Apa Hukum Islam Untuk Pengamen?

Pertanyaan:
Assalamualaikum pak ustadz...
Nama saya Hatta. Saya mau tanya ma pak ustadz,
masalah hukum uang hasil ngamen?
apakah halal atau haram? 
trma ksih pak ustad.
Wassalam.wr.wb
(Hatta, Palembang 081927735xxx


Jawab:
Waalaikumsalam Wr Wb
Mari kita simak hadits berikut,
Qabishah bin Mukhariq al- Hilali Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:
(1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti,
(2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan
(3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.

Mengamen, "menurut saya pribadi" bisa digolongkan dengan meminta, beda kemasan dengan tujuan sama yaitu mendapatkan uang/sesuatu yang bermanfaat untuk penghidupan,
Nah apakah sampean masuk golongan seperti hadits di atas yang memungkinkan untuk dianggap "boleh" meminta? kalau iya silahkan, tapi kalau tidak termasuk 3 poin di atas sebaiknya jangan.
Masukan saya buat sampean: monggo, ngamennya dilanjutkan dulu "selagi" belum ada pekerjaan lain untuk penghidupan, bila sekiranya sudah ada pekerjaan lain monggo ditinggalkan, atau silahkan ngamen untuk mengumpulkan modal buat usaha, setelah terkumpul modal silahkan buka usaha, tidak harus besar khan.
Tidak ada yang salah dengan pengamen, tapi kalau sampean merasa masih kuat fisik untuk bekerja yang lain ikhlaskan rizki dibidang "minta-meminta" buat orang yang lebih layak seperti fakir miskin, anak yatim piatu, orang cacat fisik & mental. Bila kurang jelas mari kita bahas lewat sms, suwun...
Wassalamualaikum Wr Wb




Tanya Jawab Diasuh Oleh:
Dimas Cokro Pamungkas S.pd (Gus Dimas)
Ketua Qurrota A'yun Psychology Consultant
Ketua Pencak Silat NU Pagar Nusa Gudo Jombang (Peguron Sapujagad)

Bila ada pertanyaan silahkan dismskan ke nomor 081559551234 atau ke email dimascokropamungkas@gmail.com, bisa juga inbox di Facebook akun: Gus Dimas (Dimas Cokro Pamungkas) tolong disertakan biodata Anda (minimal nama dan kota tinggal) terimakasih, semoga belajar bersama ini bisa membawa manfaat bagi kita semua, Aamiin...

Apakah Wajib Mengeraskan Bacaan ’Basmalah’ dalam Shalat Berjamaah?

Bagaimana hukum membaca basmalah atau lafadz
ِﻪﻠﻟﺍ ِﻢْﺴِﺑ ِﻦﻤْﺣَّﺮﻟﺍ ِﻢْﻴِﺣَّﺮﻟﺍ
dalam Surat al-Fatihah ketika shalat? Dan kalau wajib,
apakah harus dikeraskan bacaannya? Sebelum
menjawab pertanyaan ini akan dibahas mengenai status
surat al-Fatihah dalam shalat.
Membaca Surat al-Fatihah merupakan rukun shalat,
baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah. Hal
ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW berikut ini:
ْﻦَﻋ َﺓَﺩﺎَﺒُﻋ ٍﺖِﻣﺎَﺻ ِﻦْﺑ ِﻪِﺑ ُﻎُﻠْﺒَﻳ ُﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﺎَﻟ َﻢَّﻠَﺳَﻭ
َﺓﺎَﻠَﺻ ْﻦَﻤِﻟ ْﺃَﺮْﻘَﻳ ْﻢَﻟ ِﺔَﺤِﺗﺎَﻔِﺑ ِﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ
Dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi SAW menyampaikan
padanya bahwa tidak sah shalatnya orang yang tidak
membaca suratt al-Fatihah . (HR Muslim)
Sementara basmalah merupakan ayat dari Surat al-
Fatihah. Maka tidak sah jika seseorang shalat tanpa
membaca basmalah berdasarkan dengan firman Allah
SWT :
ْﺪَﻘَﻟَﻭ َﻦِّﻣ ًﺎﻌْﺒَﺳ َﻙﺎَﻨْﻴَﺗﺁ ﻲِﻧﺎَﺜَﻤْﻟﺍ َﻢﻴِﻈَﻌْﻟﺍ َﻥﺁْﺮُﻘْﻟﺍَﻭ
Dan sungguh Kami telah berikan kepadamu (Nabi
Muhammad) tujuh ayat yang berulang-ulang dan Al-
Qur’an yang agung . (QS al-Hijr: 87)
Yang dimaksud dengan ”tujuh ayat yang berulang-
ulang”' adalah Surat al-Fatihah. Karena al-Fatihah itu
terdiri dari ayat yang dibaca secara berulang-ulang
pada tiap-tiap raka'at shalat. Dan ayat yang pertama
adalah basmalah. Dalam sebuah hadits disebutkan:
ْﻦَﻋ :َﻝﺎَﻗ َﺓَﺮْﻳَﺮُﻫ ْﻲِﺑَﺃ ِﻪﻠﻟﺍ ُﻝْﻮُﺳَﺭ َﻝﺎَﻗ ُﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ :َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ
ُﺪْﻤَﺤْﻟﺍ ِّﺏَﺭ ِﻪّﻠﻟ َﻦﻴِﻤَﻟﺎَﻌْﻟﺍ ُّﻡُﺃ ِﻥﺁْﺮُﻘْﻟﺍ َﻭ ِﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ ُّﻡُﺃ ُﻊْﺒَّﺴﻟﺍَﻭ ِﻥﺎَﺜَﻤْﻟﺍ
Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasalullah SAW
bersabda, ”alhamdu lillahi rabbil 'alamin” merupakan
induk Al-Qur’an, pokoknya al-Kitab, serta Surat as-
Sab'ul Matsani. (HR Abu Dawud)
Berdasarkan dalil ini, Imam Syafi'i RA mengatakan
bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat yang
tujuh dalam surat al-Fatihah. Jika ditinggalkan, baik
seluruhnya maupun sebagian, maka raka' at shalatnya
tidak sah.
ِﻪﻠﻟﺍ ِﻢْﺴِﺑ  ُّﻲِﻌِﻓﺎَّﺸﻟﺍ َﻝﺎَﻗ ِﻦﻤْﺣَّﺮﻟﺍ ُﺕﺎَﻳﻵﺍ ِﻢْﻴِﺣَّﺮﻟﺍ ْﻥِﺈَﻓ ُﺔَﻌِﺑﺎَّﺴﻟﺍ
ْﻭَﺃ ﺎَﻬَﻛَﺮَﺗ ﺎَﻬَﻀْﻌَﺑ ْﻢَﻟ ُﺔَﻌْﻛَّﺮﻟﺍ ِﻩِﺰْﺠُﺗ ﺎَﻬَﻛَﺮَﺗ ْﻲِﺘَّﻟﺍ ﺎَﻬْﻴِﻓ
Imam Syafi'f RA mengatakan bahwa basmalah
merupakan tujuh ayat dari surat al-Fatiﺍah. Apabila
ditinggalkan atau tidak dibaca sebagian ayatnya, maka
raka'atnya tidak cukup . (Al-Umm , juz I, haL 129)
Karena merupakan bagian dari surat al-Fatihah, maka
basmalah ini juga dianjurkan untuk dikeraskan ketika
seseorang membaca al-Fatihah dalam shalatnya, sesuai
dengan Hadits Nabi SAW:
ْﻦَﻋ َﺓَﺮْﻳَﺮُﻫ ْﻲِﺑَﺃ ُﻪﻠﻟﺍ َﻲِﺿَﺭ َﻝﺎَﻗ  ُﻪْﻨَﻋ ﻰَّﻠَﺻ َّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ َّﻥَﺃ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪﻠﻟﺍ
َﻢَّﻠَﺳَﻭ ُﺮَﻬْﺠَﻳ َﻥﺎَﻛ ِﺔَﻠَﻤْﺴَﺒْﻟﺎِﺑ
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW (selalu)
mengeraskan suaranya ketika membaca basmalah
(dalam shalat) . (HR Bukhari)
Menjelaskan hadits ini, 'Ali Nayif Biqa'i dalam tahqiq
kitab Idza Shahha al-Hadits Fahuwa Madzhabi karangan
Syeikh as-Subki menjelaskan:
"Ibn Khuzaimah berkata dalam kitab Mushannaf-nya
menyatakan, pendapat yang menyatakan sunnah
mengeraskan basmalah merupakan pendapat yang
benar. Ada hadits dari Nabi SAW dengan sanad yang
muttashil (urutan perawi hadfts yang sampai langsung
kepada Nabi Muhanzmad SAW), tidak diragukan, serta
tidak ada keraguan dari para ahli hadfts tentang shahih
serta muttashil-nya sanad hadfts ini. Lalu Ibn
Khuzaimah berkata, telah jelas dan telah terbukti
bahwa Nabi SAW (dalam hadits tersebut) mengeraskan
bacaan basmalah dalam shalat.” (Ma’na Qawl al-Imam
al-Muththalibi Izda Shahha al-Hadits Fahuwa Madzhabi,
hal 161)
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa basmalah
merupakan sebagian surat dari al-Fatihah, sehingga
harus dibaca manakala membaca al-Fatihah dalam
shalat. Dan juga basmalah disunnahkan untuk
dikeraskan dalam shalat jahriyyah atau shalat yang
disunnahkan untuk mengeraskan suara yakni maghrib,
isya’ dan subuh dan beberapa shalat sunnah berjamaah
yang dikerjakan pada malam hari.
Sunnah artinya lebih utama dikerjakan tapi tidak
sampai pada hukum wajib. Kesunnahan mengeraskan
bacaan basmalah ini sebagaimana sunnahnya
mengeraskan keseluruhan al-Fatihah dalam shalat
jahriyyah tersebut.
(KH Muhyiddin Abdusshomad)

Tiga Tingkatan Shalat Sunnah

Seperti diketahui bahwa selain fardhu lima waktu, ada
beberapa shalat tambahan yang sering disebut dengan
shlat nawafil yang dalam bahasa indonesia bisa
diterjemahkan sebagai shalat tambahan. Jika
diperhatikan secara sekasama ternyata shalat nawafil
ini ada beberapa tingkatan pertama sunnah, kedua
mustahab, ketiga tathawwu’ .
Meskipun ketiganya sering dikategorikan sebagai shalat
sunnah, tetapi pada hakekatnya memiliki perbedaan.
Dalam kitab Asrarus Shalat min Rub’il Ibadat, Imam
Ghazali menerangkan bahwa yang dimaksud dengan
shalat sunnah adalah shalat yang dinukil secara
langsung dari Rasulullah saw yang mana beliau
melakukannya secara terus menerus. Misalnya shalat
rawatib yang mengiringi shalat fardhu (shalat sunnah
qabliyah dan shalat sunnah ba’diya h), shalat dhuha,
shalat tahajjud, shalat witir dan sebagainya.
Adapun yang dimaksud dengan shalat mustahab adalah
shalat yang keutamaannya dijelaskan dalam hadits,
tetapi tidak ada keterangan bahwa Rasulullah saw
melaksanakannya secara terus menerus. Seperti shalat
sebelum keluar dari rumah, shalat setelah datang dari
bepergian, shalat pada beberpa malam dan hari
tertentu (shalat sunnah malam ahad, shalat sunnah
hari senin) dan lain sebagainya.
Sedangkan keterangan tentang shalat tathawwu’, adalah
shalat selain itu semua yaitu shalat yang tidak ada
keterangan dalam hadits maupun atsar. Tetapi seorang
hamba melakukannya sebagai munajat kepada Allah
swt. Begitulah yang dilakukan oleh seorang hamba yang
ingin mendekatkan diri kepada Allah secara tulus ikhlas
menyerahkan diri (tabarru’).
Ketiga kategori ini adalah ungkapan teoritis yang
menurut Imam Ghazali tidaklah berpengaruh bila
terjadi kesalahan penyebutan karena yang terpenting
adalah pemahamannya. ( Ulil H )

