Melewati Fitnah

Diriwayatkan dari abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kelak akan datang suatu fitnah yang membuat bisu, tuli, dan buta. Barang siapa yang mendekatinya akan terjerumus ke dalamnya.” (Sunan Abu Daud juz IV hal 165).

Fitnah dalam Alquran memiliki beberapa makna. Fitnah berarti kufur (lihat
QS Ali Imran [3]: 7), juga bermakna syirik (lihat QS al-Baqarah [2]:9, Ali Imran [3]: 39) dan sering diartikan dengan ujian dan musibah.

Secara umum, konotasi fitnah dalam agama adalah segala ucapan atau perbuatan yang melemahkan seseorang atau bahkan menjauhkan dirinya dari ibadah atau mengamalkan islam.

Ada dua macam fitnah yang dihadapi setiap Muslim. Pertama, fitnah yang ditimbulkan akibat syubuhat (keraguan), seperti aliran sesat dan pemikiran yang bisa menjauhkan kita dari jalan Allah. Kedua, fitnah akibat syahwat, seperti fitnah dunia, harta, wanita, dan takhta.

Rasulullah SAW menggambarkan, “Akan datang pada manusia suatu masa di mana orang berpegang teguh pada agamanya bagaikan orang yang memegang bara api.” (HR At Tirmidzi). Kalau bara dipegang terus, akan terasa menyakitkan. Tapi, kalau dilepas, berarti akan murtad.

Ada empat kelompok yang bisa menjerumuskan kita ke dalam fitnah. Pertama, setan. Allah melukiskan godaan setan sebagai berikut, “Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka dan akan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka.” (QS an-Nisa’ [4]: 9).

Dalam hadis qudsi, Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku ciptakan manusia berperilaku lurus, kemudian digoda setan sehingga mengeluarkan mereka dari agama.” (lihat Musykilul Atsar karangan Ath Thohawi Juz VIII hal 364).

Di antara fitnah setan, yaitu menghiasi kebatilan, saat seorang wanita keluar, setan mengikutinya dan menghiasinya kepada manusia agar terdorong untuk mendekatinya dan  menggodanya sehingga terjadi kemaksiatan.

Kedua, orang-orang kafir. Mereka berusaha menebarkan berbagai keraguan terhadap Islam dan menggalakkan syahwat untuk menjerumuskan setiap Mukmin ke dalam neraka.

Oleh sebab itulah, kita disuruh berdoa, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir.” (QS al-Mumtahanah [60]: 5).

Ketiga, manusia itu sendiri bisa menjerumuskan dirinya ke dalam hal yang menimbulkan fitnah, seperti berada di tempat maksiat, berdekatan dengan orang yang dikenal ahli bid’ah, atau lainnya. Dalam diri kita terdapat penyakit, tapi juga ada obat di dalamnya.

“Bahkan, manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri.” ( QS al-Qiyamah [75]: 4). “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka” (QS ash-Shaff [61]: 5).

Keempat, dunia. Demi dunia seseorang berani korupsi, durhaka kepada orang tua, memutuskan silaturahim, dan sebagainya. Semoga kita terhindar dari semua fitnah sehingga husnul khatimah. Aamiin.
(Prof KH Achmad Satori Ismail)

Biar Kita Dicintai Allah

Kata ‘cinta’ hampir bisa ditulis dan di ucapkan oleh seluruh manusia, tanpa kecuali. Itulah keajaiban dan kedahsyatan cinta. Namun, yang paling penting adalah bagaimana cinta yang sejati dan sesungguhnya dapat kita miliki?

Tentunya, cinta yang dimaksud adalah kasih sayang Allah ‘azza wajalla yang diraih melalui multikreativitas atau amal nyata hamba- Nya.

Imam Ibn Al-Qoyyim Rahimahullâh, dalam Kitab al-Irsyâd ilâ shahîh al-i’- tiqâd wa al-radd ‘alâ ahl alsyirk wa al-ilhâd: Bimbingan kepada keyakinan yang benar dan menolak pelaku syirik dan pembangkang, halaman 63, mengungkap sejumlah syarat yang sejatinya kita miliki agar Allah mencintai kita.

Pertama, membaca Alquran, mentadabburi dan memahami makna yang terkandung di dalamnya serta maksud dari yang dibaca. Salah satu contohnya, seorang pemimpin pada semua tingkat dan waktu, sejatinya bertanggung jawab atas jabatan yang diamanahkan kepadanya.

Dia juga tidak membebani masyarakat, tidak membiarkan kejahatan terus berkembang, tidak menjualbelikan atau menggadaikan masyarakat dhuafahanya karena untuk mendapatkan subsidi padahal hanya tipu muslihat, dan sejenisnya.

Jangan sampai masyarakat jelata, dibebani utang dan keharusan membayarnya. Padahal, yang menyebabkan negara banyak utang dan kolapnya perekonomian bangsa karena ulah para penguasa yang hakikatnya tidak bertauhid kepada Allah ‘azza wajalla. Dan penjahat yang rakus dan tidak menyadari atas tindakan kejahatannya ser ta para hakim yang sa lah dalam memutus perkara.

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla dengan cara melaksanakan yang nawâfil selain yang mesti dilakukan alias yang fardhu.

Ketiga, meninggalkan semua jenis kesibukan yang dapat memisahkan keterikatan hati dengan Allah ‘azza wajalla. Kesibukan yang dimaksud adalah kemaksiatan lisan, hati, dan tindakan.

Kemaksiatan lisan di antaranya berbohong. Seperti korupsi, tapi mengaku tidak korupsi; melakukan kejahatan birokrasi, mengaku tidak melakukannya dan lainnya.

Kemaksiatan hati di antaranya, “mengucapkan bahwa Allah Maha Besar, padahal hatinya mengakui bahwa berlaku curang yang maha besar”. Kemaksiatan kinerja atau amalnya di antaranya, “seharusnya melindungi, me ngayomi, dan memberdayakan fakir miskin dan masyarakat yang terlantar, kenyataannya menyejahterakan masyarakat kuat”.

Keempat, agar ketiga syarat tersebut dapat terpenuhi, maka kita dituntut selalu mengingat Allah ‘azza wajalla dengan cara mentaati petunjuk-petunjuk Nya dan menebar cinta Allah ‘azza wajalla yang dianugerahkan kepada kita, sehingga dinikmati sesama makhluk lainnya.

Selain itu, mengambil pesan moral dari setiap nama Allah ‘azza wajalla, bercengkeraman dengan Allah ‘azza wajalladi waktu Nuzul-Nya yakni pada sepertiga malam terakhir dengan cara membaca Alquran yang diiringi permohonan ampun dan bertaubat dari segala nista dan nestapa, dan yang terakhir senang bergaul dengan ahli kebaikan dan perdamaian atas dasar cintanya kepada Allah ‘azza wajalla.

Semoga Allah ‘azza wajalla menjadikan kita makhluk yang berpredikat sebagai hamba yang taat kepada-Nya dengan meng ikuti uswah hasanah Rasulullah SAW. Baik kita sebagai petani, jurnalis, karyawan, pengusaha, seniman, budayawan, pendidik, terdidik, masyarakat jelata, maupun sebagai penguasa, Aamiin.
(Badrudin MAg)

Pentingkah Ziarah Kubur Menjelang Ramadlan?

