukan orang lain dengan buruk, ia pasti akan menuai hasilnya dengan kebutukan pula. “Dan perintahlah orang lain untuk berbuat makruf."

Imam Ath-Thabari berkata, "Di antara contoh perbuatan makruf adalah bersilaturahim kepada orang yang telah memutuskan hubungan dengan kita, memberi kepada orang yang tidak mau memberi, dan memaafkan orang yang telah menzalimi kita.”

Kesimpulannya, setiap amalan yang diperintahkan Allah, maka itu semua termasuk perbuatan makruf. Allah tidak mengkhususkannya dengan perbuatan tertentu. Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengajak hamba-hamba-Nya agar mengerjakan perbuatan makruf."  (Tafsir Ath-Thabari, Juz 6, hlm 154).

Dari Abu Hurairah RA, seseorang berkata kepada Nabi SAW; "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai famili yang selalu saya hubungi tetapi mereka memutuskan hubungan denganku. Saya berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka membalas kebaikanku dengan berbuat jahat. Saya berusaha sabar dalam hal ini, tapi mereka selalu usil dan berbuat kebodohan kepadaku.

Nabi SAW menjawab; "Apabila keadaanmu benar seperti apa yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau menaburkan abu panas kepada mulut mereka dan engkau selalu mendapatkan pertolongan Allah atas mereka selama engkau tetap berbuat yang demikian." (HR Muslim).

Memaafkan termasuk tanda orang yang bertakwa. "Mereka (orang-orang yang bertakwa) itu orang-orang yang menginfakkan hartanya baik di saat lapang maupun sempit, yang menahan amarah dan yang suka memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah cinta kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS Ali Imran [3]: 134).
(Fariq Gasim Anuz)


Sholat Tahajud

Gus Dimas
Setiap Muslim seharusnya memiliki keinginan yang kuat untuk melaksanakan shalat Tahajud setiap malam hingga menjadi terbiasa.
Orang-orang saleh zaman dahulu tekun menjalankannya, baik pada musin panas maupun dingin. Mereka memandang seolah-olah shalat Tahajud itu adalah sesuatu yang wajib (HR Tirmidzi).

Jika terlewatkan sekali saja mereka menganggap itu sebagai musibah yang besar baginya. Pastinya, selain sebagai ’mesin keimanan’, Tahajud memberikan banyak manfaat besar dalam kehidupan mereka yang istikamah menjalankannya.

Di antaranya, pertama, untuk menjaga kesehatan. Tidak diragukan lagi bahwa shalat Tahajud menjadi terapi pengobatan terbaik dari berbagai macam penyakit. Oleh karena itu, orang-orang yang membiasakan diri untuk shalat Tahajud akan memiliki daya tahan tubuh sehingga tidak mudah terserang penyakit.

Rasulullah SAW bersabda, “Lakukanlah shalat malam karena itu adalah tradisi orang-orang saleh sebelum kalian, sarana mendekatkan diri kepada Allah, pencegah dari perbuatan dosa, penghapus kesalahan, dan pencegah segala macam penyakit dari tubuh.” (HR Tirmidzi).

Kedua, menjaga ketampanan atau kecantikan. Setap manusia pasti mendambakan ketampanan/kecantikan dalam dirinya. Nah, melalui terapi shalat Tahajud, seseorang dapat meraih apa yang didambakannya, tanpa mengeluarkan biaya sepersen pun.

Yaitu jaminan ketampanan/kecantikan yang dihasilkan dari shalat Tahajud, tidak terbatas pada tampilan lahir, juga dapat menghasilkan ketampanan/kecantikan batin.

Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang banyak menunaikan shalat malam, maka wajahnya akan terlihat tampan/cantik di siang harinya.” (HR Ibnu Majah).

Ketiga, meningkatkan produktifitas kerja. Selain manfaat untuk kesehatan dan merawat ketampanan/kecantikan, shalat Tahajud juga diyakini dapat meningkatkan produktifitas kerja yang berbasis spiritualitas.

Oleh karena itu, salah satu program untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang handal secara intelektual, emosional, dan spiritual adalah membiasakan shalat Tahajud pada setiap malamnya.

Rasulullah SAW bersabda, ”Setan membuat ikatan pada tengkuk salah seorang di antara kalian ketika tidur dengan tiga ikatan dan setiap kali memasang ikatan dia berkata: ”Malam masih panjang, maka tidurlah”.
Jika orang tadi bangun lalu berdzikir kepada Allah SWT, maka terlepas satu ikatan, jika dia berwudhu, maka terlepas satu ikatan yang lainnya, dan jika dia melaksanakan shalat, maka terlepas semua ikatannya.