Tanggungjawab Pemimpin

Suatu hari, usai mengurus pemakaman jenazah Sulaiman
bin Abdul Malik, sang khalifah Umar bin Abdul Aziz
pulang ke rumah untuk istirahat sejenak. Tiba-tiba Abdul
Malik bin Umar, putra sang khalifah, menghampirinya.
Ia bertanya, “ Wahai Amirul Mukminin, apakah gerangan
yang mendorong Anda membaringkan diri di siang hari
seperti ini ?” Umar bin Abdul Aziz tersentak campur kaget
tatkala sang putra memanggilnya dengan sebutan Amirul
Mukminin, bukan ayah, sebagaimana biasanya.
Ini isyarat, putranya tengah meminta
pertanggungjawaban ayahnya sebagai pemimpin negara,
bukan sebagai kepala keluarga. Umar menjawab
pertanyaan putranya, “ Aku letih dan butuh istirahat
sejenak. ”
“ Pantaskah engkau beristirahat, padahal masih banyak
rakyat yang teraniaya ?” kata sang anak dengan bijak.
“ Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu.
Nanti usai Zhuhur aku akan mengembalikan hak-hak
orang yang teraniaya, ” jawab Umar.
“ Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang dapat menjamin
Anda hidup sampai Zhuhur jika Allah menakdirkanmu
mati sekarang? ” kata Abdul Malik. Mendengar ucapan
anaknya itu, Umar bin Abdul Aziz semakin terperangah.
Lalu, ia memerintahkan anaknya untuk mendekat,
diciumlah anak itu sembari berkata, “ Segala puji bagi
Allah yang telah mengaruniakan kepadaku anak yang
telah membuatku menegakkan agama.”
Selanjutnya, ia perintahkan juru bicaranya untuk
mengumumkan kepada seluruh rakyat, “ Barang siapa
yang merasa terzalimi, hendaknya mengadukan nasibnya
kepada khalifah.”
Subhanallah. Kisah di atas memberikan pelajaran (ibrah)
berharga kepada kita dan para pemimpin di negeri ini
setiap pemimpin di level manapun akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya di hadapan
manusia (di dunia) dan di hadapan Allah kelak (di
akhirat).
Rasulullah SAW menegaskan, “ Setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Pemimpin negara yang berkuasa atas
manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Seorang lelaki/suami adalah
pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Wanita/istri adalah pemimpin
terhadap keluarga suaminya dan anak suaminya dan ia
akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah
pemimpin terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya
tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang
kepemimpinannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Yang pasti, seorang pemimpin tidak akan dapat
menghindarkan diri dari tanggung jawab atas
kepemimpinannya. Boleh jadi seorang pemimpin dapat
berkelit dari pertanggungjawaban di dunia. Namun, ia
tidak akan dapat berlari dari pertanggungjawaban
(pengadilan) di akhirat kelak.
( Imam Nur Suharno)

Merendahkan Perempuan

Banyak ayat dan hadis yang menjelaskan kaum
perempuan memiliki kedudukan yang mulia dalam
kehidupan umat manusia. Dalam Alquran terdapat surah
an-Nisa /surah perempuan yang sebagian besar isinya
menggambarkan tentang kedudukan keluarga.
Artinya, ini isyarat pemeran utama dalam membangun
keluarga adalah kaum perempuan atau ibu. Anak dan
keturunan yang saleh dan salihah pada umumnya adalah
hasil dari belaian dan didikan ibunya. Al-uum al-
madrasatul uula (ibu adalah sekolah pertama).
Karena itu, penghormatan kepada ibu melebihi
penghormatan kepada bapak. Meskipun, memang
keduanya harus dihormati dan disayangi. Apalagi, ketika
keduanya sudah memasuki usia tua atau uzur. Terkait hal
ini, Allah SWT berfirman dalam surah al-Israa ayat 23-24.
“ Dan, Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-
kali janganlah kami mengatakan kepada keduanya
perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentah mereka
serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Dan, rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. ’”
Dalam tata cara berpakaian, perempuan diperintahkan
menutup aurat. Ini bagian dari penghormatan dan
penghargaan Islam terhadap mereka. Sekaligus, mereka
akan merasa terjaga dan terpelihara kehormatan dirinya.
Perempuan yang berusaha menutup auratnya, di samping
melaksanakan perintah agama, menghormati dirinya,
juga memperlihatkan identitas dirinya sebagai Muslimah.
Dalam surah al-Ahzab ayat 59, Allah menegaskan hal
tersebut.
“ Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal
karena itu mereka tak diganggu. Dan, Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. ’”
Berbeda dengan paham dan sikap dari golongan
materialis dan sekuleris. Dengan mengatasnamakan
kebebasan, kemerdekaan, dan hak asasi dinyatakan tak
ada keharusan bagi perempuan menjaga kehormatan
dirinya. Apalagi, menutup aurat.
Menutup aurat, bagi mereka, mengekang kebebasan
berekspresi bagi perempuan dan menghambat aktualisasi
diri. Karena itu, apa yang akan dilakukan sekelompok
orang dengan menyelenggarakan Miss World di Indonesia
yang mayoritas Muslim, dianggap sah-sah saja oleh
mereka.
Padahal, ini cerminan dari perilaku yang merendahkan
martabat perempuan. Ini juga menjatuhkan derajat
mereka ke derajat yang paling rendah. Kegiatan ini, jika
betul-betul dilaksanakan, hanyalah akan mengundang
amarah dan kutukan dari Allah SWT.
Allah berfirman dalam surah al-A’raf ayat 96, “ Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah
dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-
ayat Kami) itu maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.’” Wallahu a’lam.
( KH Didin Hafidhuddin)

Mengapa Harus Lari?

Khalifah Umar bin Khattab memiliki postur tinggi besar
dan berwibawa. Suatu ketika berjalan melewati anak-anak
yang sedang bermain di jalan. Melihat kedatangan
Khalifah Umar mereka lari ketakutan kecuali Abdullah bin
Zubair yang tetap berdiri tanpa takut sedikitpun, bahkan
ia menatap wajah Umar.
Umar Bin Khattab melihat anak ini berbeda dengan
teman seusianya dan mengagumi sikapnya, lalu bertanya:
“ Mengapa engkau tidak lari bersama teman-temanmu?”
Abdullah bin Zubair kecil tanpa segan menjawab dengan
lantang: “Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak melakukan
kejahatan apa pun mengapa harus lari? Jalan ini tidak
sempit, mengapa aku harus menyingkir memberi jalan
untukmu?”
Luar biasa ketegaran dan keberanian anak ini. Ia putra
tokoh Islam Zubair bin Awwam dan Asma yang telah
membentuk karakter cerdas dan ksatria yang penting
untuk kehidupannya di kemudian hari.
Menurut Aisyah ketika anak itu masih bayi, Rasulullah
SAW mengusap anak tersebut dan memberi nama
Abdullah. Ketika berusia tujuh atau delapan tahun
Abdullah datang kepada Nabi untuk berbaiat. Rasulullah
SAW tersenyum  saat melihat anak itu menghadap.
Kemudian dia membaiat Nabi (HR Muslim).
“Mengapa harus lari?” pertanyaan yang  sekaligus menjadi
jawaban bahwa dengan tidak lari dan menghindarpun toh
akan selamat. Hanya orang yang berdosa dan melakukan
kejahatanlah yang pantas untuk takut dan lari.
Memang kadang aneh, orang yang menyimpang dan
melakukan kejahatan kadang berani menghadang
tantangan dan risiko, padahal mereka berada di jalan
yang tak selamat. Sementara itu orang yang benar dan
jujur justru sebaliknya malah jadi penakut. Disinilah
Abdullah bin Zubair memberi pelajaran.
Pendidikan karakter itu harus sejak dini. Yahya As kecil
mendapat pendidikan dari Allah untuk dapat
menyelamatkan kehidupannya sendiri. Keselamatan yang
hakiki.
“Wahai Yahya ambilah Kitab dengan sungguh-sungguh.
Dan Kami berikan hikmah kepadanya sejak anak-anak.
Dan (Kami jadikan) rasa kasih sayang (kepada sesama),
kesucian dan ketakwaan. Dan sangat berbakti kepada
orangtua, tidak sombong dalam pergaulan dan tak
durhaka. Keselamatan bagi dirinya saat dilahirkan,
dimatikan, dan saat dibangkitkan” (QS Maryam 12-15).
Ada empat hal penting pendidikan karakter Allah SWT
kepada Yahya. Pertama dasar dari nilai adalah Kitab
karena celupan (sibghah) dari kepribadian yang mantap,
kuat, dan berani adalah Kitab Allah. Kedua, terbangun
kualitas intelektual yang baik dengan ilmu pengetahuan
yang luas dan memahami hikmah dari  berbagai sinyal
Allah.
Ketiga, hati yang bersih dan memiliki kepekaan
emosional serta empati yang tinggi terhadap berbagai
penderitaan sesama. Dan keempat, berbuat baik kepada
orang tua dan pergaulan sosial yang bagus dan tidak
sombong.
Keempat aspek di atas telah membuat Yahya muda  tidak
pernah lari dari medan juang dan tidak pernah merasa
sempit jalan walaupun mesti berhadapan dengan
berbagai bentuk kezaliman penguasa dan kaumnya. Ia
tegar menuntaskan misi kenabiannya.
Ketika kecil kita suka mendengar kisah sikap jika dikejar
oleh seekor anjing. Jika kita lari terus saat anjing
mengejar kita, maka anjing itu akan semakin kencang
mengejar dan mungkin cepat untuk menggigit. Dikatakan
kita harus segera diam, berjongkok seperti sedang
mencari batu untuk melemparnya. Niscaya anjing itu
akan berhenti mengejar. Meski hal itu tergantung pada
keadaannya, namun mungkin ada benarnya. Anjing akan
berhenti jika dia tahu sasarannya melawan dan berani.
Di tengah arus zaman yang keras seperti sekarang
dimana kemaksiatan mengepung diri dan anak-anak kita,
nilai-nilai moral mulai tergerus oleh budaya barat yang
hedonis, kerakusan yang memangsa korban siapa saja
termasuk saudara dan anggota keluarga sendiri, mistik-
mistik yang berkembang membarengi jiwa frustrasi yang
tidak mampu berkompetisi, maka tidak ada jalan lain
selain dengan gigih kita harus menanamkan jiwa
perlawanan, keberanian, dan harga diri pada anak anak
dan pelanjut generasi.
Membesarkan jiwa  mereka untuk mencapai keberhasilan
di masa depan. Memberi gambaran bahwa lapangan
kehidupan itu luas dengan rezeki yang Allah tebarkan
dimana-mana. Jalan itu tidak sempit anakku, mengapa
harus menyingkir? Sepanjang engkau tidak melakukan
kejahatan apapun, mengapa harus lari?
( HM Rizal Fadillah)

Dai dan Ustadz Bertarif

LPada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang Prof
Dr H Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di
sebuah
koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang.
Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan
mengkritisi para dai yang prilaku kesehariannya
bertentangan dengan
materi dakwah yang ia sampaikan. Sebagai sebuah
nasehat, semoga Allah SWT telah memberikan pahala
kepada beliau.
Namun fenomena dai berbulu musang pada masa
berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah
daripada
sekadar dai berbulu musang.
Muncul oknum dai yang berani memungut imbalan alias
upah dari masyarakat yang didakwahinya. Alias Dai
Walakedu (jual ayat kejar duit).
Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin ,
organisasi para dai yang dipimpin shahibul fadhiilah KH
Syukron Ma’mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam
musyawarah nasional (Munasnya yang ke-4), yang dihadiri
350 peserta, para ulama dan dai seluruh Indonesia
merumuskan enam butir kode etik dakwah.
Diantara kode etik dakwah itu, dai tidak boleh memungut
imbalan dari masyarakat yang didakwahi. Apa yang
dirumuskan Munas Ittihadul Muballigin mendapat
apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu
Dr Tarmizi Taher.
Kendati demikian, fenomena dai berbulu musang
maupun dai yang memungut imbalan tidaklah surut
jumlahnya, bahkan belakangan jauh lebih parah, karena
berkembangnya dai-dai yang masang tarif dalam
berdakwah.
Kami sungguh sangat kenyang menerima pengaduan
masyarakat tentang kekecewaan mereka terhadap oknum-
oknum dai yang memasang tarif dalam berdakwah.
Banyak masyarakat yang gagal mendatangkan seorang dai
karena setelah tawar menawar seperti layaknya
berdagang sapi mereka tidak mampu membayar tarif
yang diminta dai yang bersangkutan.
Masyarakat juga banyak yang bertanya kepada kami, apa
hukumnya memasang tarif dalam berdakwah dan
memberikan uang sebesar itu kepada dai bertarif.
Dalam kajian fiqh memang ada tiga pendapat yang
berkembang, yang pertama: pendapat yang
mengharamkan secara mutlak, baik ada perjanjian
sebelumnnya maupun tidak, pendapat ini memiliki dalil-
dalil yang kuat baik dari al-Qur’an maupun Hadis.
Pendapat kedua yang membolehkan  berdakwah dengan
memungut imbalan, pendapat ini berlandaskan kepada
Hadis riwayat Imam Bukhori, Rasulullah SAW bersabda,
“ Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya
adalah al-Qur’an. ”
Dalil ini memang kuat, namun penggunaan (Istidlal )
hadis ini untuk membolehkan memungut imbalan dalam
berdakwah sangat lemah, karena berdasarkan sabab
wurud hadis ini, hadis ini tidak berkaitan dengan
berdakwah melainkan berkaitan dengan mengobati orang
yang sakit dengan pengobatan Ruqyah (membacakan
surah al-Fatihah).
Sementara pendapat ketiga, dan inilah yang diambil oleh
Munas ke-4 Ittihadul Muballigin tahun 1996 adalah
pendapat yang mengatakan, apabila ada perjanjian
sebelumnya seorang dai akan menerima upah dalam
dakwahnya hal itu tidak dibolehkan. Sedangkan apabila
tidak ada perjanjian apa-apa kemudian dai diberi uang
saku, hal itu dibolehkan.
Dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya
shalat dan puasa, kendati tidak menjadi rukun Islam.
Surah al-Baqarah ayat 159 mengancam orang-orang yang
tidak mau berdakwah, mereka akan dilaknat Allah SWT
dan para makhluk yang melaknat.
Orang yang tidak mau berdakwah kecuali diberi imbalan
sama artinya dia tidak mau berdakwah kalau tidak ada
imbalan. Fenomena memungut imbalan ini belakangan
sungguh sangat memprihatinkan karena banyak dai yang
dalam dakwahnya memakai cara berdagang sapi dengan
tawar menawar, perjam, pertitik dan sebagainya.
Sepanjang pengamatan kami, tarif termahal dalam
berdakwah ini adalah Rp 100 juta satu kali ceramah (satu
titik) dan yang paling murah adalah Rp 10 juta.
Wajar bila masyarakat mengeluh terhadap fenomena
pasang tarif ini, karena uang yang mereka kumpulkan
adalah uang sumbangan dari orang-orang miskin yang
mengumpulkan dengan memeras keringat kemudian
dirampok begitu saja oleh oknum dai berbulu musang
itu.
Dai seyogianya adalah orang yang memecahkan masalah
umat bukan orang yang membuat masalah bagi umat. Dai
adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang
yang membebani umat.
Dai-dai yang kepingin cepat kaya lebih baik berdagang
sapi saja, karena terbukti banyak orang yang berdagang
sapi mendapatkan uang ratusan milyar rupiah, mobil pun
banyak dan istri pun berderet-deret.
Bersyukurlah dai yang dibuka aibnya oleh Allah SWT di
dunia karena ia masih punya kesempatan untuk
bertaubat.
Dan celakalah dai ketika aibnya dibuka oleh Allah SWT di
akhirat karena dia tidak punya kesempatan lagi untuk
bertaubat.
(Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA)