Ziarah kubur menjelang Ramadhan dan Idul Fitri merupakan tradisi yang baik dilakukan. Dengan ziarah kubur, orang diingatkan tentang kematian. Rasulullah bersabda: Aku mohon izin kepada Tuhanku untuk meminta ampun bagi ibuku, namun tidak diperkenankan. Lantas kumohon izin untuk menziarahi kuburannya, maka diperkenankan-Nya bagiku. Karena itu, berziarahlah kalian ke kuburan, karena hal itu bisa mengingatkan kalian akan kematian.

Fenomena kematian merupakan tarbiyah ruhaniyah (pendidikan rohani) yang efektif untuk meningkatkan kadar moralitas keagamaan seseorang. Ini, karena dengan mengingat kematian, seseorang akan berpikir seribu kali bila ingin berbuat maksiat. Orang gampang korupsi, bertindak sewenang-wenang, tiranik, serakah, mau menang sendiri, suka menyakiti orang lain, misalnya, karena tiadanya kesadaran akan kematian.

Itulah sebabnya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz selalu berupaya mengingat tentang fenomena kematian itu. Hampir setiap malam beliau kupulkan para ulama untuk bermudzakarah (saling mengingatkan) tentang mati, kiamat, dan akhirat. Kemudian mereka menangis sesenggukan seolah-olah jenazah hadir di tengah-tengah mereka.

Kuburan, tempat jenazah dimakamkan, adalah saksi bisu dari kematian. Sabda Rasulullah saw, ''Cukuplah kematian sebagai pemberi nasihat.''(HR Thabarani dan Baihaqi). Dengan demikian, maka kuburan menjadi semacam tugu peringatan bagi orang yang mudah lalai akan kematian. Hadis riwayat Imam Muslim yang dikutip pada awal tulisan ini mengingatkan kepada kita bahwa dengan ziarah kubur kita senantiasa diingatkan tentang adanya kehidupan lain setelah kehidupan ini. Dan orang yang masih hidup namun menyadari akan kematian, sama halnya dengan orang yang piawai dalam membaca trend masa depan, yang karenanya tidak kaget lagi, dan cakap dalam mengendalikan dunia ini. Karena memang kehidupan yang sekarang adalah rentetan dari kehidupan lain yang akan dilakoni manusia. Dan kematian hanya perhentian sementara dari pekerjaan yang bakal kita lalui itu.

Ziarah kubur sebenarnya bisa dilakukan tidak saja tiap menjelang Ramadhan dan Idul Fitri seperti yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat kita, namun bisa dilakukan kapan saja. Nabi Muhammad saw menyatakan: Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orangtuanya atau salah satu darinya tiap Jumat, maka dosanya diampuni dan ditulis sebagai orang yang berbuat kebajikan.'' (HR Baihaqi).

Maka, makna positif dari ziarah kubur tidak saja pada almarhum atau almarhumah yang didoakan, tapi juga bagi kita buat mempertajam kesadaran akan mati. Di tengah krisis dan banyak tantangan yang dihadapi sekarang ini, sugesti dari keyakinan akan mati ini layak dihidupkan. Karena keinsyafan ini bisa memompa semangat dan optimisme. ''Barangsiapa yang menyadari akan kematian, maka segenap musibah dan kerisauan dunia akan terasa kecil baginya,'' jelas Ka'ab seperti yang dikutip oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin.
(REPUBLIKA.CO.ID)

Istidraj

Jika ada di antara kita, saat ini bergelimang banyak harta dan kemewahan atau meraih tahta dan menduduki jabatan bergengsi, jangan buru-buru mengucapkan Alhamdulilah, sebagai ungkapan syukur. Melainkan hendaknya, ia berkaca diri dan intropeksi.

Sebab, apabila semua itu didapat dari korupsi, suap atau cara-cara haram lainnya, semua kemewahan dunia dan jabatan yang nyaman itu bukanlah ni'mah (nikmat) yang harus disyukuri, melainkan justru merupakan niqmah (malapetaka) yang mesti diwaspadai.

Dalam terminologi syar'i (Islam) hal ini disebut dengan istidraj. Sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin 'Aamir RA, "Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas maksiat-maksiatnya, apa yang ia suka, maka ingatlah sesungguhnya hal itu adalah istidraj".

Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat 44 dari QS Al An'aam [6], yang artinya "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa" (HR Ahmad no. 17349 dan dishahihkan Al Albani di As Silsilah Ash Shahihah no. 414).

Hadits dan ayat di atas menggariskan sunnatullah dalam kehidupan pendosa dan pelaku maksiat. Terkadang Allah SWT membukakan beragam pintu rizki dan pintu kesejahteraan hidup serta kemajuan dalam banyak aspek kehidupan seperti termaktub dalam redaksi ayat di atas, "Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka".

Bisa berbentuk kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, militer, kesehatan, kebudayaan, stabilitas keamanan dan lain sebagainya.

Ini merupakan istidraj (mengulur-ulur) dan imlaa' (penangguhan) dari Allah bagi mereka sebagaimana firman Allah, "Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh" (QS Al Qalam [68]: 44-45).

Jadi, ketika ada orang yang tidak shalat, tidak puasa Ramadhan, hidup dalam kubangan maksiat, namun hidupnya makmur, sejahtera dan bergelimang banyak kemewahan, ini adalah istidraj.

Ketika ada kelompok atau organisasi menghidupi kelompok dan organisasinya dengan uang haram, tapi kelihatannya tambah maju dengan semakin bertambah banyaknya anggota dan pendukungnya serta semakin meluasnya pengaruh dan cabang-cabangnya, ini pun termasuk istidraj.

Ketika seseorang meraih pangkat dan jabatan atau kemenangan dengan cara-cara yang zhalim dan menghalalkan segala cara, sesungguhnya hal ini juga istidraj.

Demikian pula, kalau ada negara yang kufur kepada Allah, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melegalkan beragam bentuk maksiat, memerangi orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, membatasi atau melarang berbagai aktifitas dakwah, namun secara zhahir tampak maju di beragam aspek kehidupan, hal ini masuk katagori istidraj.

Begitu bahayanya istidraj, sampai-sampai Umar bin Khaththab ra pernah berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi mustadraj (orang yang ditarik dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan)" (Al Umm, Imam Sayfi'i, IV/157). Maka, waspadalah terhadap istidraj, karena ia adalah kenikmatan yang membinasakan. Na'udzbillahi min dzalik.
(Dr Ahmad Kusyairi Suhail, MA)

Instropeksi dan Mawas Diri

Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Dan sertailah keburukan dengan kebaikan niscaya akan menutupinya. Dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang yang terpuji”. (HR. At-Tirmidzi dari Mu’az bin Jabal ra.)

Dalam Matan Arba’in Imam an-Nawawi, (Hadits ke-35) mengutip nasehat Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa ketakwaan itu bersumber dan bermuara di dalam hati seseorang.

Maka jangan hasad, tipu menipu, benci membeci, jauh menjauhi, menzhalimi dan menghina.  Setiap muslim itu bersaudara, sehingga haram darah, harta dan kehormatannya. (HR.Muslim).

Jangan sombong, karena Allah tak suka kepada kesombongan walau hanya sebiji sawi. (HR. Muslim). Allah SWT. tidak melihat seseorang dari tampilan  jasmaniyah dan rupa, tapi dari  hati dan amal perbuatan. (HR. Muslim).

Tidak patut menghina, mencari-cari kesalahan, menzalimi dan menghukumi orang lain, meskipun secara lahiriyah ia berbuat kesalahan.
Jangan mengejek, menertawakan kekurangan dan menggunjing. Semua manusia sama di hadapan Allah, kecuali karena ketakwaannya. (QS.49:11-13).