Pada akhirnya dia akan menjadi segar (produktif) dengan jiwa yang bersih, jika tidak, maka dia akan bangun dengan jiwa yang kotor yang diliputi rasa malas.” (HR Bukhari).

Keempat, mempercepat tercapainya cita-cita dan rasa aman. Selain dengan usaha (ikhtiar) secara maksimal guna menggapai cita-cita dan rasa aman, seseorang hendaknya membiasakan diri untuk shalat Tahajud, karena doa yang mengiringi Tahajud akan dikabulkan oleh Yang Maha Mengabulkan.

Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu dan melakukan shalat.

Allah berfirman kepada para Malaikat-Nya, “Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?” Mereka menjawab, “Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu.” Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan (cita-citakan) dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.” (HR Ahmad).

Semoga Allah SWT membimbing kita untuk mendawamkan shalat Tahajud dan dapat merasakan manfaatnya. Amin.
(Imam Nur Suharno
)

Hati-Hati Bila Anda Kikir!

Gus Dimas
Sudah menjadi fitrah manusia untuk mencari harta selama hidup di dunia. Setiap manusia pasti berusaha mencari harta untuk mencukupi diri dan keluarganya.

Begitu halnya dengan sifat kikir atau pelit. Sifat ini juga sudah menjadi fitrah tersendiri bagi manusia. Namun hanya sedikit sekali dari kita yang mampu mengendalikan fitrah ini ke arah yang lebih dicintai oleh Allah.
   
Imam Ibnu Jauzi dalam kitabnya at-Thibbu ar-ruhi mendefinisikan kikir sebagai sifat enggan menunaikan kewajiban. Baik itu bersifat harta benda atau jasa.
   
Pada praktiknya, sifat kikir banyak ditemui saat seseorang mimiliki kecukupan harta. Di saat inilah manusia diuji untuk saling berbagi.

Jika orang tersebut memiliki keimanan yang kuat, sudah tentu dia dengan mudah mengeluarkan hartanya untuk sesama. Namun jika tidak maka sifat kikir dan hobi menumpuk-numpuk harta telah menguasai jiwanya.

Rasulullah saw pernah bersabda, “Tidak ada penyakit (hati) yang lebih berbahaya dari sifat kikir.” Hadis ini dengan jelas menerangkan bahwa penyakit kikir bukanlah penyakit yang biasa.

Setidaknya ada tiga bahaya besar dari penyakit kronis ini. Pertama, kikir senantiasa menjadikan majikannya menjadi orang yang cinta terhadap dunia secara berlebihan.

Kedua, menghilangkan sifat peduli terhadap mereka yang tidak mampu dan membutuhkan.
   
Ketiga, sifat kikir menularkan sikap hobi menimbun-nimbun harta.

Untuk itu Imam Ibnu Jauzi memberikan beberapa obat penangkal dari sifat kikir. Pertama, senantiasa merenungi bahwa mereka yang tidak mampu juga masih merupakan saudara kita. Karena manusia berasal dari nenek moyang yang sama yaitu Adam as

Kedua, mensyukuri atas segala kelebihan yang telah Allah beri. Wallahu a’lam
(Reza Pahlevi)


Kunci Hidup Berkah

Gus Dimas
Setiap Muslim pasti mendambakan kehidupan yang penuh keberkahan. Berkah, dalam bahasa Arab disebut barakah, yakni kebaikan yang melimpah (al-khair al-wafir). Muslim yang mengucapkan salam berarti mendoakan hidup penuh kedamaian, kasih sayang, dan keberkahan. Hidup penuh berkah menjadi limpahan kebaikan dan selalu mendapat petunjuk Allah SWT.

Menurut Iman Maghazi al-Syarqawi, hidup penuh berkah itu dapat diaktualisasikan dengan meneladankan enam sikap dan sifat terpuji. Pertama, membiasakan sifat malu yang positif. Malu (al-haya') adalah kunci keutamaan sebab rasa malu membuat Muslim bersikap hati-hati untuk tidak berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah SAW pernah memberi nasihat kepada para sahabatnya. "Hendaklah kalian merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya." Para sahabat menimpali, "Alhamdulillah, kami sudah merasa malu kepada Allah, ya Rasul."