Do'akan

Di antara pahala yang besar sekali adalah mendoakan
pimpinan kita, pemerintahan kita. Bayangkan, jika mereka
berhasil membuat keputusan yang menyejahterakan
masyarakatnya, itu menjadi pahala tambahan bagi kita.
Koq pahala tambahan? Ya, sebab doa tidak dikabulkan
saja, sudah merupakan pahala. Sudah merupakan
kebaikan.
Makin panjang doanya, makin banyak permintaannya,
makin panjang dan banyak pahalanya, banyak
kebaikannya.
Apalagi ini bukan doa untuk diri sendiri. Melainkan doa
untuk orang lain. Dan orang lain yang didoakan adalah
pimpinan kita, pemerintahan kita.
Dengan prinsip dasar semua yang didoakan buat orang
lain, lalu kembali itu doa kepada kita, maka mendoakan
pimpinan, pemerintahan, tentu berganda-ganda
pahalanya, berganda-ganda kebaikannya.
Jika dengan doa kita, rakyat Indonesia, buat beliau-
beliau, bisa membuat dengan izin Allah mereka lurus,
terhindar dari maksiat, terhindar dari korupsi, terhindar
dari urusan perempuan (baca: perzinahan ), terhindar
dari urusan rizki dan perilaku haram, sehingga mereka
selamat dalam memimpin, selamat dalam tugas dan
pengabdian, tentu ini pun akan menjadi tambahan betul
pahala dan kebaikan bagi kita.
Kita sering mengeluh tentang keadaan pimpinan kita,
pemerintahan kita. Namun sudahkah kita mendoakan
mereka?
Mereka layak dikasihani. Layak didoakan. Tentu butuh
keikhlasan untuk percaya kepada mereka yang saat ini
memimpin dan memerintah. Dan keikhlasan juga buat
mendoakan.
Sebab banyak orang beranggapan, masak orang sudah
jelas-jelas jahat, banyak dosa, banyak salah, korup, mesti
didoakan? Ada aroma ketidakikhlasan. Jangan begitu
sebaiknya.
Pertama, kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Kita hanya bisa mendengar, tidak Mahamendengar. Kita
hanya melihat, bukan Mahamelihat. Sehingga apa yang
kita dengar, apa yang kita lihat, semuanya belum tentu.
Daripada timbul buruk sangka yang malah akhirnya
negatif total, lebih baik ambil sikap mendoakan mereka.
Doanya apa? Ya, doakan supaya mereka tidak jahat dalam
memimpin dan memerintah negeri ini, daerah-
daerahnya, kota-kotanya.
Tidak rakus, tidak serakah, banyak rizki, sehat badan,
banyak ditolong dan diampuni Allah, bersih rizkinya,
lurus perilakunya, panjang umurnya, dapat hidayah,
dapat taufik, dapat kemuliaan dan kehormatan serta rizki
dari
sisi Allah saja yang abadi, yang lebih menentramkan, dan
seterusnya.
Tambahan doa untuk kesehatan mereka. Kalau mereka
sehat, pahala balik ke kita sudah bakal banyak banget.
Dan saya menyenangi mendoakan orang lain. Sebab doa
itu benar-benar balik ke kita juga. Baik secara pahalanya,
juga secara kebaikannya.
Bayangkan jika mereka bisa menghasilkan keputusan yang
bisa menyelamatkan aset negeri ini, kekayaan negeri ini,
dari tangan mereka yang serakah? Subhaanallaah.
(Ustaz Yusuf Mansur)

Rindu Pemimpin Asketis

Suatu hari Rasulullah SAW tengah tidur beralaskan
pelepah kurma. Sehingga bekasnya terlihat di badan
beliau. Sahabat Umar bin Khathab datang
mengunjunginya. Ketika Umar melihat keadaan Nabi SAW
demikian Umar menangis.
Kemudian Rasulullah bangun, “Mengapa engkau
menangis?” Tanya Rasulullah SAW kepada Umar bin
Khathab.
“Aku ingat kaisar dan kekuasaannya, sedangkan engkau
adalah utusan Tuhan. Tetapi engkau hanya tidur
beralaskan tikar.” jawab Umar sembari menangis.
“Apa engkau tidak ridha jika mereka memiliki dunia,
sedangkan kita memiliki akhirat,” sabda Rasulullah SAW
tegas.
Maka turunlah ayat ke-20 surat Alinsan, “Dan apabila
engkau melihat keadaan di sana (surga), niscaya engkau
akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan
yang besar.”
Suatu ketika sepulang dari medan peperangan. Rasulullah
dan para sahabatnya, disambut bahagia oleh kaum
muslim di Madinah. Seorang penjual air hendak
menyalami tangan Rasulullah, tapi Nabi SAW
menolaknya. Jusru Nabi sendiri yang mengambil
tangannya. Saat bersentuhan, Nabi merasakan hal aneh
pada tangannya. Lalu Nabi SAW melihat tangannya
sangat kasar sekali.
“Kenapa tanganmu kasar sekali?” Tanya Nabi Muhammad.
“Pekerjaan saya membelah batu setiap hari, wahai
Rasulullah,” jawabnya. “ Lalu pecahan batu itu saya jual
ke pasar dan uangnya saya gunakan untuk menafkahi
keluarga,” sambungnya.
Kemudian Rasulullah mencium tangan penjual air itu
sembari berkata,” inilah tangan yang tak akan pernah
disentuh api neraka selama-lamanya.”
Melihat kisah di atas yang mencerminkan kesederhanaan
dan kecintaan Nabi Muhammad SAW kepada rakyatnya,
kita ingin menangis seperti sahabat Umar bin Khathab.
Menangis karena haru dan rindu. Haru, karena sangat
langka manusia seperti beliau di permukaan bumi ini.
Padahal beliau adalah kepala negara dan utusan Tuhan.
Sebagai kepala negara tentunya beliau bisa hidup
bergelimangan harta.
Rindu, karena kita berharap ada pemimpin, pejabat dan
politisi di negeri ini menjadikan Rasulullah sebagai
teladan. Pemimpin yang hidupnya asketis, yakni yang
mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, kerelaan
berkorban, tidak menumpuk kekayaan, serta pemimpin
yang merasakan penderitaan, beban dan kesulitan
rakyatnya.
Kita rindu pemimpin yang menegakan hukum tanpa
pandang bulu. Pejabat yang adil dan bijaksana.
Hubungan pemimpin dengan rakyatnya harusnya seperti
diilustrasikan Rasulullah, sebagai pengembala ternak
yang setiap saat harus melindungi gembalaanya.
“Setiap kalian adalah pengembala (pemimpin), dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
pengembalaannya (kepemimpinannya),” seru Nabi SAW.
(HR Bukhori, Muslim)
Di Indonesia, keserakahan para pejabat merajalela.
Praktik KKN dan suap marak. Para pejabat tanpa merasa
malu melakukan korupsi miliaran rupiah, memanipulasi
dan membohongi rakyat. Uang rakyat yang dikumpulkan
rakyat untuk membangun Negara, malah dirampok wakil
rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya.
Ironinya, perilaku borok tersebut justru dilakukan oknum
berpendidikan tinggi. Sungguh terlalu!
Dengan petikan kisah di atas, kita dapat mengambil
hikmahnya dan berharap para pemimpin negeri ini, dan
para wakil rakyat baik di tingkat pusat hingga daerah,
menjadi pemimpin asketis, serta menjadikan Rasulullah
sebagai teladan. Aamiin.
(Kusnandar SThI)