Jangan pula karena kebencian, kita tidak adil, menghina dan mengambil haknya. Adil dan baik dekat dengan ketakwaan  (QS.5:8, 16:90).

Syaikh Abdul Kadir al-Jailani (1077-1166 M), seorang ulama dan sufi yang sangat terkenal khususnya di kalangan dunia tasawuf dan pengamal tarekat pernah memberi petuah berharga. 

Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam buku Nashaihul ‘Ibad (Bab. III. makalah ke-21) menukil enam petuah bijaksana dari guru para sufi tersebut agar menjadikan setiap orang yang kita temui menjadi cermin hidup yang baik untuk meningkatkan kualitas, moralitas dan integritas diri.  

Pertama, apabila engkau bertemu seseorang, katakanlah mungkin dia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya di sisi Allah.
Pesan ini mendorong kita untuk tidak meremehkan seseorang meskipun secara tampilan lahiriyah bahkan juga kelakuannya sepintas kurang berkenan.

Menghormati dan memuliakan orang lain adalah perbuatan terpuji. Setiap orang punya kekurangan juga kelebihan.
Tidak boleh menilai seseorang dari kelemahannya. Mungkin, dia punya keutamaan yang kita tidak miliki. Don’t judge the book by the cover (jangan nilai sebuah buku dari sampulnya).

Kedua, apabila engkau bertemu dengan orang yang lebih kecil (muda), katakanlah dia belum berbuat dosa kepada Allah, tentu dia lebih baik.
Bukankah seringkali orang tua under estimate (menilai rendah) kepada anak-anak karena usianya yang muda ?  

Padahal, ilmu dan kearifan tidak selalu melekat dengan usia yang tua. Orang yang muda bisa lebih berilmu dan arif melihat sesuatu.
Islam mengajarkan orang tua harus menyangi yang lebih muda. Justru, orang tua harus kagum dan mau belajar kepada yang muda. 

Ketiga, apabila engkau bertemu dengan orang yang lebih tua, katakanlah dia telah banyak beribadah kepada Allah.
Sepatutnya orang yang lebih muda menghormati dan memuliakan orang yang lebih tua.  Bukan termasuk seorang muslim yang baik, jika yang muda tidak menghormati yang tua.

Pandangan kita bahwa orang tua sudah lebih banyak kebaikan dan kontribusinya bagi umat, tentu membuat kita hormat kepadanya dan berupaya untuk mengikuti langkahnya yang baik itu.

Keempat, apabila engkau bertemu dengan orang yang berilmu (alim), katakanlah dia telah diberikan anugerah yang belum aku dapatkan, mengatahui apa yang belum aku ketahui dan mengamalkan ilmunya.

Ilmu mendapat tempat terhormat dalam Islam, sehingga orang berilmu diberikan derajat yang mulia. (QS. 58:11).  Orang yang muda akan dituakan (dibesarkan) karena ilmunya. Sementara orang tua akan dikecilkan karena tidak berilmu.

Jangan cari-cari kesalahan dan kekurangannya untuk menjadi alasan tidak perlu belajar kepadanya. Ikuti yang baik dan tinggal yang buruk darinya.  

Kelima, apabila engkau bertemu dengan orang bodoh, katakanlah dia durhaka kepada Allah karena kebodohannya, sementara aku berbuat dosa dengan pengetahuanku.

Memang, paling mudah kita memerehkan orang bodoh, tidak sekolah dan tidak terpelajar. Sementara kita yang berpendidikan tinggi seakan paling terhormat dan patut dihormati.

Bukankah tindakan buruk yang merugikan orang banyak justru dilakukan oleh orang berilmu (white crime)? Korupsi dan kemaksiatan sosial dan politik dilakukan oleh orang terpelajar.

Keenam, apabila engkau bertemu dengan orang kafir (kufur), katakanlah, mungkin juga aku bisa kafir  sehingga berakhir dengan amal yang jelek. Nilai dari sebuah amal diukur dari akhirnya.

Orang saleh belum tentu berakhir dengan kesalehan. Begitu pun orang durhaka (ahli maksiat) belum tentu berakhir dalam kemaksiatan.

Kita diajarkan untuk meminta  diberi ujung hidup yang  baik (husnul khatimah) dan dijauhkan dari akhir hidup yang buruk (suul khatimah).

Imam Bukhari meriwayatkan : “al-mukminu mir’atul mu’min” (seorang mukmin itu cermin bagi mukmin yang lain).  Meskipun, kita seringkali tidak pandai berkaca dari kehadiran seseorang. Merasa orang baik itu tidak baik. Tentu, lebih baik merasa belum baik. 

Pada akhirnya, kita tidak pernah tahu ujung dari perjalanan hidup ini. Apakah ketika ajal tiba, hidup berakhir dalam kebaikan atau keburukan ? Itu rahasia Ilahi.  

Merasa paling benar dan baik adalah kesombongan. Kesombongan adalah dosa awal makhluk (Iblis) dan mengikuti rayuannya adalah dosa pertama manusia (Nabi Adam as.), serta iri hati (hasad) menjadi awal pertumpahan darah manusia pertama di muka bumi (Qabil dan Habil). Allahu a’lam bish-shawab.
(Ustadz Hasan Basri Tanjung, MA)

Air Mata

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (Qs Aali imran: 185)

Pergantian siang dan malam, bahagia dan duka, juga antara hidup dan mati, Allah pergilirkan sesuai dengan apa yang telah Dia gariskan untuk segenap hamba-hambaNya. Bukan tanpa maksud Allah mempergilirkan segala yang terjadi di langit maupun bumi.

Tujuan dari pergiliran itu adalah agar manusia ‘belajar’ dalam hidupnya. Belajar bahwa untuk mendapatkan kesempurnaan pahala, membutuhkan usaha selama di dunia. Usaha itu salah satunya adalah menanam amal baik kepada Allah dan sesama. Dalam ‘usaha’ pendekatan diri pada Allah itulah bahagia dan duka menemani kita.

Air mata sebagai simbol keikhlasan maupun ketidakrelaan atas ketetapan Tuhan Goresan tinta takdirNya seakan sulit diterima makhluk-Nya. Kendati memang, apapun yang digariskan adalah demi kebaikan hamba-hambaNya.

Airmata adalah anugerah yang Allah berikan sebagai bukti bahwa adakalanya manusia ditimpa cobaan hingga mereka tak sanggup lagi memikulnya, maka Tuhan menjadi sandaranNya agar ia menjadi kuat. Pun saat makhluk tak lagi menjadi ‘sahabat’ untuk semua beban hidup kita, ada Sang Maha Segalanya yang mau meringankan beban hidup, tanpa pandang seberapa berat beban itu. Dalam hal ini, Rasulullah Saw menganjurkan untuk memperbanyak bacaan hauqalah (Laa haula walaa quwwata illa billah) sebagai bukti bahwa kita tak memiliki daya apapun atasNya.

Alquran sebagai sebaik-baiknya pedoman hidup juga berbicara perihal airmata (tangisan). Dua di antaranya ialah tangisan Ahli Kitab saat mereka mengetahui kebenaran Nabi Muhammad Saw. salah satu di antara mereka ialah paman Sayyidatina, Siti Khadijah Waraqah bin Naufal.