Rasul lalu menyatakan, "Tidak, kalian belum merasa malu. Orang yang betul-betul merasa malu di hadapan Allah hendaklah menjaga kepala berikut isinya (pikiran positif), menjaga perut berikut isinya (makanan dan minuman yang halal dan thayib), dan mengingat mati serta musibah. Siapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat, hendaklah meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang sudah melakukan itu semua, berarti telah betul-betul memiliki rasa malu." (HR Tirmidzi).

Kedua, bersyukur karena ia merupakan kunci peningkatan rezeki. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, syukur merupakan pujian dan pengakuan hamba terhadap nikmat Allah yang disertai rasa cinta dan ketaatan kepada-Nya. (QS Ibrahim [14]: 7).

Ketiga, tutur kata dan komunikasi yang baik (al-kalam al-thayyib). Hal ini merupakan kunci terbukanya hati dan pikiran. Komunikasi dan tutur kata yang baik adalah sedekah. Sedekah yang paling ringan dan mudah adalah memberi senyuman kepada sesama.

"Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan, maka kalian akan dapat saling mencintai? Nabi SAW bersabda: ‘Tebarkanlah salam di antara kalian’.” (HR Muslim).

Keempat, berbakti kepada kedua orang tua. Sikap ini merupakan kunci keridhaan dan kesuksesan hidup. Keridhaan dan doa orang tua merupakan pintu masuk segala kebaikan dan keberkahan hidup.

Kelima, menghiasi diri dengan sifat qanaah (merasa berkecukupan). Sifat ini merupakan kunci kekayaan. Orang yang bersifat qanaah tidak akan serakah dan egois sehingga ia tidak mudah tergoda oleh kekayaan duniawi.

Keenam, konsisten dan teguh pendirian (al-mudawamah wa al-istiqamah) dalam berdoa. Doa adalah kunci segala kebaikan dan ketenteraman jiwa. Doa adalah kekuatan dan energi spiritual hamba kepada Allah. Dengan doa, seorang Muslim mengembalikan segala persoalan kepada Allah SWT.

Kunci semua itu adalah aktualisasi iman, ilmu, amal, dan takwa sebagai modal spiritual dan kendaraan keberkahan hidup. Jika keduanya diaktualisasikan dengan baik, niscaya janji Allah pasti akan dipenuhi. (QS al-A'raf [7]: 96).

Meraih hidup penuh berkah harus senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya sekaligus mendekatkan diri dengan sesamanya melalui kesalehan personal, ritual, dan kesalehan sosial serta moral.
(Muhbib Abdul Wahab)





Bicaralah Seperlunya

Gus Dimas
Diriwayatkan, ketika anak cucu Adam semakin berkembang, mereka ramai berbicara di sampingnya, Adam hanya diam. Mereka pun bertanya, “Wahai Ayah, mengapa engkau tak mau berbicara?”

Adam menjawab, ”Duhai anak-anakku, ketika Allah SWT mengeluarkan aku dari sisi-Nya, Dia mengamanatkan kepadaku, seraya berfirman, 'Janganlah kamu banyak berbicara, maka kamu pun akan kembali lagi ke sisi-Ku'.”

Diam atau sedikit berbicara memang bukan hanya emas, tapi juga menjadi suatu cermin dari pribadi yang berintegritas tinggi. Karena sikap diam atau sedikit bicara tak identik dengan kebodohan atau ketidaktahuan. Diam, dalam banyak keadaan, justru menyiratkan pemikiran yang dalam dan dinamis dari pemiliknya.

Ali RA berujar, Ashamtu raudhatul-fikr (diam adalah taman berpikir). Itulah sebabnya mengapa ulasan tentang fadhilatush-shamt (keutamaan diam) diletakkan dalam bab khusus pada kajian akhlak, tazkiyatun nafs (tasawuf). Man shamata naja (Siapa yang diam, maka ia selamat).” (HR Tirmidzi).

Seperti narasi di atas, sedikit berbicara juga bisa mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang ceriwis atau banyak berbicara tanpa ada faedahnya, bisa menjauhkan diri dari Allah. “Sebaik-baik ucapan adalah yang sedikit dan terarah.”

Tentang hebatnya sikap diam ini, kita juga bisa belajar dari cerita Nabi Zakaria AS. Walau sudah renta dan beruban, serta istrinya yang mandul. Dengan doa, ia pun dianugerahi anak, yaitu Nabi Yahya. Dan sesaat sebelum sang buah hati lahir, Nabi Zakaria diberikan tanda, yaitu diam dan tidak bercakap-cakap (QS Maryam: 10).