Melacak Sejarah Hukum Waris

Jauh sebelum Islam datang, peradaban manusia telah
mengenal sistem pembagian waris. Pada zaman Jahiliyah,
misalnya, bangsa Arab sudah menerapkan pembagian
waris yang amat merugikan kaum wanita. Saat itu, yang
berhak mendapatkan hak waris dari orang yang
meninggal dunia hanyalah kaum Adam.
Tak semua laki-laki bisa memperoleh harta warisan.
‘’Yang boleh mewaris hanyalah laki-laki dewasa yang telah
mahir naik kuda dan memanggul senjata ke medan
perang serta memboyong harta ganimah (rampasan
perang),’’ ungkap Dr Moch Dja’far dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam.
Menurut Dja’far, asalkan memenuhi syarat mampu
berperang, seorang lelaki dewasa tak peduli masuk
kategori nasab, anak angkat, kategori sumpah, dan
bahkan lahir di luar nikahpun dapat mewarisi.
Dalam tradisi Arab Jahiliyah, faktor-faktor yang
memungkinkan seseorang bisa menjadi ahli waris antara
lain: pertama, nasab atau kerabat dengan syarat. Kedua,
anak angkat dengan syarat. Ketiga, sumpah setia antara
dua orang yang bukan kerabat dengan kata-kata.
Pembagian sistem waris pada zaman itu cenderung
diskriminatif. Betapa tidak. Anak laki-laki yang belum
dewasa dan tidak ikut berperan dinyatakan tak berhak
mendapatkan hak waris. Begitu juga dengan kaum
perempuan, mereka sama sekali tidak berhak
mendapatkan harta warisan, kendati yang meninggal
dunia adalah orang tuanya atau bahkan suaminya.
Di masa Jahiliyah, anak perempuan juga tak berhak
mendapatkan harta warisan. Sebaliknya, orang lain yang
bukan anggota keluarganya, namun mereka pernah
mengikat sumpah setia, malah diberikan hak warisan.
‘’Kaum perempuan tak diperbolehkan memiliki harta
benda, kecuali wanita-wanita dari kalangan elite,’’ tulis
Ensiklopedi Islam. Bahkan, pada zaman Jahiliyah, wanita
menjadi sesuatu yang diwariskan.
Ketika ajaran Islam datang, Rasulullah SAW merombak
sistem hukum waris Arab Jahiliyah, sekaligus merombak
sistem kepemilikan masyarakat atas harta benda,
khususnya harta pusaka. Menurut Ensiklopedi Islam,
struktur masyarakat Arab pra-Islam amat dipengaruhi
oleh kelompok-kelompok kesukuan.
Sehingga, harta benda termasuk pusaka orang yang
meninggal menjadi milik sukunya. Rasulullah SAW
memperkenalkan sistem hukum pembagian waris yang
sangat adil. Setiap pribadi, baik laki-laki maupun
perempuan berhak memiliki harta benda. Selain itu,
kaum perempuan juga berkah mewariskan dan mewarisi,
seperti halnya kaum Adam.
Waris di Era Awal Islam
Sebelum turun ayat Alquran yang mengatur tentang
waris, di awal perkembangan Islam masih berlaku
landasan pengangkatan anak dan sumpah setia untuk
dapat mewarisi. ‘’Lalu berlaku alasan ikut hijrah serta
alasan dipersaudarakannya sahabat Muhajirin dan Ansar,’’
papar Dja’far.
Yang dimaksud dengan alasan ikut hijrah, papar Dja’far,
adalah jika seorang sahabat Muhajirin wafat, maka yang
mewarisinya adalah keluarga yang ikut hijrah. Sedangkan,
kerabat yang tak ikut hijrah tak mewaris. Jika tak ada
satupun kerabatnya yang ikut hijrah, maka sahabat
Ansar-lah yang akan mewarisinya.
‘’Inilah makna yang terkandung dari perbuatan Nabi SAW
yang mempersaudarakan  sahabat Ansah dan Muhajirin,’’
ujar Dja’far. Di awal perkembangan Islam, Rasulullah
SAW juga mulai memberlakukan hak waris-mewarisi
antara pasangan suami-istri.
Nabi Muhammad SAW kemudian memberlakukan
kewarisan Islam dalam sistem nasab-kerabat yang
berlandaskan kelahiran. Hal itu sebagaimana yang
disebutkan dalam Alquran surah al-Anfal ayat 75. Dengan
berlakunya sistem nasab-kerabat, maka hak mewarisi
yang didasarkan atas sumpah setia mulai dihapuskan.
Warisan atas alasan pengangkatan anak juga telah
dihapuskan sejak awal kedatangan Islam. Menurut
Dja’far, hal itu mulai diberlakukan sejak turunnya Firman
Allah SWT yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad
SAW untuk menghapus akibat hukum yang timbul dari
pengangkatan Zaid bin Haris sebagai anak angkatnya. (QS
33:5, 37, dan 40).
Di zaman sebelum turunnya ayat waris, Rasulullah SAW
kedatangan istri Sa’ad bin ar-Rabi bersama dua anak
perempuannya. Ia lalu berkata, ‘’Ya Rasulullah, ini dua
anak Sa’ad bin ar-Rabi yang mati syahid pada Perang
Uhud bersamamu. Paman mereka merampas semua
harta mereka tanpa member bagian sedikitpun.’’
‘’Mudah-mudahan Allah segera memberi penyelesaian
mengenai masalah ini,’’ sabda Rasulullah.
Tak lama setelah itu, turunlah ayat tentang waris dalam
surah an-Nisa ayat 11. Setelah turunnya ayat-ayat tentang
waris itu, maka jelaslah orang-orang yang berhak
menjadi ahli waris (Ashab al-Furudl). Semua pihak -- laki-
laki, perempuan, anak, ibu, bapak, suami, istri, saudara
kandung, saudara sebapak, saudara seibu, kakek, nenek,
dan cucu-- memiliki bagian dalam waris.
Rasulullah SAW amat menganjurkan umatnya untuk
melaksanakan hukum waris sesuai dengan ketentuan yang
ada dalam Alquran. Semua yang sudah diatur dalam
Alquran bertujuan memberikan keadilan pada setiap
orang. Selain itu, Rasul juga memerintahkan umat Islam
untuk mempelajari dan mendalami ilmu waris (faraidl)
ini.
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,
‘’Pelajarilah ilmu waris dan ajarkan, karena ilmu waris
merupakan separuh ilmu. Ilmu waris adalah ilmu yang
mudah dilupakan dan yang pertama kali dicabut dari
umatku.’’ (HR Ibnu Majah dan Daruquthni).
Ilmu waris merupakan ilmu yang pertama kali diangkat
dari umat Islam. Cara mengangkatnya adalah dengan
mewafatkan para ulama yang ahli dalam bidang ini.
Orang yang paling menguasai ilmu waris di antara umat
Rasulullah SAW adalah Zaid bin Tsabit.
‘’Tak heran para imam mazhab menjadikan Ziad bin
Tsabit sebagai rujukan dalam ilmu waris,’’  ungkap
Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah dalam Ahkamul
Mawarits: 1.400 Mas’alah Miratsiyah.
(Heri Ruslan)

Akibat Tidak Peduli Seruan Azan

Sudah setahun Anwar sekolah di kota, di sebuah
madrasah tingkat Aliyah. Dia bangga sekali, karena tidak
semua anak lulusan Tsanawiyah di desanya dapat
melanjutkan pendidikan menengah atas di ibu kota
propinsi.
Sebagian besar hanya melanjutkan sekolah di ibu kota
kabupaten atau malah berhenti sekolah dan mulai
bekerja di sawah atau ladang membantu orang tua yang
umumnya petani.
Liburan setelah ujian smester dua kali ini dia manfaatkan
untuk pulang ke desa berkumpul dengan teman-teman
sebaya.
Berbagai macam agenda sudah tersusun di kepalanya,
salah satunya yang paling menarik adalah makan
bersama dengan teman-teman sebaya.
Mereka iyuran membeli bahan-bahan masakan yang
diperlukan, bisa berupa uang atau bahan mentahnya
langsung. Mereka akan masak sendiri, dengan
kemampuan sekadarnya, yang penting tidak asin.
Bekal ilmu memasaknya paling-paling dari sekali-sekali
memperhatikan ibu atau kakak perempuannya memasak
di dapur.
Membayangkan acara makan bersama itu, Anwar tidak
sabar segera sampai di desa. Perjalanan 60 km dengan
mobil dirasakannya terlalu lama.
Pada hari H, sepuluh anak remaja sudah berkumpul di
bawah sebuah pohon, tidak jauh dari pinggir sungai.
Itulah tempat favorit mereka.
Pada saat azan Zhuhur berkumandang, mereka tengah
sibuk-sibuknya memasak sambil bercanda penuh tawa.
Sebenarnya Anwar ingin segera ke masjid melaksanakan
shalat Zhuhur berjamaah seperti yang sudah biasa
dilakukannya sejak kecil.
Ayahnya selalu membimbingnya shalat berjamaah ke
masjid. Sejak sekolah dasar sampai tamat Tsanawiyah dia
sudah terbiasa shalat di masjid. Sebenarnya motif
utamanya shalat berjamaah di masjid adalah karena takut
ayahnya.
Kalau ketahuan tidak shalat di masjid, ayahnya pasti
marah besar. Ingat ayahnya, Anwar ingin segera shalat ke
masjid meninggalkan teman-temannya. Tetapi dia merasa
tidak enak, apalagi masakan hampir matang.
Sedang bimbang begitu, ayahnya lewat menuju masjid
dan mengingatkan Anwar untuk segera ke masjid. Dia
mengangguk, tetapi tidak melaksanakannya.
Begitu ayahnya kembali dari masjid dan melihat Anwar
masih bersama teman-temannya di bawah pohon, beliau
marah dan segera memanggil puteranya dengan suara
keras: "War, apabila acaramu selesai, segera ke rumah!"
Untunglah ayahnya masih memberinya kesempatan
menikmati hidangan yang sudah mereka siapkan susah
payah. Tetapi hati Anwar sudah tidak tenang, ayahnya
pasti marah besar. Dia siap menerima hukuman yang
akan diberikan.
Setelah benar-benar menerima hukuman, Anwar kaget
bukan kepalang. Hukumannya benar-benar di luar
dugaannya. Dengan tenang ayahnya memutuskan:
"Anwar, kamu tidak boleh kembali ke kota. Kamu harus
berhenti sekolah. Tinggal saja di desa bertani, lalu
menikah!''
''Tidak ada gunanya kamu sekolah tinggi di kota, kalau
hasilnya kamu mengabaikan panggilan azan. Ayah tidak
ingin kamu sekolah tinggi tetapi tidak peduli dengan
panggilan shalat. Baru setahun kamu di kota, kamu
sudah berani meninggalkan shalat berjamaah di masjid."
Anwar tahu watak bapaknya. Jika sudah memutuskan
sesuatu, sukar untuk mengubahnya. Dia minta maaf
sambil menangis, tetapi keputusan tetap tidak berubah.
Liburan sekolah sudah habis seminggu yang lalu, tetapi
dia belum juga diberi izin kembali ke kota. Anwar betul-
betul sangat menyesal telah mengabaikan panggilan
shalat Zhuhur di masjid. Walaupun sebenarnya, baru
sekali itu dia lakukan. Tapi penyesalan tidak ada gunanya.
Untunglah kemudian, pamannya membantu membujuk
ayahnya dan menjamin pelanggaran itu tidak akan
terulang kembali. Akhirnya ayahnya membolehkannya
kembali sekolah ke kota atas jaminan pamannya itu.
(Yunahar Ilyas)

Mengapa Tidak Berjilbab?

Saat Ramadhan yang lalu, perwajahan wanita muslim di
negeri ini tampak anggun dan lebih Islami. Terutama di
media kaca. Mereka (terutama para selebritas) terlihat
lebih salihah. Karena ada jilbab (hijab) di wajahnya.
Namun setelah bulan rahmat tersebut berlalu, wajah asli
mereka terihat lagi. Aurat mereka ditampakkan kembali.
Karena itu bagi sebagian orang jilbab terkesan hanya
untuk Ramadhan atau kegiatan keagamaan lainnya.
Di luar itu, jilbab pantasnya diletakkan kembali dan
dimasukkan ke lemari kembali. Naudzubillah . Jika
dikonfirmasi kepada mereka yang berjilbab saat
Ramadhan namun dilepas setelah itu, paling tidak inilah
beberapa alasannya.
Pertama, kalau mengenakan hijab, nanti kecantikannya
tertutup, terus laki-laki yang ingin melihat wajah aslinya,
akan menahan nafsunya. Kalau terus ditahan nafsunya,
itu bisa meledak dan ia melampiaskannya dengan
melakukan pelecehan!
Nah, pemecahannya, ya berarti harus buka hijab(?).
Seandainya jalan pemecahan itu benar, tentu Amerika
dan negara-negara barat akan menjadi negara yang
paling kecil kasus perkosaan dan pelecehan terhadap
wanita di dunia.
Namun pada kenyataannya tidak demikian, bahkan
menurut buku Crime in USA terbitan FBI, dikatakan setiap
enam menit sekali terjadi kasus pemerkosaan di sana.
Kedua, belum mantap hatinya. Boleh saja benar alasan
tersebut, tapi mohon dengan alasan ini hendaknya bisa
membedakan antara dua hal. Yakni antara perintah Allah
dengan perintah manusia.
Jika perintah itu datangnya dari manusia, maka bisa salah
dan bisa benar. Adapun jika perintah itu dari Allah, tidak
ada alasan bagi manusia untuk mengatakan, "Saya belum
mantap."
Bila masih mengatakan hal itu bisa saja dikatakan
keislamannnya belum mantap, padahal ia mengetahui
perintah tersebut dari Allah, hal tersebut menyeretnya
pada bahaya yang sangat besar, yakni keluar dari agama-
Nya, sementara dia tidak menyadarinya.
Dengan begitu berarti ia tidak percaya dan meragukan
kebenaran perintah tersebut. Perintah untuk berhijab
(kerudung) ada pada QS: Al-Ahzab, ayat  59.
Alasan lain, dikemas diplomatis. “Sebenarnya aku sih
pengen banget pake hijab, tapi kalau Allah belum
memberiku hidayah. Aku mesti bagaimana? Alasan ini
sebenarnya dalih yang menyeret dalam kekeliruan yang
nyata.
Kami ingin bertanya: "Bagaimana Ukhti tahu Allah belum
memberimu hidayah?" Hidayah itu datangnya dari Allah,
namun kita wajib berusaha untuk mendapatkannya.
Tanpa ada usaha tidak mungkin ada hasil.
(Ustaz Muhammad Arifin Ilham)