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Alquran dan kenabian Muhammad s.a.w.)”. (Qs al-Maaidah: 83)

Airmata jenis ini dirasakan oleh Ahli Kitab yang hatinya tersentuh oleh sebuah hidayah. Mereka merasa mendapatkan kebenaran atas Alquran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. inilah jenis airmata simbol keharuan yang meninggalkan ketenangan yang luar biasa dahsyat dari Allah Swt.

Airmata kedua ialah airmata Nabiyallah Ya’kub as sebab menahan kerinduan pada anaknya, Yusuf as.

“Dan Ya'qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).
Mereka berkata: "Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa".
Ya'qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." (Qs Yusuf: 84-86)
           
Pada tingkat airmata ini, Ya’qub as sudah memiliki kepasrahan total pada Allah sehingga ia sudah bersahabat dengan airmata dan duka. Kehilangan buah hati yang amat dicintanya disusul kehilangan Bunyamin, putra keduanya, membuat Ya’qub bertambah sedih. Namun, ia nikmati semua itu sebagai buah pengabdian dirinya pada Tuhan.
(Ina Salma Febriany)

Obat Stress

Galau atau gelisah bisa dialami oleh setiap orang. Biasanya kondisi mentalitas ini disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, di antaranya adalah ketidakberdayaan menanggung beban hidup, kegagalan, tekanan eksternal dan permasalahan berat lain yang  menerpanya.

Efek dari kondisi ini biasanya ialah timbulnya gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan, terutama kesehatan jiwa.
Sebuah kajian tentang kesehatan jiwa pernah menyebutkan, dari populasi orang dewasa di Indonesia yang mencapai 150 juta jiwa, sekitar 11,6 persen atau 17,4 juta jiwa mengalami gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan kecemasan dan depresi.

Angka penderita gangguan jiwa tersebut tentu saja mengundang rasa prihatin. Oleh karena itu, saya tertarik untuk mengemukakan kembali tentang kebenaran Alquran yang menyatakan bahwa obat untuk menjadikan hati tenang dan tenteram serta terhindar dari rasa gelisah dan keluh kesah, tidak lain adalah keimanan kepada Allah SWT yang disertai kebiasaan berdzikir (mengingat Allah). (QS. Ar-Ra’du [13]:28)

Secara ilmiah pula, para pakar kedokteran pun telah sampai pada suatu kesimpulan, bahwa obat mujarab untuk mengobati penyakit gelisah ini ialah bermuara kepada keimanan.

William James, seorang profesor ilmu jiwa di Universitas Harvard Amerika, mengatakan bahwa obat yang paling ampuh terhadap penyakit gelisah tidak lain adalah keimanan.

Demikian juga Dr Karl Young, seorang dokter ternama bidang kejiwaan pernah mengatakan, “Sesungguhnya setiap orang sakit yang meminta kepada saya sejak 30 tahun lalu, yang berasal dari seluruh pelosok dunia, rata-rata penyebab sakit mereka adalah karena goyahnya akidah. Mereka tidak akan pernah sembuh, kecuali setelah berusaha mengoptimalkan kembali keimanan mereka yang telah hilang tersebut.”

Demikianlah fakta ilmiah yang berhasil disimpulkan oleh para pakar dan ilmuan yang pada hakikatnya mempamerkan bukti kemukjizatan Alquran yang sudah lebih dulu menyatakan tentang urgensi iman kepada Allah SWT dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk fungsinya sebagai obat  untuk mengatasi gelisah dan ganguan jiwa.
 
Dalam AlQuran pertengahan surah al-Ma’arij ditegaskan, bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat galau lagi keluh kesah, kecuali sembilan golongan, yaitu orang-orang yang melaksanakan shalat, orang-orang yang terhadap hartanya telah disediakan bagian tertentu (zakat) atau hak yang telah ditetapkan untuk orang-orang miskin, baik yang meminta atau pun yang tidak meminta, orang-orang yang meyakini hari kiamat, orang-orang yang takut terhadap azab Allah, orang-orang yang memelihara kemaluannya dari perbuatan keji, orang-orang yang mampu menjaga dan menunaikan amanat dan janji-janjinya, orang-orang yang memberikan kesaksiaannya dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah golongan penghuni surga lagi di muliakan. (QS. Al-Ma’arij[70]:19-35).
(Imron Baehaqi MA)
 

Akhlak dan Kesalehan Sosial

Salah satu tujuan dari penciptaan jin dan manusia adalah hanya untuk menyembah Allah ( “Wama Kholaqtu- lJinna walInsa Illa liya’budun”) dan tujuan diturunkannya Alquran dan Rasulullah adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. (“Innama bu’itstu liutammima makarimal Akhlaq”) Dan tidak lupa bahwa agama Islam sangat menjunjung tinggi urgensi akhlaqul karimah dalam rotasi kehidupan dunia, implikasinya adalah amar ma’ruf dan nahi munkar.

Sesungguhnya akhlak bertalian dengan adab, etika, sopan santun, rasa hormat, ketaatan. Akhlak adalah harta yang sangat berharga dalam pertalian norma - norma kehidupan manusia. Akhlak identik dengan rel–rel panjang yang tidak dapat pisah dengan realita problematika kehidupan, bukanlah sebuah rel panjang yang menjadi benalu dalam hati akan tetapi dengan tanpa adanya akhlak maka dunia secara luas akan menjadi tanpa kata dan nilai.

Agama secara universal menitik beratkan tanggung jawab, pribadi dan sosial. Setiap individu bertanggung jawab akan dirinya dan juga bertanggung jawab akan sekelilingnya (masyarakatnya) karena manusialah yang hidup dalam lingkup komunitas yang beragam. Dengan demikian memberikan kesan bahwa setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk membawa akibat adanya tanggung jawab sosial. Pernyataan ini tidak akan lepas dari pernyataan kitab Suci Alquran yang mengatakan bahwa kata iman ( amanu) merupakan komponen pribadi yang selalu ikut dengan kalimat amal sholeh( aamilus-sholihat) mengandung tindakan kemasyarakatan.

Dalam sebuah hadis riwayat Muslim Nabi Muhammad bersabada “ Yang paling sempurna iman orang mukmin adalah yang paling baik akhlaknya.” Jadi iman menjadi pribadi utuh nan sempurna tatkala manusia selalu memperhatikan akhlaknya atau selalu menjaga dan memperbaiki akhlaknya, karena dengan begitu dapat dipertanggungjawabkan di depan masyarakat luas.

Belakangan ini kita menilai bahwa fenomena itulah yang menjawab sendiri perkembangan masyarakat, fenomena yang secara sepihak tidak dimimpikan dan diinginkan akan tetapi telah merajalela dan menjadi adat tradisi dunia, khususnya degradasi akhlak dari pihak pelajar atau pemuda. Kemanakah hilangnya gairah akhlak para pemuda masa kini, apakah implikasi dari ketidak sempurnanya total quality control orang tua ataukah hilangnya komunitas akhlaqi yang sebelumnya digandrungi oleh para Sahabat dan Rasulullah sendiri.

Padahal logikanya telah banyak perkembangan dari sana sini, sehingga nampak cerah dunia melepaskan sayapnya diatas awan bumi Negara ini. Karena itu, barangkali kita perlu merenungkan kembali pembinaan keberagaman kita lebih maksimal dan substansial.