Karena itu, ungkapan 'diam menghanyutkan', seyogianya tak selalu dikonotasikan untuk hal-hal negatif, karena sikap diam juga bisa menjadi tangga menuju kesuksesan dan meraih prestasi yang patut dibanggakan.

Amr bin Qais mengisahkan, ketika Lukman al-Hakim sedang mengajar murid-muridnya, muncullah seseorang dan melewati majelisnya. Dengan nada heran, orang itu bertanya kepada Lukman: “Bukankah engkau hamba sahaya dari Bani Fulan?” Lukman membenarkannya.

Ia bertanya kembali: “Bukankah engkau si penggembala yang kulihat di gunung anu?” Lukman juga membenarkannya. Dengan penuh heran, orang itu kembali bertanya. “Lalu apa yang membuatmu berubah dan menjadi seperti ini?” Lukman menjawab: “Berkata jujur dan selalu diam dari hal-hal yang tak berguna.”

Kepada anaknya, Lukman juga berkata-seperti yang diriwayatkan dari Makhul, dari Ka'ab, “Duhai anakku, jadilah orang yang bisu tapi berpikir. Jangan jadi orang yang banyak bicara tapi bodoh. Biarlah air liurmu mengalir di atas dadamu, sementara engkau menahan dari ucapan yang tiada bermakna bagimu. Itu lebih indah dan lebih baik daripada engkau duduk bersama suatu kaum lalu engkau berbicara yang tiada manfaatnya bagimu.

Setiap amal ada penunjuknya, sementara penunjuk akal adalah berpikir, dan penunjuk berpikir adalah diam. Setiap sesuatu ada kendaraannya, dan kendaraan akal adalah tawadhu. Cukuplah engkau disebut bodoh, jika engkau menahan dari apa yang harus engkau arungi. Cukuplah engkau disebut berakal, jika manusia aman dari keburukanmu.”
(Makmun Nawawi)


Indah Dunia yang Memabukkan

Gus Dimas
Judul tulisan di atas merupakan kesimpulan dari penegasan Alquran dalam berbagai ayatnya, bahwa romansa dunia kerap menipu dan mempedaya manusia.

Maka tidak ada kata lain bagi kaum beriman, kecuali harus senantiasa waspada dan tidak terlena oleh megah dunia. Kaum beriman harus senantiasa sigap dengan segala pernik dunia yang kerap menjerumuskan dan menghancurkan.

Ingatlah firman Allah, “Dihiaskan pada manusia kecintaan yang diinginkan berupa wanita-wanita, anak-anak, harta melimpah dari jeis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang baik” (Ali Imron: 14).

Tidak kurang 117 kali Alquran menyebut kata ad-dunya. Semuanya mengacu pada peringatan keras bagi para pembaca Alquran agar memahami rupa dan pernik dunia, kedudukannya bagi hidup dan mati manusia, seberapa kebaikan, kelezatan, dan kemudaratannya, serta bagaimana cara kita mendapatkan dan menghindari dunia agar selamat.

Betapa gamblang penjelasan Alquran untuk keselamatan manusia itu. Jika mengacu pada surah Ali Imran di atas, maka ada berbagai rupa kenikmatan atau kesenangan dunia.
Pertama, berupa wanita. Persis sabda Rasulullah, “Dunia adalah kesenangan sementara, sedangkan sebaik-baik kesenangan sementara adalah wanita yang shalihah”.

Kedua, berupa anak-anak. Jelas anak-anak merupakan kebahagiaan, pewaris, pendoa, dan pembantu utama jika orangtua lanjut usia.

Ketiga, berupa harta yang banyak, seperti uang, emas, perak, dan harga tidak bergerak maupun bergerak.

Keempat, berupa kuda-kuda pilihan, dalam bahasa sekarang kendaraan, seperti mobil atau motor.

Kelima, binatang-binatang ternak, semacam kerbau, kambing, sapi, dan lainnya. Keenam, sawah atau ladang, termasuk perkebunan dan perhutanan.

Seluruhnya, itu adalah mata’ al-ghurur (kesenangan yang menipu). Dan ternyata tidak sedikit manusia yang tertipu olehnya. Mereka mengira dunia itu menyenangkan.

Jungkir balik mereka meraihnya, ternyata dunia malah menyusahkan dan membuat hidup mereka berantakan. Lihatlah para pelaku koruptor dan penyeleweng jabatan serupa yang wajahnya kerap menghiasi layar media negeri kita tercinta. Kesuksesan mereka atas gemerlap dunia justru menghasilkan petaka.