Spirit Istiqlal

Alkisah, pada suatu hari, seorang warga Mesir datang ke
Madinah untuk mengadukan gubenurnya, 'Amr ibn
Al-'Ash. "Saya dizhalimi," wahai Amirul Mukminin.
"Perlakuan zhalim seperti apa yang kau alami?" tanya
'Umar.
"Saya mengikuti lomba pacuan kuda. Kuda saya bisa
mendahului kuda anak 'Amr bin Al-'Ash. Ia marah karena
saya bisa membalap dan mengalakannya. Ia turun dari
kudanya, lalu memukuli saya di hadapan para penonton,
termasuk sang gubernur, tetapi tidak seorang pun
membela saya."
Anak gubernur itu bahkan menyatakan: "Kenapa engkau
berani mendahuluiku. Tidakkah engkau tahu, aku adalah
anak orang paling terhormat di negeri ini (Mesir)!"
Mendengar pengaduan rakyatnya, 'Umar langsung
menemui anak gubernur, Muhammad ibn 'Amr bin
Al-'Ash dan memberikan balasan setimpal berupa
pukulan seperti yang dialami oleh warganya tersebut.
Setelah itu 'Umar menyentil sang gubernur, 'Amir bin
Al-'Ash: "Sejak kapan engkau memperbudak rakyat,
sementara mereka itu dilahirkan oleh ibu mereka dalam
keadaan merdeka?!"
Kasus tersebut menunjukkan betapa tinggi kepedulian
dan keadilan sang khalifah (pemimpin umat) terhadap
kemerdekaan warganya.
Merdeka adalah hak asasi setiap manusia dan bangsa.
Karena itu, siapapun di muka bumi tidak berhak untuk
menindas, menzhalimi, mengeksploitasi, menginvasi, dan
merampas hak-hak kemerdekaan mereka atas nama
apapun, lebih-lebih atas nama kekuasaan. Karena
kekuasaan adalah amanah, bukan peluang untuk
menjajah.
Peringatan HUT kemerdekaan RI mengingatkan kita
kepada masjid terbesar di Indonesia, Istiqlal. Masjid ini
memang berarti masjid kemerdekaan , karena dibangun
sebagai sebuah monumen dan sekaligus sarana ibadah
yang  menyadarkan kita semua akan arti penting
kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pendahulu
kita dengan pengorbanan jiwa, raga, dan harta.
Kata istiqlal itu sendiri dalam bahasa Arab berarti
mandiri, merdeka, tidak bergantung dan didikte oleh
pihak lain. Dengan mendirikan masjid ini, para pendiri
bangsa ini ( founding fathers ) seakan berpesan dengan
memakmurkan masjid, kita semua bisa mewujudkan
kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya.
Masjid adalah pusat dan sumber inspirasi kemerdekaan
dalam segala hal, karena di masjid semua Muslim hanya
mengabdi dan memohon pertolongan kepada Allah SWT
(QS Al-Fatihah [1]: 5). Ayat ini oleh para mufassir, antara
lain, dimaknai ayat pembebasan manusia dari
ketergantungan kepada makhluk  menuju tauhid sejati.
Kemerdekaan dapat terwujud jika kita semua bersatu dan
mensinergikan diri untuk mewujudkan cita-cita mulia.
Shalat berjamaah di masjid tidak hanya melambangkan
persatuan dan kebersamaan, tetapi juga persamaan
(equality), egalitarianisme, dan anti-diskriminasi.
Yang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, penguasa dan
pengusaha dapat berdiri dalam shaf yang sama. Tidak
ada masjid hanya dikhususkan para penguasa,
pengusaha, atau pejabat. Masjid, seperti halnya
kemerdekaan, adalah hak semua.
Masjid dan kemerdekaan merupakan sebuah keniscayaan
atau ibarat dua sisi dari satu mata uang. Dalam masjid
kita dididik untuk hanya bertawajjuh (mengorientasikan
diri) dan takut kepada Allah, sehingga kita tidak serta-
merta membeo dan gampang diintervensi oleh siapapun.
Masjid mendidik kita untuk mandiri, mengembangkan
semangat kebersamaan, nasionalisme, dan patriotisme
sejati.
Spirit istiqlal tidak dapat dipisahkan dari semangat
pengabdian dan pengorbanan. Kita sudah mewarisi
kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan dan
pendahulu kita.
Pertanyaannya, sudahkah kita mewarisi pengabdian dan
pengorbanan mereka untuk kejayaan negeri ini. Istiqlal
mengajarkan kita untuk menanam dan berinvestasi masa
depan, bukan berlomba-lomba memanen hasil jerih
payah para pendahulu kita dengan menghalalkan segala
cara.
Istiqlal merupakan investasi paling berharga yang
ditanamkan para pendahulu kita untuk dijaga,
dipertahankan, dimaknai, dan dikembangkan.
Istiqlal tidak cukup hanya diperingati secara rutin tanpa
diaktualisasikan dalam bentuk dedikasi dan karya nyata.
Istiqlal adalah ruh nasionalisme kita yang perlu
ditanamkan pada diri generasi muda kita.
Ketika bangsa ini sakit dan lesu darah nasionalisme,
maka semangat istiqlal perlu digelorakan kembali,
dengan memberikan keteladanan moral dan spiritual
seperti kokohnya bangunan masjid Istiqlal.
Ketika para wakil rakyat dan para pejabat berlomba-
lomba memperkaya diri , alunan ayat dan azan nan
merdu dari Istiqlal seharusnya menyadarkan semua
untuk tidak mudah dijajah oleh hawa nafsu duniawi,
kerakusan, dan keserakahan.
Istiqlal adalah poros kemerdekaan Indonesia. Melaluinya
kita bisa beramal sosial, menempa kekuatan moral dan
kecerdasan spiritual kita.
Idealnya, peringatan HUT Kemerdekaan RI diperingati di
Masjid Istiqlal dengan renungan suci, taubat nasional,
dan komitmen bersama untuk memerdekakan bangsa ini
dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, korupsi,
illegal logging, miras, narkoba, pornografi, pornoaksi,
premanisme, dan segala bentuk kemaksiatan yang
merajalela di negeri ini.
(Muhbib Abdul Wahab)

Memahat di Atas Batu

Penulis pernah berkunjung ke rumah seorang sahabat di
Jeddah. Anaknya (14 tahun) membukakan pintu,
menemaniku berbincang. Setelah ayahnya datang,
masuklah anak tersebut dan keluar lagi membawakan
minuman dan hidangan.
Selama menunggu tuan rumah, penulis meminta anak
tersebut bercerita kisah yang berkesan dalam hidupnya.
Ia bertutur, "Ada dua orang sahabat bepergian ke padang
pasir, sesampainya di sana terjadilah perselisihan.
Puncaknya salah satu diantara keduanya menampar
sahabatnya. Si Penampar menyesal karena telah
mengikuti bisikan setan dan meminta maaf. Yang
ditampar pun memaafkannya. Sebelumnya ia sempat
menulis di atas pasir, "Pada hari ini... sahabatku
menamparku."
Keduanya melanjutkan perjalanan sampai ke suatu
lembah. Tiba-tiba datanglah air bah dengan cepatnya.
Seorang yang ditampar tadi terpeleset dan terbawa arus
air yang deras. Segera sahabatnya menyelamatkannya
dengan sigap.
Yang ditolong segera berterimakasih. Lalu ia memahat di
atas batu, " Pada hari ini... sahabatku telah
menyelamatkanku dengan izin Allah".
Kita bisa memetik beberapa pelajaran dari kisah di atas:
Pertama: Dalam berinteraksi dengan siapapun apakah ia
teman, istri/suami, murid/guru, bawahan/atasan mesti
saja kita pernah dikecewakannya. Tidak ada manusia yang
sempurna.
Kedua: Hendaklah kita banyak memaklumi dan
memahami orang lain. Janganlah menuntut orang lain
memaklumi dan memahami kita agar kita tidak kecewa.
Ketiga: Meminta maaf adalah akhlak mulia dan
memaafkan lebih mulia lagi.
Keempat: Janganlah memendam dendam. Lupakanlah
kesalahan saudara kita jika kesalahannya tidak disengaja,
tidak fatal dan kebaikannya sangat banyak sekali. Apalagi
jika ia telah menyesal dan bertaubat. Perbaikilah
kesalahan saudara kita dengan doa dan cara yang baik.
Kelima: Ingatlah kebaikan saudara kita, balaslah
kebaikannya dengan ungkapan terimakasih, doa dan
perbuatan baik.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang
artinya, "Barangsiapa tidak berterimakasih kepada
manusia maka ia tidak bersyukur kepada Allah" (Hadits
Shahih Riwayat Ahmad dan Tirmidzi).
"Barangsiapa telah berbuat baik kepada kalian, maka
balaslah kebaikannya. Apabila kalian tidak mendapatkan
sesuatu untuk membalas budinya, maka doakanlah
untuknya sehingga kalian berpendapat seolah-olah telah
membalas budinya." (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu
Daud dan lainnya)
Jika kita menanam kebaikan kepada saudara kita,
niatkanlah untuk mengharap ridha Allah semata.
Janganlah berharap ucapan terimakasih atau balasan
apapun agar kita tidak kecewa dan tidak rusak amal kita.
Allah yang akan membalas kebaikan kita di dunia dan
akhirat.
Ya Allah karuniakanlah untuk kami keikhlasan yang
membuahkan amal shalih. Ya Allah jadikanlah kami
sebagai orang-orang yang bersyukur atas nikmat-
nikmatMu. Amin
(Fariq Gasim Anuz)

Telapak Tangan di Tanah

Rasulullah SAW bersabda “yaquulullah tabaaraka wa
taala man tawaadha’a lii haakadzaa rafa’tuhu
haakadzaa ”—Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
'Barangsiapa rendah hati karena-Ku seperti ini, Aku akan
mengangkat derajatnya seperti ini’—(HR Muslim).
Beliau menyampaikan hadits tersebut sambil memberi
isyarat dengan tangan kanannya yakni telapak tangan di
bawah dan menempel di tanah dengan punggung
tangannya ke atas. Sementara ketika menyatakan “aku
akan mengangkat derajatnya seperti ini”, beliau SAW
meletakkan telapak tangannya menghadap ke atas dan
mengangkat ke langit.
Rendah hati adalah kata kunci. Allah akan tinggikan
derajat hamba baik dalam pergaulan sesama maupun
dihadapan Allah SWT bagi mereka yang memiliki
kerendahan hati. Sebaliknya orang yang menyombongkan
diri, maka allah akan rendahkan derajat mereka. Sejarah
kehidupan orang sombong selalu berakhir dengan
kehinaan. Rosululullah SAW sendiri adalah figur yang
sangat rendah hati.
Rosulullah SAW adalah seorang pemimpin yang rendah
hati dan sangat lembut, selalu memperhatikan setiap
orang yang bertanya, tidak berpaling hingga si penanya
yang berpaling. Menyambut setiap orang yang
mengulurkan, tidak akan melepaskan jabatan tangannya
hingga orang itulah yang melepaskannya.
Tatkala ada delegasi Najasi datang, beliau sendiri yang
melayani mereka. Ketika sahabat menegur “sudah cukup
ada yang lain” jawab beliau “aku ingin membalas sendiri
kebaikan mereka”. Ketika dalam perjalanan Rosulullah
perintahkan menyembelih kambing, masing masing
menyatakan “ aku yang menyembelih” yang lain
mengatakan “aku yang menguliti”, yang lain lagi “aku
yang memasak”, Rosulullah SAW menyatakan “aku yang
mencari kayu bakarnya !” Mereka berkata “cukup kami
saja yang mengerjakannya”. Beliau berkata “Aku tahu
kalian sudah cukup untuk mengerjakan, tetapi aku tidak
suka melihat hambanya diistimewakan dari teman-
temannya !”.
Allah memerintahkan kita shalat dengan bersujud hingga
kening menyentuh permukaan lantai atau tanah,
posisiyang sangat rendah, dengan maksud Allah angkat
derajat hamba yang merendah itu. Ketinggian malaikat
juga dinilai dari mentaati perintah Allah untuk sujud
kepada Adam. Sementara keengganan untuk
sujud merendah  Iblis, menyebabkan ia harus turun
derajat terlempar jauh ke lembah kehinaan.
Kesombongan adalah jalan kenistaan.
Ibnu Abbas Ra dalam HR Attirmidzi dan At
Thabranimenceritakan kepada kita ketika Rosulullah SAW
ditanya apa yang dimaksud dengan derajat (wa maa ad
darojaat ?) Beliau menegaskan pertama menyebarkan
salam ( ifsyaa-us salaam ), kedua sedekah memberi makan
( ith’aamuth tho’aam ), ketiga shalat malam (As sholaatu
bil laili wan naasu niyaam ), dan keempat melembutkan
perkataan (layyinul kalaam ). Seluruhnya itu
menggambarkan kerendahan hati seorang hamba.
Kini seandainya para pemimpin kita baik mereka yang
menjabat di jajaran birokrasi ataupun menjadi anggota
parlemen atau para pempimpin informal memiliki
karakter yang rendah hati, insya Allah, Allah SWT akan
mengangkat derajat mereka ke tempat yang tinggi.
Tetap berkhidmah pada rakyat dan umat dengan
meminimalkan keistimewaan diri dari yang lainnya. Tidak
seperti fenomena yang nampak dimana jabatan yang
semakin tinggi justru membuat diri semakintinggi hati,
ke bawahan main perintah, selalu ingin dikawal dan
dihormati, bersalaman tegak yang lain
membungkuk lalu cepat melepaskannya, dan suka dengan
layanan upeti atau gratifikasi.
Istimewa. Sementara mereka yang menjadi anggota
parlemen baik di pusat maupun daerah menunjukkan
perilaku dan gaya hidup yang jauh berbeda dengan
sebelum terpilih menjadi anggota. Orang sering
menyebut OKB orang kaya baru atau orang kuasa baru.
Dandanan baru, mobil baru, rumah baru, gaya hidup
baru.
Elitis bak selebritis. Kerendahan hati telah tergadai
mungkin oleh biaya politik yang tinggi. Persoalannya
adalah kewibawaan menjadi hilang, penghargaan publik
sirna, celotehan mencibir menjadi pembicaraan
harian. Para pemimpin yang telah kehilangan kerendahan
hati.
Sebenarnya jabatan tinggi tidak mutatis
mutandis dengan derajat yang semakin
tinggi. Pragmatisme mengganti harga diri. Tak jarang
dengan rasa prihatin yang sangat mendalam dan
mengelus dada kita menyaksikan drama jabatan  yang
berakhir di jaket pesakitan yang memalukan.
Saatnya untuk mengembalikan makna ketinggian derajat
sesuai dengan  hakekatnya. Semua tugas dan amanah
diakses untuk sebesar-besar kepentingan orang banyak.
Bukansebaliknya, orang banyak yang ditunggangi untuk
membuat kita jadi penting. Allah lah yang memuliakan
dan menghinakan. Kekuasaan adalah milik-Nya.
“ Katakanlah (Wahai Muhammad) ’Wahai Tuhan pemilik
kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari
siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa
yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun
yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkau-lah segala
kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS Ali Imron 26).
(HM. Rizal Fadillah)