Ironisnya  yang terjadi adalah hilangnya gairah memahami agama yang memberikan gairah positif dalam pembentukan sifat amar ma’ruf nahi mungkar dan akhlaqul karimah. Dan sudah saatnya aura akhlaqul karimah inilah yang membentukan moral manusia mulai dari diri sendiri berimplikasi kepada masyarakat sosial yang berakhlak karimah secara qurani. Amin ya rabbal Alamiin.
(Ahmad Mahfudzi Mafrudlo)

Isro' Mi'roj Bagi Kita

Seperti telah termasyhur diceritakan bahwa diantara kejadian istimewa yang terjadi pada diri Rasulullah saw sebelum perjalanan mi’roj adalah pencucian hati beliau oleh malaikat Jibril dan Mikail as dengan air zam-zam. Mengapa yang dicuci adalah hati, bukan usus atau ginjal, alat vital dalam metabolime tubuh?
اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا لله. اَلْحَمْدُ لله   الذى مُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ، وَعَلاَّمِ الْغُيُوْبِ، وَقَابِلِ التَّوْبَةِ مِمَّنْ يَتُوْبُ، شَدِيْدِ الْعِقَابِ عِنْدَ قَسْوَةِ الْقُلُوْبِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، أَمَرَ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ، وَنَهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ كَانَ يُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ: يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ. صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى أله وَصَحْبِهِ مَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه و سلم وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ. أَيَّهُا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بتقوالله وقد فازالمتقون

Pertama-tama Marilah kita bersama meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt. dengan sesungguh hati tanpa basa-basi. Karena kesungguhan dalam bertaqwa akan berimplikasi dalam sikap laku ta’at terhadap syari’at dan menghindar dari ma’siat. Sesungguhnya syariat bawaan rasul Muhammad adalah kebenaran mutlaq yang tidak bisa diragukan lagi. Shalat, zakat, puasa dan haji menjadi bukti formal ketaatan seseorang dalam ber-Islam.  
Hadirin Jama’ah Jum’ah yang dimulayakan Allah
Bulan Rajab adalah bulan istimewa. sebuah bulan yang yang memuat banyak makna. Makna-makna itu muncul dari anugerah Allah swt dalam memberikan keistimewaan bagi Rasul tercinta-Nya Muhammad saw. berupa perjalanan rural-spiritual yang kemudian hari dikenal dalam sejarah umat manusia sebagai Isro’ mi’roj.  

Seperti telah termasyhur diceritakan bahwa diantara kejadian istimewa yang terjadi pada diri Rasulullah saw sebelum perjalanan mi’roj dimulai adalah pembedahan dan pencucian hati oleh malaikat Jibril dan Mikail as untuk selanjutnya dicuci dengan air zam-zam tiga kali dan diisinya hati mulia itu dengan hikmah dan iman. Ibarat sebuah adegan dalam film, pembedahan ini pada bagian awal sebelum memasuki inti cerita perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho, utuk selanjutnya diteruskan hingga Shidratil Muntaha.

Inilah yang menjadi focus khutbah kali ini. Mengapa hati yang dibedah dan dibersihkan ? kenapa bukan usus atau ginjal yang mempunyai peran penting dalam metabolism tubuh? Yang secara bilogis lebih kotor dan selalu bersinggungan dengan makanan? Atau alat pencuci anggota tubuh lainnya yang menjadi jalur kotoran bagi manusia? Dan mengapa pula pembedahan ini dilakukan sebelum perjalanan, kenapa tidak setelah perjalanan usai? Atau di tengah perjalanan?

Sesungguhnya dalam kejadian ini terdapat hikmah yang sangat dalam. Semakin tinggi kadar kepandaian spiritual seorang manusia, akan makin dalam ia memaknai sebuah hikmah. Namun, sebagai seorang yang minim pengetahuan khatib hanya dapat mengingatkan beberapa hal di balik kejadian tersebut yang mungkin telah banyak difahami tetapi sering dilupakan dan diabaikan. Pertama, bahwa hati adalah hal terpenting dalam diri manusia. Hati sebagai pusat metabolism keimanan dan ketaqwaan. Bagaikan pailot, hati mengarahkan kehidupan spiritual manusia, dan kwalitas spiritual itu secara langsung turut menentukan dan mempengaruhi laku social seseorang.
 Karena itu sebuah hadits yang masyhur tentang hati perlu saya tegaskan di sini:
إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ، و إذا فسدت فسد الجسد كله ألا و هي القلب " ( متفق عليه(
Sesungguhnya di dalam tubuh seseorang terdapat segumpal daging, apabaila gumpalan itu baik, maka baiklah seluruh tubuh itu. Namun jika gumpalan itu jelek, maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ingatlah… gumpalan itu adalah hati. (hadits ini disepakati kesahihannya oleh semua ahli hadits) 

Betapa pentingnya posisi hati bagi tubuh dan diri manusia. Betapa hati menjadi satu-satunya perkara yang menentukan tubuh dan diri manusia. Karena sebuah pribahasa Arab mengatakan
القلب ملك ، و الأعضاء جنوده ؛ فإذا صلح القلب ، صلحت الرعية ، و إذا فسد ، فسدت.
Hati bagaikan raja, dan balatentaranya adalah amggota tubuh manusia. Jikalau baik sang hati, maka baiklah ra’yatnya. Namun jika rusak sang hati rusaklah segalanya

Dengan demikian, apa yang terjadi pada diri Rasulullah saw adalah simbol bagi umatnya, bahwa hati adalah perkara yang paling penting untuk dirawat mengalahkan berbagai anggota lainnya. Menyehatkan hati dan meriasnya jauh lebih penting dari pada merias wajah, dari pada bersolek tubuh, bahkan lebih penting dari pada mengasah otak.

Inilah yang sering kita lupakan. Hati tidak lagi menjadi panglima dalam kehidupan ini. Sejak lama kedudukannya telah digantikan oleh otak yang mengandalkan logika dan rasio. Padahal berbagai pertimbangan keadilan dan kebenaran sumbernya adalah hati, bukan otak. Karena itu tidak salah apa yang diungkapka oleh al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin
إستفت قلبك ولوأفتوك وأفتوك وأفتوك
Mintalah petunjuk pada hati (kecil) mu, walaupun mereka memberikan petunjuk padamu, walaupun mereka memberikan petunjuk padamu, walaupun mereka memberikan petunjuk padamu.    

Maka jikalau hendak memutuskan sebuah keadilan maka pertama kali bertanyalah kepada hati kecil, jangan bertanya dulu kepada bukti yang yang ada di TKP. Karena semua itu bisa dipalsukan oleh otak dan logika. Jika hati membawa kita kepada kebaikan universal, sedangkan otak hanya akan mengantarkan kita kepada kebaikan parsial, kebaikan yang telah tercampur dengan berbagai kepentingan.