Itu karena mereka lupa bahwa kesenangan dunia amat sedikit (mata’ al-qalil). Terlebih jika dibanding kesenangan akhirat. Perbandingan itu sudah disebutkan dalam hadis, bahwa kesenangan dunia hanya setetes dari kesenangan akhirat. Atau seperti pisang, dimana kesenangan dunia hanya kulitnya sementara kesenangan akhirat adalah isi pisangnya itu sendiri.

Memang sebutan lain bagi dunia adalah sebagai zinah atau perhiasan (Al-Kahfi: 28 dan 46, Al-Qashas: 60). Tetapi, bukankah perhiasan hanya ornamen dan bukan esensi? Seperti hiasan ornamen pada rumah, esensinya adalah tempat tinggal agar kita tidak kehujanan dan aman dari penjahat. Yang lebih kita butuhkan tentu rumahnya, bukan ornamennya. Dunia hanya kembang atau gemerlap yang bukan pokok (Thaha: 131). Bahkan hanya permainan (Al-Ankabut: 64, Muhammad: 36, Al-Hadid: 20).

Akhirat, itulah kehidupan yang hakiki dan abadi. “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta benda dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya menguning kemudian menjadi hancur, dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta ridla-Nya, dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menimpa” (Al-Hadid 20).

Teringatlah saya sabda Rasulullah, “Sesungguhnya dunia itu manis dan menghijau, dan sesungguhnya Allah memberikan kuasa padamu dalam dunia itu, maka Allah akan melihat bagaimana kamu sekalian berbuat. Sesungguhnya Bani Israil saat dunia dilimpahkan kepada mereka, mereka pun berbangga-bangga dengan perhiasan, wanita-wanita, wangi-wangian, dan pakaian” (Muttafaq Alaih).

Sudahkah kita mewaspadai romansa dunia, sehingga modal hidup yang singkat ini bisa menjadi tiket menuju surge kelak di alam baka?
(KH M Dawam Saleh)


Ya Allah, Tunjukkanlah kami jalan yang lurus

Gus Dimas
Dalam sehari semalam, minimal 17 kali kita memohon kepada Allah. Dalam shalat, kita senantiasa dengan berdoa. "Ihdinash Shiratal Mustaqim" yang artinya, "Ya Allah, Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

Permohonan berupa petunjuk ke jalan yang lurus mencakup tiga permohonan. Pertama, memohon kepada Allah agar mengaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat. Masih banyak di antara petunjuk Allah yang belum kita ketahui. Kita tidak boleh merasa cukup dengan ilmu yang kita miliki.

Kita sering berdoa kepada Allah, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyuk, lisan yang selalu basah berzikir, dan amal yang diterima.”

Kita juga meminta perlindungan kepada Allah dengan doa, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan dari doa yang tidak dikabul."

Sudahkah kita bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu Islam? Sudahkah kita serius mempelajari dan memahami Alquran dan Hadis Nabi SAW, seperti pemahaman para sahabat Rasulullah?

"Ihdinash Shiratal Mustaqim." Kita ucapkan benar-benar dari hati. Bukan sekadar basa-basi atau main-main. Doa tersebut perlu pembuktian.

Kedua, kita memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam mengamalkan ilmu yang telah Allah karuniakan. Di antara doa yang sering kita panjatkan, "Ya Allah, bantulah aku untuk dapat mengingat-Mu, untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu, dan untuk dapat beribadah kepada-Mu dengan baik."

Tidaklah menjadi jaminan seseorang yang telah mengetahui kebenaran itu mengamalkannya. Ada faktor-faktor yang menghalangi seseorang untuk mengikuti kebenaran meskipun ia tahu dan berilmu.

Hasud, sombong, cinta harta, cinta kedudukan, cinta kepada lawan jenis, ambisi kekuasaan, fanatisme kepada suku, kelompok, kampung halaman, nenek moyang dan adat istiadat, itu semua dapat menghalangi seseorang untuk mengikuti kebenaran. Hal itu juga dapat menjerumuskan seseorang pada jalan yang dimurkai Allah (sesat).

Diperlukan kejujuran, kesabaran, dan kebesaran jiwa serta keberanian untuk merenung, mengevaluasi, dan segera memperbaiki diri. Setan akan selalu berusaha untuk menghiasi agar kita memandang indah kebatilan dan untuk mencari-cari dalil sebagai pembenaran.

Akan tetapi, nurani kita tidak bisa dibohongi. Mintalah kepada Allah agar memberi kekuatan kepada kita dalam mengekang hawa nafsu dan melawan godaan setan yang terkutuk.