Amalan Sebelum Tidur

Tidur tidak sekadar mengistirahatkan seluruh anggota
badan, otot dan pikiran setelah seharian beraktifitas.
Tidur adalah ibarat kematian atau kebangkitan. Ini
tercermin dari doa yang sering dibaca sebelum
tidur, “Bismika Allahumma ahya wa
amut, Dengan namamu, ya Allah, aku hidup dan
mati. Dan doa bangun tidur, “Alhamdulillahilladzi ahyana
ba'da ma amatana wa ilaihin nusyur, Segala puji bagi
Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami
dan kepadaNya kami dibangkitkan.”
Para sholihin selalu memaknai tidur dengan
kematian. Bagi mereka, tidur adalah kematian sesaat. Ini
terlihat dari cara mereka tidur menghadap kiblat, yakni
tidur di atas sisi kanan seperti mayit berbaring di liang
lahat dengan bagian depan badan menghadap
kiblat. Bahkan Hujjatul Islam , Imam Ghazali dalam
kitabnya, Bidayatul Hidayah, menganjurkan seorang
mukmin sebelum tidur menuliskan wasiat terlebih
dahulu, karena barangkali nyawanya diambil Allah SWT
saat tengah tidur.
Banyak sekali amalan sebelum tidur yang telah
dipraktekkan Nabi Muhammad SAW dan dianjurkan para
ulama, supaya tidur dalam keadaan suci lahir dan
batin. Di antara adab tidur yang berhubungan dengan
kesucian lahir, yaitu menggosok
gigi. Menurut kesehatan, kuman akan semakin
berkembang pada malam hari saat kita sedang tidur,
di mana mulut tidak melakukan aktivitas. Sahabat
Hudzaifah berkata, “Jika Nabi Muhammad SAW bangun di
malam hari, beliau membersihkan mulutnya dengan sikat
gigi.” (HR Bukhori)
Kemudian disunnahkan berwudhu. Ini menandakan
kesucian lahiriah. Sahabat Bara’ bin ‘Azib berkata, bahwa
Rasulullah menasihatinya, “Jika engkau hendak
mendatangi peraduanmu, hendaklah engkau berwudhu
terlebih dahulu sebagaimana wudhu hendak sholat.” (HR
Bukhori, Muslim).
Lalu setelah di tempat tidur, jangan lupa berzikir untuk
kesucian batin. Imam Ghazali dalam kitabnya
tersebut, juga menganjurkan seorang
mukmin sebelum matanya terpejam, mengingatberbagai
dosa dan kesalahan
yang dilakukan seharian, kemudian bertaubat kepada
Allah SWTserta memohon kepadaNya kekuatan untuk
tidak mengulanginya lagi.
Allah SWT berfirman dalam Alquran, “Dan barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya,
kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia
mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS Annisa [4]:110).
Rasulullah SAW sendiri menurut Siti Aisyah terbiasa
membaca istigfar. “Rasulullah banyak
membaca Subhanallah wa bihamdihi, astagfirullah wa
atubu ilaihi, (Maha suci Allah dengan segala pujinya, aku
memohon ampun kepada Allah SWT) sebelum tidur.” (HR
Bukhori, Muslim)
Di antara amalan zikir lainnya adalah membaca surat-
surat tertentu. Nabi Muhammad SAWsetiap
malam sebelum mendatangi peraduanya, seperti
dituturkan siti Aisyah, selalu membaca surat Al-
Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas. “Selanjutnya beliau
mengusapkannya ke seluruh tubuh yang biasa beliau
jangkau. Di mulai dari kepala, wajah dan bagian depan
bagian tubuh beliau. Beliau melakukannya sebanyak tiga
kali.” (HR Bukhori, Muslim).
Itulah sebagian adab sebelum tidur. Intinya bahwa
kesucian lahir dan batin sebelum tidur harusmenjadi
perhatian setiap mukmin. Seyognya kita senantiasa
mencontoh sikap dan amalan Rasulullah SAW. Dengan
amalan tersebut berarti kita telah siap untuk berjumpa
denganNya. Karena setiap orang tidak tahu kapan ia akan
dicabut nyawanya. Barangkali Allah SWT mencabut
nyawa kita di saat tidur.
(E Kusnandar)

Siapa yang Dibanggakan Allah?

Adakah di antara kita yang bercita-cita menjadi pribadi
yang memalukan? Semua tentu ingin tampil sebagai
pribadi yang membanggakan. Membanggakan di mata
sesama manusia, terlebih di mata Allah. Hadis berikut
dapat memandu kita agar menjadi pribadi yang
membanggakan, khususnya di hadapan Allah.
Dari Abu Darda’ RA bahwa Nabi SAW bersabda, "Ada tiga
golongan yang kelak dicintai Allah, dan Allah tertawa
kepada mereka sambil memberikan kabar gembira. Yaitu
orang yang apabila melihat perang berkecamuk, dia
segera ikut berperang di belakang orang-orang karena
Allah. Dia tidak peduli apakah nanti terbunuh atau
diselamatkan Allah. Yang demikian itu cukup baginya,
dan Allah berkata kepada para malaikat, ‘Lihatlah
hambaku ini bagaimana dia begitu sabar demi Aku’.
Kemudian orang yang memiliki istri cantik dan kasur yang
empuk dan bagus, tetapi dia bangun malam hari. Maka
Allah berkata, ‘Dia mengabaikan syahwatnya demi
mengingat Aku. Padahal kalau mau, dia bisa saja tidur’.
Kemudian, orang yang dalam bepergian bersama
rombongan, semua orang bangun lalu kembali tidur,
maka dia tetap terjaga pada waktu sahur dalam keadaan
lelah atau santai." (HR Hakim dan Thabrani).
Pertama, berjihad tanpa dengan segala daya dan
kemampuan. Melakukan jihad sungguh tidak mudah.
Jihad, apapun bentuknya, tentu akan mendapat
perlawanan dari nafsu. Bisikan nafsu akan selalu
berusaha menjauhkan kita dari jihad. Karena itu, ketika
manusia mampu berjihad, berarti ia telah mampu
menundukkan nafsunya. Ia tidak lagi mempedulikan
kepentingan dirinya. Dalam hati dan pikiran orang yang
benar-benar tulus berjihad hanya ada Allah. Jangankan
kehilangan harta, waktu, dan tenaga, pelaku jihad bahkan
tidak mau tahu dengan keselamatan nyawanya sendiri.
Itulah yang membuat Allah ‘terharu’ sehingga
menyanjung hamba-hamba yang begitu tabah dan sabar
itu di hadapan para malaikat.
Kedua, bangun malam untuk beribadah. Tidak banyak
orang yang mau bangun di waktu malam untuk
menghadap Allah. Kenikmatan istirahat berupa tidur
sangat berat ditinggalkan. Terlebih pada waktu sepertiga
malam yang terkahir. Saat itu adalah pulas-pulasnya
tidur, meskipun saat itulah Allah turun ke langit dunia,
mengabulkan doa setiap hamba-Nya yang sedang
bersimpuh luruh mengagungkan nama-Nya.
Allah sangat bangga terhadap hamba-hamba yang rela
meninggalkan peraduannya demi menghadap Tuhannya.
Dia tidak terpedaya oleh kenikmatan duniawi berupa
kamar yang indah dan istri yang cantik. Padahal semua
itu halal baginya. Dia lebih memilih memuji kebesaran
Allah melalui rangkaian ibadah pada saat selainnya
sedang tidur.
Ketiga, beribadah dalam keadaan letih. Rajin beribadah
dalam keadaan longgar adalah hal biasa. Sebab tidak ada
sesuatu yang memang harus dilakukan. Tetapi beribadah
dalam keadaan sibuk dan letih itu luar biasa. Hanya
orang-orang dengan keimanan prima yang sanggup
melakukannya.
Allah memuji orang-orang yang demikian. Dalam
perjalanan hanya sekadar contoh kesibukan dan
keletihan. Tetapi, sesungguhnya kesibukan bukan hanya
dalam kondisi musafir. Di zaman modern seperti
sekarang, banyak orang menjadi sibuk meskipun tidak
sedang dalam perjalanan. Pekerjaan yang menumpuk
akibat dikejar target oleh perusahaan juga salah satu
bentuk kesibukan. Seharian bekerja di kantor juga
merupakan sebuah keletihan.
Ketika dalam kondisi demikian, malamnya kita masih bisa
bangun malam guna melakukan tahajud, zikir, dan
tadarus Alqur’an, maka itulah kemuliaan. Allah akan
melihat kita dengan bangga. Kita juga akan disediakan
kedudukan yang mulia, baik di dunia maupun di akhirat
kelak.
Semoga kita semua dapat menjadi pribadi-pribadi
pilihan, manusia-manusia yang membanggakan di dunia
dan akhirat. Hadis ini dapat kita jadikan sebagai
panduan. Aamiin.
(M Husnaini)

Puasa Syawal

Puasa merupakan perisai bagi seorang muslim baik di
dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai
dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat
nanti adalah perisai dari api neraka.
Rasulullah Saw. bersabda: “Maukah aku tunjukkan
padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai.”(HR.
Tirmidzi).
Seorang hamba Allah yang shaleh akan senantiasa
melakukan kebaikan-kebaikan dengan melakukan amalan-
amalah sunnah sehingga Allah mencintainya. “Dan
senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR.
Bukhari)
Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah
ta’ala, maka diajurkan puasa sunnah setelah melakukan
yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi Saw.
anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa
Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.
Karena dengan berpuasa syawal, maka seorang hamba
Allah seakan telah melakukan puasa setahun penuh.
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian
berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa
seperti setahun penuh.” (HR. Muslim).
Secara rasional, hitungan setahun ini berasal dari
kebaikan yang dilakukan seorang hamba Allah. Apabila
melakukan satu kebaikan maka akan dibalas sepuluh
kebaikan yang semisal. “Barangsiapa membawa amal
yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat
amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan
jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan
seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka
sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al An’am:
160).
Puasa Ramadhan selama sebulan berarti akan semisal
dengan puasa 10 bulan. Puasa Syawal adalah enam hari
berarti semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2
bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa
Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal
akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat
Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus
Sholihin, 3/465).
Ketika seorang hamba Allah di setiap tahun dari
hidupnya selalu diisi dengan puasa Ramadhan kemudian
dilanjutkan dengan puasa sunnah di bulan Syawal, maka
sepanjang tahun seolah telah melakukan amalan-amalan
kebaikan dari puasa. Seorang hamba yang yang dicintai
Allah Swt. hanyalah orang-orang yang melakukan amalan
kebaikan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Bila hal ini
telah dilakukan, maka Allah Swt. akan senantiasa
mencintainya.
Allah SWT berfirman dalam Hadis Qudsi, “Tiada yang
paling Aku sukai dari hamba-Ku selain mendekatkan diri
kepada-Ku dengan melakukan apa yang Aku wajibkan
padanya.
Apabila hamba-Ku mendekat pada-Ku dengan senantiasa
melakukan hal-hal yang sunnah maka Aku mencintainya.
Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku
menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, Aku
menjadi tangannya yang ia gunakan untuk mengambil
(bertindak) dan Aku menjadi kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Dan, jika ia meminta pada-Ku, pastilah
Aku beri, dan jika ia memohon perlindungan, pastilah
Aku melindunginya." (HR. Bukhari).
Alangkah berkahnya hidup seorang hamba, bila
senantiasa dicintai Penciptanya. Karena hidupnya
senantiasa dihiasi dengan pahala dari amalan kebaikan
yang diwajibkan dan yang disunahkan oleh Allah Swt.
“Ya Allah, berkahilah kami dalam pendengaran kami,
penglihatan kami, hati kami, pasangan hidup kami dan
anak keturunan kami, dan terimalah taubat kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha
Penyayang".
(DR KH Ahmad Mukri Aji)