Jika demikian adanya, jika Rasulullah saw adalah seorang yang ma’shum terjaga dari salah dan dosa, walaupun tanpa dibedah dan dicuci hatinya oleh malaikat. Bagaimanakah dengan kita? bagaimana merawat hati kita dan menghiasinya agar tetap jernih dan mampu menjadi pelita bagi diri dan tubuh ini?
Agar selalu terawat hindarkanlah hati kita dari empat perkara;  riya’, ujub, takabbur, serta hasad. Riya’ adalah pamer, Riya menurut imam al-Ghazali adalah, mencari kedudukan di hati manusia dengan cara melakukan ibadah dan amal. Dengan kata lain riya’ selalu saja mengajak manusia untuk mencari modus dalam setiap kelakuan dan amalnya. Kedua ‘ujub Menurut imam al-Ghazali ujub adalah sifat merasa diri serba berkecukupan dan berbangga hati atas nikmat yang ada, dan lupa jika kelak akan sirna, ujub merupakan induk dari sifat takabbur, bedanya jika takabbur berdampak pada pihak yang ditakabburi, kalau ujub terbatas pada dirinya sendiri.  Sabda Rosulullah saw
ujub itu bisa memakan amal amal baik sebagaimana api makan kayu bakar” (al-hadist)

Ketiga adalah takabbur adalah merasa dirinya lebih sempurna dari yang lainnya, Kesombongan adalah kemaksiatan yang pertama dilakukan oleh makhlukNya (iblis) terhadap Allah swt
Firman Allah swt
Turunlah engkau dari surga karena engkau menyombongkan diri didalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya engkau termasuk orang orang yang hina” (Al-A’raf:13)
Keempat adalah hasad atau dengki. Untuk menjelaskan hal ini cukuplah petikan seorang sufi dalam kitab Risalah Qusyairiyah “orang dengki adalah orang yang tak beriman sebab dia tidak merasa puas dengan takdir Allah”sementara ulama yang lain berpendapat orang yang dengki adalah orang yang selalu ingkar karena tidak rela orang lain mendapatkan kenikmatan. Indikasi dari sifat dengki adalah menipu apabila dihadapan orang lain, mengumpat apabila orang lain itu pergi, dan mencaci maki apabila musuh tak kujung tiba pada orang itu”
Mengenai pendalaman keempat penyakit ini sudah bisalah kiranya kita meraba diri masing-masing. Selaku khatib saya hanya bisa mengingatkan saja, saya merasa belum pantas untuk memberikan nasehat. Namu yang jelas, biasanya keempat penyakit tersebut saling terkait antara satu dan lainnya. Sehingga apabila mengidap salah satu maka dapat pula mengidap yang lainnya.

Lantas bagaimana cara menghiasai hati? al-Ghazali berpesan dalam kitab mizanul amal, bahwa hendaknya hati dihias dengan empat induk kesalehan, yakni hikmah, kesederhanaan (‘iffah), keberanian (syaja’ah) dan keadilan (‘adalah). Beliau menjelaskan bahwa kerelaan memaafkan orang yang telah menzaliminya adalah kesabaran dan keberanian (syaja’ah) yang sempurna. Kesempurnaan ‘iffah terlihat dengan kemauan untuk tetap memberi pada orang yang terus berbuat kikir terhadapnya. Sedangkan kesediaan untuk tetap menjalin silaturrahim terhadap orang yang sudah memutuskan tali persaudaraan adalah wujud dari ihsan yang sempurna.

Demikianlah semoga kita semua dapat menarik hikmah dari bulan rojab ini. Mengapa Allah memerintahkan Malaikat Jibril dan Mikali membedah dada dan mencuci hati Rasulullah? Bukan karena di hati Rasulullah terdapat kotoran, bukan. Karena beliau adalah ma’shum. Namun semua itu adalah perlambang bagi kita selaku umatnya. Bahwa membersihkan, merawat dan menghias hati adalah pekerjaan utama yang harus didahulukan dari lainnya. seperti halnya Allah swt mendahulukan pembedahan dan pencucian hari Rasulullah sebelum melakukan perjalanan Isro’ mi’roj.
(Ulil H)

Ciri-Ciri Teman Iblis

Harlah NU Ke-90 GOR Sidoarjo
Dalam riwayat Imam Bukhari, diceritakan, suatu saat ketika sedang duduk, Rasulullah saw didatangi seseorang. Rasul bertanya kepadanya: “Siapa Anda?” Ia pun menjawab: “Saya Iblis.”

Rasul bertanya lagi, apa maksud kedatangannya. Iblis menceritakan kedatangannya atas izin Allah untuk menjawab semua pertanyaan dari Rasulullah saw.

Kesempatan itu pun digunakan Rasulullah saw untuk menanyakan beberapa hal. Salah satunya mengenai teman-teman Iblis dari umat Muhammad saw yang akan menemaninya di neraka nanti? Iblis menjawab, temannya di neraka nanti ada 10 kelompok.

Yang pertama, kata Iblis, haakimun zaa`ir (hakim yang curang). Maksudnya adalah seorang hakim yang berlaku tidak adil dalam menetapkan hukum. Ia menetapkan tidak semestinya.

Tak hanya hakim, dalam hal ini bisa juga para penegak hukum secara umum, seperti polisi, jaksa, pengacara, dan juga setiap individu, karena mereka menjadi hakim dalam keluarganya.

Yang kedua, kata Iblis, ghaniyyun mutakabbir (orang kaya yang sombong). Ia begitu bangga dengan kekayaan dan enggan mendermakan untuk masyarakat yang membutuhkan.
Dia menganggap, semua yang diperolehnya merupakan usahanya sendiri tanpa bantuan orang lain. Contohnya seperti Qarun.

Ketiga, taajirun kha’in (pedagang yang berkhianat). Ia melakukan penipuan, baik dalam hal kualitas barang yang diperdagangkan, maupun mengurangi timbangan.

Bila membeli sesuatu, dia selalu meminta ditambah, namun saat menjualnya dia melakukan kecurangan dengan menguranginya.

Disamping itu, ia menimbun barang. Membeli di saat murah, dan menjualnya di saat harga melambung tinggi. Dengan begitu, dia memperoleh untung besar.
Demikian juga pada pengerjaan proyek tertentu, ia membeli barang dengan kualitas rendah untuk meraih keuntungan berlipat (mark up).

Kelompok keempat yang menjadi teman Iblis adalah syaaribu al-khamr (orang yang meminum khamar). Minuman apapun yang memabukkan, ia termasuk khamar. Misalnya arak, wine, wisky, atau minuman yang sejenisnya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, peminum khamar (pemabuk) dikatakan tidak beriman, jika dia meninggal nanti masih terdapat khamar dalam tubuhnya.

Yang kelima, al-fattaan (tukang fitnah). Fitnah lebih berbahaya dari pada pembunuhan (al-fitnatu asyaddu min al-qatl). Lihat QS al-Baqarah [2]: 191.

Membunuh adalah menghilangkan nyawa lebih cepat, namun fitnah ‘membunuh’ seseorang secara pelan-pelan. Fitnah ini bisa pula ‘pembunuhan’ karakter seseorang.

Fitnah itu di antaranya, mengungkap aib seseorang yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan, gosip, ghibah, dan lainnya.

Keenam adalah shaahibu ar-riya` (orang yang suka memamerkan diri). Mereka selalu ingin menunjukkan kehebatan dirinya, menunjukkan amalnya, kekayaannya, dan lainnya. Semuanya itu demi mendapatkan pujian.

Ketujuh, //aakilu maal al-yatiim// (orang yang memakan harta anak yatim). Mereka memanfaatkan harta anak yatim atau sumbangan untuk anak yatim demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Lihat QS al-Ma`un [107]: 1-7.

Kedelapan, al-mutahaawinu bi al-shalah (orang yang meringankan shalat). Mereka memahami perintah shalat adalah kewajiban, namun dengan berbagai alasan, akhirnya shalat pun ditinggalkan. Allah juga mengancam Muslim yang melalaikan shalat.

Kesembilan, maani’u az-zakaah (orang yang enggan membayar zakat). Mereka merasa berat untuk mengeluarkan zakat, walaupun tujuan zakat untuk membersihkan diri dan hartanya.