Ketiga, kita memohon kepada Allah untuk meneguhkan hati agar tetap istiqamah sampai akhir hayat. Hati manusia mudah berbolak-balik. Pagi hari beriman, sore bisa menjadi kafir. Hari ini bersih dan ikhlas, besok bisa ternoda dan berubah niat.

Di antara doa yang kita mintakan kepada Allah, "Ya Rabb, janganlah Engkau palingkan hati kami pada kesesatan setelah Engkau beri hidayah kepada Kami, berilah untuk kami rahmat (kasih sayang) dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Mahapemberi.” (QS Ali Imran [3]: 8).

Rasulullah SAW sering berdoa, "Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku agar selalu (istiqamah) berada di atas rel din (agama) Mu." Ketiga poin ini tercakup dalam Ihdinash Shiratal Mustaqim. Semoga Allah mengabulkan doa kita. Amin. 
(Fariq Gasim)


Indahnya Dunia Adalah Semu

Gus Dimas
Alkisah, seekor rusa sedang melihat bayangannya dari sebuah sungai yang jernih airnya. Dia melihat tanduknya yang kokoh dan kuat. Bercabang dengan begitu indahnya. Sangat gagah. Menunjukkan status sosial yang bergengsi di kehidupan belantara.

Sang rusa beralih melihat tubuhnya. Tubuh yang atletis. Sangat serasi dengan tanduk yang menghiasi kepalanya. Rusa tersenyum. Namun sesaat kemudian senyumnya lenyap. Dia menyadari bayangan kaki yang muncul di permukaan sungai sangat tidak sepadan dengan tanduk dan tubuhnya. Sangat kecil. Senyumnya berubah rutukan. Tidak semestinya kakinya kecil seperti ini.

Tiba-tiba datanglah seekor harimau yang siap memangsa rusa. Rusa dengan gesit berlari. Kakinya yang kecil memudahkan dia untuk bergerak dengan lincah. Harimau jauh tertinggal. Rusa lega, dia selamat dari terkaman harimau.
Namun, secara tak sengaja tanduk indahnya tersangkut di ranting pohon yang menjuntai. Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri. Namun gagal. Rusa menyerah, tanduk indahnya masih tersangkut. Sementara harimau sudah tepat dihadapannya. Segera menerkam rusa. (Abu Aufa Abdillah, Tamsil : 14)
Tragis. Kaki kecil rusa yang dia remehkan ternyata menyelamatkannya dari harimau. Namun justru tanduk kebanggaannya yang membuat celaka. Demikianlah tamsil sederhana dari kehidupan dunia ini. Tanduk indah rusa ibarat dunia. Penuh dengan keindahan yang menyilaukan mata. Harta, tahta, popularitas menjadi mutlak untuk diperjuangkan.
Semakin banyak harta, tinggi kedudukan semakin banggalah manusia. Tak sedikit pula manusia yang memperjuangkan dunia dengan merugikan kawan dan sahabatnya. Menyingkirkan siapapun yang menghalangi. Padahal, kemegahan dunia sama sekali tak membantu manusia dalam kehidupan hakiki. Kehidupan akhirat.

Sementara kaki kecil rusa adalah ibarat ibadah manusia. Ibadah yang seringkali kita remehkan dan terlupakan. Sama sekali bukan prioritas. Namun itulah yang sesungguhnya menyelamatkan manusia di hari perhitungan amal.”(Yaitu) di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”(QS. Asy-Syu’araa’: 88-89). Dalam Kitab Tafsir Qurthubi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hati yang bersih adalah hati yang dipenuhi dengan dzikr (mengingat Allah) dan terbebas dari tipu daya dunia.

Alquran telah banyak mengingatkan manusia untuk waspada dengan kehidupan dunia. Salah satunya dalam QS Al-Hadid : 20. ”Ketahuiah sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak….” Di akhir ayat tersebut Allah berfirman,”Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

Maka, manakah yang akan lebih kita perjuangkan? Dunia dengan segala tipu daya yang mencelakakan. Atau akhirat yang lebih baik dan kekal (QS Al-A’laa : 17). Tentu dengan ibadah dan amal sholeh yang sebanyak-banyaknya.  

Dengan berjuang mengejar akhirat maka dengan sendirinya dunia yang akan berlari mengejar kita. Itulah janji Allah.”Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.”(QS. Asy-Syuura : 20) 
(Soraya Khoirunnisa Halim)