Awal Kesuksesan

Syawwal telah terbit, selesai sudah pembinaan Allah
kepada hamba-hamba-Nya. Meskipun tidak dari nol tapi
yang terjadi adalah kelahiran kembali “ka yaumin
waladathu ummuh ” (seperti hari dilahirkan ibunya).
Maksudnya adalah bersih kembali karena ibadah yang
dikerjakan selama shaum Ramadhan telah menjadi
sebab yang berakibat ampunan Allah SWT.
Langkah awal yang mesti dilakukan adalah bersyukur.
Mensyukuri berbagai karunia yang telah Allah SWT
berikan. Bersyukur dalam makna yang kreatif
yakni memfungsikan karunia itu bagi kemanfaatan diri,
keluarga, ummat dan Agama. Karena memang Allah SWT
telah memberikan kepada kita komponen dari potensi
asasi tersebut.
Firman-Nya “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tak mengetahui sesuatupun, dan
Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati,
agar kamu bersyukur ” (QS An Nahl 78).
Ayat ini menunjukkan adanya tiga komponen penting
yang harus difungsikan dengan maksimal yaitu
pendengaran, penglihatan dan hati. Dengan
pendengaran ( as sam’a ) kita serap informasi
pengetahuan yang dapat diformulasi menjadi ilmu.
Informasi lisan keseharian maupun insidental diseleksi
mana yang sia-sia mana yang berguna, mana yang
dibuang dan mana yang pula bisa dikembangkan.
Dengan penglihatan ( al abshoro ) semua data dibaca dan
diolah menjadi tulisan yang bisa dibaca kembali oleh
jumlah orang yang semakin banyak. Segala informasi
lisan yang didapat dibuktikan sehingga bisa terlihat nyata
sebagai ayat-ayat kebenaran.
Demikianlah gandengannya, karena sesungguhnya orang
yang cacat berat adalah mereka yang
menjalani kehidupan kini dalam keadaan ”tuli” dan
“buta”. Sementara itu dengan hati ( al af-idah ) diyakini
apa yang didengar dan dilihat untuk dijadikan niat
dantekad. Niat dan tekad mana kemudiannya
direalisasikan dalam wujud amal.
Begitulah proses yang terjadi untuk berkreasi. Sebaliknya
jika komponen pendengaran, penglihatan, dan hati itu
tak berfungsi maka yang terjadi adalah stagnasi. Memang
pilihannya adalah berkreasi atau stagnasi, create or
stagnate .
Langkah kreatif yang dimaksud insya allah akan sukses
jika dibarengi: Pertama memulai sesuatu
dengan bismillah yaitu berangkat
dari berharap pada ridlo dan pertolongan Allah serta
mengukur dengan ukuran Allah. Allah sebagai sentrum.
Kedua, niat dan tekad yang kuat untuk berhasil karena
kita tahu amal itu tergantung niat. Niat yang kuat adalah
setengah dari keberhasilan, setengahnya lagi dengan
kesabaran dan ketekunan.
Ketiga,  memiliki ilmu yang mumpuni pada bidangnya
“ wa man aroda huma fa’alaihi bil ‘ilmi ” (dan jika ingin
sukses keduanya –dunia dan akherat—maka itu dengan
ilmu) karena imu adalah causa dari tingginya derajat
dalam pergaulan sesama.
Keempat, mampu membangun relasi karena sering
datang kesempatan untuk maju itu disebakan karena
faktor interaksi sesama. Silaturahmi mendatangkan
rezeki.
Dan kelima, kesiapan untuk mengoreksi diri atau
dikoreksi oleh orang lain. Hal ini tentunya berkaitan
dengan keharusan kita untuk mengenal diri kita sendiri
“ know your self” karena dengan mengenal diri akan
memudahkan untuk dapat mengenal orang lain dan
lingkungannya.
Awal syawwal  siap untuk menyinari perjalanan ke
depan yang lebih berkualitas. Dengan landasan program
yang lebih jelas dan apik tentunya. Kepentingan pribadi
dan keluarga penting untuk mendapat perhatian, namun
kita tak boleh berhenti disana. Langkah mulia  adalah
khidmah untuk memajukan dan mengembangkan Agama.
Melalui jihad dan da’wah.
Shaum telah mengajarkan kita bermental kuat untuk
mampu mengendalikan diri serta pandai memilih dan
memilah nilai yang benar. Lapar di awal bukan untuk
rakus di akhir. Tetapi sederhana (qana’ah ) dalam
berkarakter. Shaum mengubah karakter buruk menjadi
lebih agung. Jangan seperti seekor ular yang puasanya
tak mengubah apa apa.
Ular yang menjijikkan, merusak, dan buas setelah
memangsa lalu berpuasa. Selesai puasa ia berganti kulit.
Karena lapar, “saat berbuka” ia menjadi lebih buas
dan sangat merusak. Lagi pula tetap saja menjijikkan
meski telah berganti kulit.
Banyak orang yang setelah
menyelesaikan puasanya sebulan
penuh tetap saja berperilaku hina, merusak, dan rakus.
Yang berubah hanya kulitnya saja. Baju
baru. Karakternya tak berubah, bahkan lebih buruk. Maka
baginya syawal tidak menjadi awal yang menentukan
kesuksesan.

Do'a

“ Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang
yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa
kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan
hina. ” QS. Al-Mu’min/40: 60)
Secara teologis, ayat tersebut menegaskan bahwa orang
yang malas dan tidak mau berdoa berarti orang yang
sombong, tidak tahu diri, dan cenderung durhaka kepada
Allah SWT.
Karena itu, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“ Barangsiapa yang tidak meminta (berdoa) kepada Allah,
maka Dia akan marah/murka kepada-Nya. ” (HR. Ahmad,
Turmudzi, dan Ibn Majah)
Sesungguhnya doa merupakan jalan spiritual menuju
pertolongan dan kebahagiaan hidup yang hanya dapat
dijalani oleh hamba yang mengenal, mencintai, dan
menghambakan diri kepada Allah SWT.
Doa merupakan sumber kekuatan, harapan, dan
kenikmatan Mukmin, karena hatinya senantiasa tertambat
melalui doa dengan Sang Kekasihnya yang Maha
Penyayang.
Oleh sebab itu, Nabi SAW bersabda: “Orang yang paling
lemah adalah orang yang tidak bisa berdoa; sedangkan
orang yang paling bakhil adalah orang yang pelit
memberi salam (kepada sesame).” (HR. Ibn Hibban).
Secara teologis, doa juga merupakan jalan keluar (solusi)
bagi orang-orang yang dihadapkan kepada berbagai
persoalan dan kebuntuan dalam hidupnya.
Doa menjadi kunci pembuka sekaligus pintu keluar
menuju pencapaian cita-cita dan harapan hidup sang
pendoa.
Esensi doa adalah permohonan hamba kepada Allah SWT
agar diberikan inayah (perhatian), ma’unah
(pertolongan), dan hidayah (bimbingan, petunjuk jalan)
menuju solusi persoalan dan pemenuhan kebutuhan
hidupnya.
Berdoa hanya pada waktu susah dan meninggalkannya
pada saat bahagia merupakan perilaku orang lupa (lupa
diri dan lupa Allah).
“ Dan apabila Kami beri kenikmatan kepada manusia, ia
berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ditimpa
malapetaka, maka ia banyak berdoa. ” (QS Fushshilat/41:
51).
Dalam konteks ini, Nabi SAW bersabda: “ Barangsiapa
yang ingin agar doanya di waktu kesusahan dikabulkan
oleh Allah, maka hendaklah ia memperbanyak doa di
waktu lapang dan bahagia. ” (HR. Turmudzi dan al-Hakim).
Berdoa membelajarkan diri kita untuk selalu berada
dalam oase transendental dengan Sang Maha Pemberi,
sehingga dengan begitu Mukmin selalu memiliki
optimisme tinggi dalam hidupnya.
“ Apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka
ketahuilah bahwa Aku itu Maha Dekat. Aku akan
merespon doa orang yang berdoa kepada-Ku. Karena itu,
hendaklah mereka merespon perintah-Ku dan
mempercayai-Ku, semoga mereka mendapatkan
petunjuk. ” (QS. al-Baqarah/2: 186).
Jadi, karena Allah itu Maha Dekat, maka tidak ada alasan
bagi hamba untuk tidak berdoa demi peningkatan
kualitas hidupnya ke depan.
Momentum Ramadhan untuk mengoptimalkan doa secara
teologis mendapat garansi dari Nabi SAW. “ Ada tiga
manusia yang doa mereka tidak akan ditolak (oleh Allah),
yaitu: doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka, doa
pemimpin yang adil, dan doa orang terzalimi. (HR. At-
Turmudzi)
Di bulan Ramadhan ini, mengoptimalkan doa merupakan
salah satu bukti penghambaan, pengabdian, dan rasa
tawakkal hamba kepada-Nya.
Selain itu, berdoa sesungguhnya tidak sekadar
merupakan permohonan, melainkan juga puji-pujian
hamba atas segala keagungan, kemuliaan, kebesaran,
kemurahan, dan kemahakuasaan-Nya, sehingga pendoa
harus tahu diri: mau menyucikan diri, mengakui segala
kekurangan dan kefakirannya, menjauhi segala
kemaksiatan dan dosa, agar doanya didengar dan
direspon oleh-Nya.
Secara teologis, agar dikabulkan, doa harus dikawal
dengan beramal, berusaha dan berbuat sesuai dengan
apa yang dimohonkan kepada Allah.
Jika misalnya memohon kekayaan dari Allah, maka hamba
harus bekerja keras, halal dan thayyib, untuk meraih
yang dimohonkan itu.
Selain itu, hamba juga tidak boleh berputus asa, bahkan
harus selalu berbaik sangka dengan Allah bahwa doanya
pasti dikabulkan (sesuai dengan kebijaksanaan Allah).
Ketahuilah, “Allah itu Maha Baik, dan tidak menyukai
kecuali yang baik-baik,” kemudian Nabi SAW
menyebutkan mengenai seseorang yang datang dari
perjalanan jauh dengan rambut acak-acakan (kusut) dan
wajah berdebu, mengangkat tangannya ke langit sambil
berdoa: Ya Tuhanku, ya Tuhanku.
Selanjutnya beliau berkata: “Bagaimana mungkin doanya
akan dikabulkan oleh Allah, sedangkan makanannya
haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram” (HR.
Muslim). Semoga kita termasuk orang yang pandai dan
sukses berdoa kepada Allah SWT, terutama di bulan suci ini.
( Muhbib Abdul Wahab)

Keutamaan Iktikaf

Setiap ibadah mengandung hikmah, kerahasiaan dan
tujuan, sebab semua ibadah meniscayakan manfaat fisik
dan jiwa, keihlasan hati, perbaikan perilaku, dan manfaat
bagi kehidupan. Jiwa manusia seringkali terpaku pada
fenomena dan lupa pada tujuan.
Inilah jiwa yang lupa dan dilupakan oleh setan akan
tujuan, sehingga sibuk dengan fenomena dan kehilangan
tujuan.
Jiwa macam ini memerlukan penenang guna
membersihkan dan mensucikannya dari kelupaan. Dan
fungsi pembersihan tersebut ada pada i'tikaf, yang
intinya menyucikan isi hati dari sifat-sifat negatif,
mengevaluasinya untuk tidak bersemayam di relung hati,
menghadirkan kemuliaan dan keagungan Tuhan, mengisi
hati dengan berbagai sifat kebajikan.
Inilah reposisi jiwa untuk meletakkan hati pada relnya
yang benar, menyemaikannya dengan aneka kebajikan
dan meletakkan mesin evaluasi yang bekerja sepanjang
hayat agar jiwa dapat bertanya: "Kemana kita menuju,
kepada Tuhan atau penciptaan?" Kalau kepada
penciptaan, maka di alam kubur nanti pertanyaan
malaikat bukan "Siapa engkau?", "dari mana datangmu?",
dan "siapa yang mengenalmu?", melainkan "siapa
Tuhanmu?", "siapa nabimu?", dan "apa agamamu?".
Inilah kisaran hati orang-orang yang beriktikaf yang
mengembalikan posisinya pada awal penciptaan manusia
dan penyadaran bahwa pada hakekatnya semua makhluk
tunduk dan bertasbih kepada-Nya. (QS. Ar-Ruum: 26).
Dunia adalah fenomena yang sering membuat lupa hati
manusia hingga saat sakaratul maut tiba. Tanpa fase
sakaratul maut, dunia mampu melupakan fitrah manusia
yang tunduk dan bertasbih kepada Allah SWT, sama
dengan fitrah alam semesta lainnya.
Membersihkan hati dengan perenungan akal dan hati dan
menyucikan jiwa dengan ilmu, zikir dan ketaatan telah
menjadi tradisi Rasulullah SAW pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan. Dari Aisyah RA bahwasanya
Rasulullah SAW melakukan I'tikaf pada sepuluh hari
Ramadhan hingga beliau wafat. (HR. Bukhari-Muslim).
Bahkan kegiatan serupa yang dikenal dengan Khalwah
(Tahanuts) telah beliau lakukan di gua Hira sebelum
diangkat sebagai Rasul.
Keuntungan beriktikaf sebagaimana dikemukakan Dr.
Khalid Abdul Kareem antara lain:
1.    Iktikaf yang benar akan memberikan perbaikan dan
buah di hati serta menumbuhkan sifat ikhlas dan
penyucian jiwa. Hal tersebut karena inti dari semua
perbuatan terletak di hati dan hati yang baik akan
membuahkan perbuatan yang baik pula. Rasulullah SAW
bersabda: "Ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam
fisik manusia terdapat sekerat daging, jika baik (keratan
itu) maka baiklah fisik secara keseluruhannya, dan jika
buruk (keratan itu) maka buruklah semuanya. Ketahuilah
bahwa (sekerat daging tersebut) adalah hati." (HR.
Bukhari-Muslim).
2.    Mereka yang beriktikaf di akhir Ramadhan adalah
orang-orang yang mencari Lailatul Qadr dan jika
pencarian itu lengkap sepuluh hari terakhir, maka Allah
SWT akan memberikan ampunan atas-dosa-dosanya.
3.    Orang-orang yang beriktikaf adalah pribadi-pribadi
yang menghidupkan sunah Rasul SAW dan barang siapa
menghidupkan sunahnya maka mereka menjadi pribadi
yang dicintai Allah dan Rasul-Nya yang balasannya adalah
ampunan dan surga. Allah SWT berfirman: "Katakan
(Muhammad)!, Jika kalian cinta kepada Allah maka
ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan
mengampuni dosa-dosa kalian." (QS. Ali Imrah: 31).
4.    Dengan beri'tikaf, seseorang telah memelihara diri
dari kelupaan kepada Allah; menjaga diri dari perbuatan
haram; menjauhkan panca indera dari perbuatan dosa
dan maksiyat. Semua itu merupakan hakekat peribadatan
dan ketundukan kepada Allah SWT.
Semoga Allah SWT menjadikan Iktikaf kita di akhir
Ramadhan sebagai Iktikaf yang benar sesuai dengan
tuntunan Rasulullah SAW sehingga membuahkan
perubahan kebaikan secara pribadi maupun sosial.
Wallahu A'lam.
( Dr Muhammad Hariyadi MA)