Teman Iblis yang ke-10 adalah man yuthiilu al-amal (panjang angan-angan). Enggan berbuat, namun selalu menginginkan sesuatu. Dia hanya bisa berandai-andai, tapi tak pernah melakukan hal itu. Wallahu a’lam. 
(Syahruddin El-Fikri)

Belajarlah Kepada Sebatang Pohon

Istighosah Pagar Nusa Gudo Jombang
Banyak sekali hal yang bisa kita pelajari dari sebuah pohon yang sering sekali kita jumpai sehari-hari. Di negara tropis seperti Indonesia ini, banyak sekali jenis dari pohon. Mulai dari pohon yag memiliki kayu tidak terlalu lunak seperti sengon (Parasesianthes falcataria) sampai  pohon yang kayunya sangat kuat seperti kayu Ulin (zwgeri).

Selain manfaat kayu yang memang bernilai ekonomis  tinggi, juga banyak sekali pelajaran kehidupan yang bsa kita conoh dari pohon ini. Setiap bagian pada pohon memiliki keunikan masing-masing. Mulai dari akar yang tesembunyi didalam tanah sampai pucuk yang berada ditempat tertiggi.

Pelajaran pertama dimulai dari akar yag bersembunyi didalam tanah. Dalam hal ini, akar bukanlah bagian pemalas dan penakut yang hanya bisa bersembunyi didalam tanah. Bahkan kalaupun muncul dipermukaan, hanya sebagian kecil dari tanah saja yang Nampak. Jika dilihat dari luar, akar seolah tidak bekerja. Padahal di dalam persembunyianya tersebut, akar berperan banyak untuk demi pertumbuhan pohon tersebut.

Akar menjadi penyuplai bahan-bahan organic yang tergantung dalam tanah, menyerap air, dan yang terpenting adalah menjadi penopang agar ohon tersebut tidak roboh. Sering kita melihat keindahan pohon daari buah, bunga ataupun daunnya, padahal jika tanpa aar, tentu akar-akar terssebut tidak akan pernah bisa tumbuh. Begitulah sikap akar, ia bekerja maksimal walaupun tidak ada yang menilai. Ia tidak pernah merasa dirugikan dengan hal tersebut. Walaupun tidak ada yang memujinya, ia tetap memperlihatkan etos kerja yang tinggi sehingga pohn tetap bisa berdiri.

Dalam kehdupan manusia, sangat diperlukan orang seperti ini. Kadang kita menilai prestasi seseorang hanya dilihat dari tampilan luarnya  saja, padahal dibalik ksuksesan tersebut, senantiasa ada orang yang mendukung prestasi tersebut. D ibalik kesuksesan seseorang, ada orang tua yang senantiasa mendoakan anaknya disetiap shalat, ada keluarga, teman, sahabat, dan lingkungan yang mendukung. Di balik kesuksesan organisasi non-profit yang ada, ada orang-orang yang tidak menampakkan dirinya namun dia memiliki peran dalam kesuksesan perusahaan.

Setelah dari akar, lanjut pada bagian batang. Batang pohon merupakan salah sau tempat penyimpanan sisa hasil fotosintesis. Fungsi batang juga menjadi bagian yang membuat pohon bisa berdiri  tegak. Tanpa adanya batang, maka pohon tidak akan disebut pohon melainkan  tumbuhan bawah ataupun semak belukar.

Batang merupakan pondasi dari bangunan pohon. Runtuhnya pohon adalah karena rusak atau tak berfungsinya batang. Di dalam batang, terdapat fungsi vital pohon, yaitu tempat menyalurkan air dari akar sampai ke daun, ataupun mengalirkan sumber makanan dari daun keseluruh tubuh. Batang juga merupakan organ yang membentuk model arsitektur pohon, karena menghasilkan tunas, ranting, dan abang baru.

Dalam hidup, manusia membutuhkan penopang yang kuat. Jika diibaratkan akar adalah pondasi hidup berupa iman, maka batang adalahaktivitas manusia. Ssebagai hasil dari aktivitas amal berupa buah yang hasilnya bermanfaat bagi lingkungan.

Manusia yang bermanfaat umumnya lahir dari amal yang kokoh. Dengan amalnya, ia memberikan manfaat yang banyak.. hal ini diibaratkan batang yang kuat, besar, tekstur tinggi, dan awet yang menghasilkan kayu dengan kualitas tinggi.

Setelah akar dan batang, organ pohon lainnya adalah daun. Umumnya daun merupakan bagian teratas dari sebuah pohon. Dan daun menjadi mahkota bagi sebu ah pohon karena mampu membuat kesejukan dengan kerindangannya. Fungsi utama dari sebuah daun adalahmenangkap sinar mataharidan karbondioksida sebagai sumber utama pertumbuhan pohon selain air.

Daun juga sebagai pelindung bagian bawah pohon dan tanah dari gangguan luar seperti panas, hujan, dan badai. Daun berfungsi sebagai pelindung dengan dengan kerindangannya, dan juga dengan daya serapnya sehingga daun dapat menyerap berbagai macam gas termasuk gas beracun. Daun memiliki karakter pelindung, peneduh, dan merubah hal yang berbahaya menjadi hal bermanfaat.

Orang berkarakter ini merupakan orang yang sangat dibutuhkan orang lain dan merupakan ontoh ideal seorang pemimpin.

Pemimpin mempunyai peran pelindung saat anggotanya memiliki masalah. Pemimpin menjadi peneduh dikala anggotanya sedang mengalami berbagai macam tekanan, dan pemimpin memberikan solusi dikala ada sesuatu permasalahan yang dihadapi. Pemimpin yang senantiasa memberikan kesegaran dan juga semangat bagi para pengikutnya.

Setiap kita adalah pemimpin minimal untuk diri kita sendiri. Diri sendiri yang memiliki begitu banyak potensi yang dikaruniakan Allah. Untuk badan sendiri, ita harus melindungi, memberikan hak yang layak, menghindarkannya dari bahaya, dan memberikan kesegaran setiap saat.

Jika kita sebagai pemimpin telah memberikan kesegaran, perlindungan, semangat dan lainnya, siapapun yang dipimpin akan merasakan manfaat yang besar dari keberadaan kita.
(Abdul Muis)

Solusi Hadapi Amarah

Pemutaran Film "Sang Kiai" di Tebuireng
Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah khulafaur rasyidin keempat yang sangat terkenal dengan keutamaan akhlak dan integritasnya. Pernah suatu hari beliau memanggil budak yang dimilikinya karena satu keperluan.

Tetapi, budak itu tidak menyahut. Amirul mukminin pun memanggilnya lagi. Sayang, budak itu belum pula menyahut. Bahkan, sampai panggilan yang ketiga.

Dengan sabar beliau mencari ke mana perginya budak itu. Akhirnya, ia ditemukan sedang santai berbaring. Anehnya lagi, ternyata ia tidak sedang terlelap.

Ali lalu bertanya, “Tidakkah kamu mendengar panggilanku tadi, hai Ghulam?” Budak itu menjawab, “Benar, saya mendengar.” Percakapan pun berlanjut. “Lalu, mengapa kamu sama sekali tidak menjawabnya?” tanya Ali heran.

Saya sangat yakin Anda tidak akan menghukum saya, jadi saya pura-pura malas,” jawabnya tanpa rasa bersalah. Tanpa marah sedikit pun, amirul mukminin akhirnya memutuskan, “Kalau begitu, dengan mengharap rahmat Allah, mulai sekarang kamu bebas.”

Luar biasa kesabaran Ali bin Abi Thalib. Kita mungkin tidak habis pikir bagaimana beliau menahan diri agar tidak marah.

Dalam kondisi umum, manusia biasa pasti tersulut emosinya. Atasan mana yang tidak meledak kemarahannya saat panggilannya diabaikan pembantu atau bawahannya secara sengaja.

Namun, hanya Ali orang yang mampu melakukannya. Bahkan, detik itu juga budak tersebut malah dimerdekakannya. Subhanallah.

Bila membandingkan sikap Ali dengan akhlak para bos atau atasan hari ini, tentu sangat jauh berbeda. Sehari-hari kita menonton di televisi tentang derita para pembantu rumah tangga (PRT) yang seolah tidak ada habis-habisnya. Penderitaan yang mereka terima sungguh tidak manusiawi. Para PRT itu tidak melakukan kesalahan fatal. Tetapi, mereka disiksa kadang karena urusan sepele dan remeh.

Ada yang tidak diberi makan, diseterika badannya, disiram air panas, bahkan sampai dibunuh. Beberapa pekan lalu, kita kembali tersentak mendengar puluhan orang dipekerjakan bak budak, bahkan lebih kejam daripada budak.

Di Tangerang, Banten, tepatnya di sebuah pabrik kuali rumah tangga, beberapa anak manusia diperlakukan layaknya binatang.

Sayyidina Ali mengajarkan kita bagaimana memanusiakan manusia. Betapa pun rendah profesi budak —yang pada zaman itu masih ada— Sayyidina Ali tidak mengumbar marah menanggapi ulah budaknya.

Seandainya beliau marah pun, masih dibenarkan. Namun, ternyata beliau malah menahan diri, tidak melampiaskannya.

Mengapa marah menjadi pilihan utama saat ada yang tidak pas dalam penilaian kita? Padahal, masih ada opsi lain berupa teguran, nasihat, atau masukan.

Bagi sebagian orang, marah adalah teguran, nasihat, bahkan masukan itu sendiri. Padahal, antara marah dan teguran itu berbeda. Menegur atau menasihati seseorang mesti menggunakan bahasa pilihan yang santun.

Itu agar teguran bisa mudah diterima. Sedangkan marah, konotasinya nada tinggi dan bahasa yang menjurus kasar. Amarah juga sangat dekat dengan kekerasan.

Intimidasi yang kerap diterima bawahan umumnya berupa kekerasan verbal. Misalnya, kalimat sumpah serapah dan kekerasan fisik berupa pukulan atau siksaan.

Sebaiknya, para atasan menjaga diri dari intimidasi semacam ini. Karena, bagaimanapun bawahan adalah manusia. Mereka bekerja demi kepentingan atasannya.

Kita harus belajar bagaimana seharusnya menjadi seorang atasan. Jangan sampai marah menjadi menu sehari-hari yang kita hidangkan kepada bawahan kita. Kita menjadi cepat mendidih bila melihat pekerjaan kurang beres.

Selain itu, kita cepat naik darah melihat bawahan sedikit lambat menyahut panggilan. Kita ceplas-ceplos mengatakan goblok, tidak becus, dan bodoh kepada anak buah kita.

Mungkin saja, bawahan itu butuh bimbingan atau butuh waktu melakukan sesuatu yang kita inginkan. Semoga kisah Sayyidina Ali di atas bisa menginspirasi kita semua. 
(Muhammad Shobri Azhari)

Cara Hadapi Fitnah

Gus Dimas
Mungkin di antara kita selama hidup pernah difitnah atau dituduh. Ada yang dituduh sebagai pembohong, egois, tidak punya perasaan, pengkhianat, pencuri, dituduh selingkuh, dikatakan zalim, munafik, sesat, atau tuduhan-tuduhan lainnya. Padahal, termasuk zalim, menuduh dan memfitnah orang lain dengan sesuatu yang tidak dilakukannya.

Jika Anda dituduh dan difitnah oleh seseorang, padahal Anda yakin tidak bersalah maka ada delapan sikap yang sebaiknya kita lakukan.
Pertama, hendaklah kita cek dan kita pelajari lagi jangan-jangan yang dituduhkan orang lain itu benar. Jika ternyata kita salah, jangan malu dan gengsi mengakui kesalahan dan mengikuti kebenaran. Meskipun, cara orang yang menasihati kita kasar atau mungkin bermaksud tidak baik.
Kedua, memperbaiki ucapan atau tindakan kita yang menjadi penyebab orang memfitnah kita. Misalnya, bendahara masjid dituduh mencuri uang kas disebabkan tidak transparannya laporan keuangan. Maka, hendaknya dibuat laporan yang rapi dan jelas.

Jika seseorang dituduh "nakal" karena sering bergaul dengan orang-orang "nakal", selektiflah dalam memilih sahabat.
Ketiga, ingatlah akan aib dan dosa kita. Syekh Salim Al Hilali berkata, “Kalau Anda bersih dari kesalahan yang dituduhkan itu, tapi sejatinya Anda tidak selamat dari kesalahan-kesalahan lain karena sesungguhnya manusia itu memiliki banyak kesalahan. Kesalahanmu yang Allah tutupi dari manusia jumlahnya lebih banyak. Ingatlah akan nikmat Allah ini di mana Ia tidak perlihatkan kepada si penuduh kekurangan-kekuranganmu lainnya ….” (Dinukil dari buku Ar Riyaa halaman 68).

Keempat, hendaklah kita merenung dan mengevaluasi kesalahan dan dosa-dosa kita. Baik yang berhubungan dengan muamalah antara manusia, maupun dosa-dosa antara kita dengan Allah. Tuduhan dan fitnahan bisa jadi merupakan teguran agar kita kembali dan bertobat kepada Allah.
Kelima, jika kita sabar dan ikhlas, semoga tuduhan dan fitnahan ini dapat mengurangi/menghapus dosa, menambah pahala, dan meningkatkan derajat kita di sisi-Nya.

Keenam, doakanlah si penuduh agar Allah memberi petunjuk. Jika memungkinkan, nasihatilah dia secara langsung maupun melalui sindiran agar dia bisa sadar dan bertobat. Maafkan dia, tapi kita boleh membalas untuk suatu kemaslahatan asalkan tidak melampaui batas. (Lihat surah Asy Syuuraa 40-43). Jika terpaksa, doakanlah keburukan untuk si zalim agar ia menjadi sadar dan bertobat.

Ketujuh, shalat istikharah untuk meminta bimbingan Allah cara yang tepat mengklarifikasi atau membela diri. Meladeni dan membantah terkadang justru membuka pintu keburukan untuk kita. Bisa jadi, klarifikasi tanpa menyebutkan tentang tuduhan mengenai dirinya dan tanpa menyebutkan nama penuduh akan banyak memberikan manfaat untuk umat.

Kedelapan, yakinlah musibah tuduhan merupakan kebaikan untuk Anda. Si penuduh yang merugi karena dia telah melakukan kejahatan dan berhak memperoleh azab-Nya. Allah berfirman, “…. Janganlah kamu mengira berita (bohong) itu buruk bagi kamu, bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapatkan dosa yang diperbuatnya ….” (Surah an Nuur 11).

“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (Surah an Nuur 23). Semoga kita menjadi orang yang takut kepada Allah dengan tidak mudah menuduh orang lain tanpa bukti dan dapat menyikapi dengan bijaksana saat mendapat fitnah.
(Fariq Gasim Anuz)