Kebahagiaan di Penghujung Ramadan

Dalam Hadits Qudsi Riwayat Bukhari, Muslim, dan Ahmad
Allah SWT menyatakan antara lain “... Orang yang
berpuasa akan mendapat dua kegembiraan. Apabila
berbuka ia merasa gembira (idza afthara fariha). Dan
apabila bertemu dengan Allah, ia gembira pula karena
puasanya (wa idza laqiya rabbahu fariha bishoumihi) ”.
Ketika seseorang berbuka, maka yang ada adalah
kenikmatan yang dirasakan saat itu karena ia
telah melepaskan dahaga atau enaknya hidangan yang
dimakannya. Haus dan beratnya hal hal yang harus dijaga
seharian selama berpuasa seolah tak berarti dan telah
hilang semua. Begitu juga setelah ditunaikan ibadah
selama sebulan penuh, dengan tibanya hari raya iedul
fitri, maka segala ‘penderitaan’ selama sebulan seolah
tak pernah ada. Demikianlah sesungguhnya yang
dirasakan adalah saat itu, saat yang terakhir.
Dalam Hadits Qudsi shahih yang lain cukup menarik
tergambarkan bahwa Allah mengingatkan kita untuk
mewaspadai saat saat akhir seperti di atas. Anas Bin
Malik menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda
“ Sebagian orang orang penyembah kenikmatan dunia,
yang akan menjadi penghuni neraka, dipanggil pada hari
Kiamat. Ia dibenamkan satu kali benaman ke dalam
neraka. Lalu ditanya kepadanya ‘Hai manusia, apakah
engkau merasakan ada kebaikan barang sedikitpun ?
Apakah masih terasa  nikmat  yang engkau rasakan dulu
itu ? Dia menjawab ‘Tidak ada wahai Tuhanku  ! Aku sama
sekali tidak merasakan ada kebaikan yang pernah
kurasakan dan terasa tidak ada kenikmatan yang pernah
aku rasakan’.  Lalu dipanggilah orang yang paling
sengsara di dunia namun calon ahli surga. Dia
dibenamkan ke dalam surga satu kali. Kemudian dia
ditanya ‘Wahai manusia ! Apakah engkau merasakan
kesengsaraan ? Pernahkah engkau merasakan kesusahan
luar biasa ? Dia menjawab ‘Tidak pernah wahai Tuhan!
Sama sekali aku tidak pernah merasa sengsara dan tidak
merasakan kesusahan” (HQR Muslim, Ahmad, dan Ibnu
Hiban).
Dari Hadits ini jelaslah bahwa senang dan susah itu
dirasakan pada akhirnya. Ini tentu menjadi alasan
bahwa  kita sebagai makhluk ciptaan Allah patut untuk
berkeyakinan pada apa apa yang dijanjikan Allah tentang
hidup di kemudian hari. Tidak terbuai oleh fatamorgana
kehidupan sekarang dan tidak pula berputus asa
dengan apa yang menimpa saat ini.
Teringat kita bagaimana pelajaran dari perjalanan Nabi
Musa dengan Nabi khidr. Betapatidak mengertinya Nabi
Musa dengan peristiwa yang bermuara makna pada
akhirnya. Baik ketika perahu dibocorkan, ketika anak
dibunuh, maupun ketika rumah buruk dibangun. Semua
direspons negatif, penuh pertanyaan dan dikritisi. Bagi
Musa pejuang kebenaran dankeadilan sungguh tidak
bisa diterima perbuatan “sang Guru” yang membocorkan
perahu milik nelayan miskin dan membunuh anak yang
tak berdosa.
Ini adalah suatu bentuk kezaliman.
Namun setelah Nabi Khidr menjelaskan akhirnya
mengerti juga Nabi Musa  akan nilai tinggi
pelajaran kehidupan itu. Membocorkan perahu adalah
tindakan penyelamatan agar perahu “jelek” tersebut tak
terampas oleh penguasa otoriter. Membunuh anak adalah
perbuatan untuk menyelamatkan sang anak agar tak kafir
saat dewasa dan tak mengkafirkan orang tuanya. Begitu
juga rumah “reyod” di lokasi yang jauh dari sana
sini dibangun untuk kebaikan anak yatim yang kelak akan
menemukan harta di rumah itu. Seluruhnya adalah untuk
dirasakan bahagia di akhir.
Shaum Ramadhan kita akan berakhir.
Optimalisasi ibadah saat ini adalah pilihan cerdas. Bulan
yang penuh berkah dan bertaburan bonus dari  Allah ini
sebentar lagi akan meninggalkan kita. Alangkah sayang
jika kalimat perpisahannya adalah kesia-siaan, bukan
khazanah makna. Begitu indah perintah ibadah dari Allah
ini. Kesehatan, ketabahan, saling menyayangi, hidup
berbagi, serta kemudahan rezeki sangat terasa
mendatangi. Baru kita mengerti mengapa para sahabat
menjadikan Ramadhan sebagai terminal.
Enam bulan sebelum tiba, mereka menanti-
nanti datangnya Ramadhan. Enam bulan setelah lewat
mereka masih terikat dengan Ramadhan, khawatir amal
shaum tak diterima dan berharap hasil Ramadhan
menjadi modal untuk menjangkau kasih sayang dan
ampunan Allah SWT sampai Ramadhan berikutnya.
Bahagia di akhir merupakan tantangan sekaligus harapan.
Mereka yang memandang ada kebahagiaan di akhir, akan
memancarkan cahaya optimistik di wajahnya. Melangkah
dengan pasti menebar kebajikan ke kanan dan ke
kiri. Sebenarnya kita tidak perlu bersusah payah
menarik-narik tangan Ilahi, karena Allah lah yang akan
menarik badan dan jiwa sang hamba ke haribaan-Nya
yang abadi.
( HM Rizal Fadillah)

Iktikaf

Salah satu menu spiritual dari paket rahmat Ramadhan
yang relatif kurang banyak mendapat perhatian dan
pengamalan dari umat Islam adalah iktikaf. Padahal
ibadah ini sungguh memberi kenikmatan dan kepuasan
spiritual tersendiri.
Menurut riwayat Ibn Umar, Anas, dan Aisyah RA bahwa
Nabi SAW selalu melakukan iktikaf pada sepuluh hari
terakhir di bulan Ramadhan sejak datang di kota Madinah
hingga beliau wafat. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Secara bahasa iktikaf berarti: berdiam diri, menetapi dan
menekuni sesuatu, yang baik maupun yang buruk.
Pemaknaan ini didasarkan pada ayat: “ Ingatlah ketika
Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: patung-
patung apakah ini yang kamu tekun beribadah
kepadanya ?” (QS. al-Anbiya’/21: 52) “… Dan janganlah
kamu campuri mereka (istri) sedang kamu beri’tikaf di
dalam masjid…” (QS. al-Baqarah/2: 187).
Pada ayat pertama (al-Anbiya’: 52), iktikaf berkonotasi
tekun menyembah berhala (syirik), sedangkan pada ayat
kedua (al-Baqarah: 187) menunjukkan tekun beribadah di
masjid (tauhid).
Esensi iktikaf adalah diam diri, menahan diri (dalam
beribadah), tekun, penuh konsentrasi dan konsistensi (al-
dawam alaih ) dalam ketaatan dan kedekatan spiritual
dengan Allah melalui tazkiyatun nafs di masjid.
Tujuan utama iktikaf adalah mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan menyucikan hati dan pikiran, serta
selalu merasa diawasi oleh Allah.
Iktikaf melatih berkonsentrasi, membiasakan tekun
beribadah semata-mata karena mengharap ridha-Nya;
dan membelajarkan diri untuk khusyu’ , penuh ketaatan,
konsentrasi, dan konsistensi dalam beribadah di rumah-
Nya, bukan di rumah sendiri.
Iktikaf memberi ruang kesadaran spiritual bagi kita untuk
kembali menata dan meluruskan mindset kita bahwa
kesibukan duniawi itu tidak pernah ada habisnya dan
tidak abadi.
Kesibukan duniawi tidak boleh melengahkan dan
melupakan Muslim dari mengingat Allah (dzikrullah ) di
rumah-Nya yang suci dan di bulan-Nya yang suci.
Yang abadi dan menjadi bekal kehidupan ukhrawi adalah
spiritualisasi diri dengan tekun dan khusyu’ beribadah
kepada-Nya, di saat kebayakan orang ramai sibuk dalam
urusan duniawi.
Iktikaf merupakan cerminan dari hamba Allah yang taat,
patuh, tunduk, dan khusyu’ dalam beribadah kepada-Nya.
Iktikaf menyadarkan kita pentingnya menyisakan ruang
dan waktu dalam diri kita untuk berada dalam masjid.
Sehingga spiritualisasi diri melalui iktikaf ini dapat
melejitkan kecerdasan spiritual dan moral yang tangguh.
Buahnya adalah perilaku moral yang luhur, berupa
keteladanan terhadap sifat-sifat dan nama-nama terbaik
Allah (al-asma’ al-husna).
Ketekunan duniawi tidak ada artinya jika tidak diimbangi
dengan ketekunan ukhrawi. Iktikaf adalah sarana
pendekatan diri kepada Allah yang paling tulus.
Iktikaf mengharuskan kita melepaskan diri dari keasyikan
duniawi, menuju kesucian hati dan kedekatan ruhani
kepada sang Maha Pencipta dan Pemilik kehidupan ini
melalui transit beberapa saat di rumah-Nya.
Dengan iktikaf , kecerdasan spiritual kita menjadi lebih
meningkat dan menguat, sehingga kita tidak mudah
tergoda oleh hiruk-pikuk materialism dan hedonism
keduniawiaan yang semu dan sesaat.
Sebagai aktualisasi dari sunah Nabi SAW, alangkah
meruginya jika momentum Ramadhan ini tidak diisi
dengan iktikaf .
Menikmati iktikaf sejatinya harus menjadi komitmen
setiap Muslim yang merindukan surga. Sebab, tradisi
baik (sunah) Nabi SAW ini diamalkan dengan tekun dan
khusyu’, niscaya kebugaran spiritual kita menjadi lebih
meningkat.
Sehingga hati dan pikiran kita semakin dapat dengan
mudah menangkap sinyal-sinyal Ilahi dalam menjalani
kehidupan di masa depan.
Sungguh indah dan nikmat, jika di saat masjid-masjid
mulai lengang ditinggalkan sebagian pelanggan
jama’ahnya , kita bisa melakukan transformasi hati dan
pikiran duniawi ke dalam kesucian hati dan pikiran di
rumah-Nya.
Yang sangat dibutuhkan untuk beriktikaf adalah
komitmen hati dan disiplin beribadah dengan tulus ikhlas
di rumah-Nya, bukan di rumah masing-masing.
‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa  “ Jika memasuki sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan, maka Rasulullah SAW
selalu mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan
malam-malamnya, dan membangunkan
keluarganya .” (HR. Bukhari-Muslim).
( Muhbib Abdul Wahab)