Jalan Panjang Menuju Surga

Dimas Cokro Pamungkas
Gambaran tentang surga tersebar dalam sejumlah ayat dan hadis. Teks ayat dan hadisnya jelas. Jadi, tak ada satu keteranganpun yang meragukan keberadaannya. Semuanya menjelaskan kondisi yang tidak ada bandingannya dengan sesuatupun yang ada di dunia ini.

Menurut Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ’’Allah SWT berfirman, ‘Sesungguhnya Aku telah menyediakan untuk hamba-Ku yang saleh segala apa yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga, dan tidak pernah terbetik oleh hati siapapun.’’ (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan begitu, saat Allah dan Rasul-Nya menyampaikan perumpamaan tentang kondisi surga, semua itu sekadar untuk memudahkan kita memahaminya. Memang, Allah dan Rasul-Nya menyebutkan banyak hal yang bernuansa dunia.

Namun demikian, semuanya itu sejatinya tidaklah sama. Misalnya, Allah memaparkan keadaan surga yang dijanjikan itu di dalamnya terdapat sungai-sungai. Akan tetapi, bukan sungai-sungai sebagaimana yang kita pernah saksikan di dunia.

Dikatakan, ada sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring dan seterusnya (QS Muhammad [47] : 15).

Misalnya, Allah memaparkan keadaan surga yang dijanjikan itu di dalamnya terdapat naungan dari pohon-pohon rindang. Akan tetapi, bukan pohon-pohon yang kita pernah saksikan di dunia. Dikatakan, pohon itu tidak terlalu tinggi dan berbuah sepanjang tahun.

Hal itu memudahkan bagi siapa pun yang hendak memetiknya. Dikatakan pula, fasilitas penghuni surga yang sangat memadai dibandingkan dengan yang kita pernah saksikan di dunia seperti pakaian, makanan, minuman, kamar tidur, dan seterusnya.

Abu Hurairah menuturkan, saat Rasulullah SAW ditanya tentang surga, Rasulullah SAW menjelaskan, surga itu terbuat dari emas, perak, permata lu’lu, yakut, minyak kesturi, dan ja’faran. Kualitasnya sama sekali tidak berubah. (HR Ahmad dan Tirimidzi).

Menurut Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya surga itu terdiri atas 100 tingkatan yang Allah sediakan bagi mereka yang berjihad. Jarak antara satu tingkatan dengan tingkatan lainnya seperti jarak antara langit dan bumi.’’ (HR Bukhari).

Abu Sai’d al-Khudri berkata,  Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya surga itu terdiri atas 100 tingkatan. Seandainya seluruh makhluk di muka bumi berkumpul di salah satu tingkatan, itu sudah cukup menampung mereka semuanya karena luasnya.’’  (HR Ahmad).

Hingga sekarang, entah berapa banyak penulis yang mengungkapkan keistimewaan surga dalam berbagai bahasa. Kendati demikian, saya kira cerita mengenai surga itu tidak akan ada habis-habisnya. Sampai kita benar-benar menyaksikannya dengan mata kepala kita sendiri.

Bagi kita, semua informasi yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya sudah lebih dari cukup. Sekarang mari kita jawab pertanyaan berikut ini dengan sejujurnya. Sudahkah kita termasuk di antara orang-orang yang berada dalam antrean calon penghuni surga?

Sejumlah ayat dan hadis menjelaskan kriteria calon penghuni surga. Yakni, orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang menafkahkan sebagian harta yang dimilikinya pada waktu lapang mau pun sempit, dan orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia.

Selanjutnya, orang-orang yang melakukan perbuatan keji dan menganiaya dirinya sendiri namun segera mengingat Allah dan meminta pengampunan kepada-Nya, tidak terus-menerus melakukan perbuatan dosa setelah dia menyadarinya.

Beriman kepada Allah, shalat dengan khusyuk, menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan tak ada gunanya, mengeluarkan zakat, menjaga kemaluan kecuali kepada istri dan hamba sahaya yang menjadi miliknya, menunaikan amanat, memelihara shalat dan masih banyak yang lainnya. Semoga kita diberi kemudahan untuk dapat menapaki jalan lurus menuju surga. Aamiin.

(Sumber)

Indahnya Kelembutan

Dimas Cokro Pamungkas
Fitrah manusia cenderung kepada kebaikan dan mencintai kelembutan. Akan tetapi, karena ego, hawa nafsu atau kepentingan sesaat, banyak manusia yang kemudian berubah menjadi orang yang kasar, beringas, dan kejam.

Padahal, ego, hawa nafsu, dan mengutamakan kepentingan sesaat sama sekali tidak memberikan maslahat.
Jadi wajar jika manusia yang kasar, beringas, dan kejam tidak akan mendapat ridha dari Allah SWT sebab Allah tidak mencintai kecuali kelembutan.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam Syarah Riyadhus Sholihin, Imam Nawawi mengatakan, hadis itu menjelaskan tentang perintah agar umat Islam bersikap lemah lembut. Baik dalam ucapan maupun perbuatan serta memilih hal paling mudah.

Hal demikian melahirkan hubungan harmonis dan akrab. Sangat penting bagi Muslim untuk melatih lidahnya dengan adab sopan santun dan tidak membiasakan diri mencela orang lain, entah itu terhadap orang kafir, lebih-lebih terhadap saudara seiman.

Karena itu, Rasulullah SAW mengingkari jawaban berlebihan Aisyah kepada Yahudi, meskipun mereka memang berhak mendapat celaan.
Hal itu tidak lain karena Allah SWT telah melaknat dan memurkai Yahudi melalui beberapa ayat Alquran secara gamblang dan terbuka.

Bahkan terhadap seorang penguasa zalim sekelas Fir’aun pun Allah memerintahkan Nabi Musa berkata lemah lembut. “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.’’ (QS 20 : 44).

Dengan demikian sungguh tidak ada satu pun alasan yang membolehkan kita mencela orang lain, seburuk apa pun orang tersebut.
Sebab, jika dia memang buruk, kafir, dan menentang Islam, Allah pasti memasukkannya pada kelompok terkutuk dan terlaknat.

Akan jauh lebih indah jika kita berusaha fokus membina diri menjadi pribadi yang santun dan lemah lembut. “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Dia memberikan kepada kelembutan apa yang tidak Dia berikan kepada kekerasan dan tidak pula Dia berikan kepada yang lainnya.’’ (HR Muslim).

Memaknai hadis tersebut,  Imam Nawawi menjelaskan, kelembutan adalah seutama-utamanya akhlak dari seluruh akhlak mulia lainnya. Dengan kelemahlembutan itulah Rasulullah SAW bisa sukses besar dalam menjalankan misi dakwahnya.

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.'' (QS. 3: 159).

Subhanallah, ternyata lemah lembut adalah rahmat dari Allah. Jika demikian, tidakkah kita tertarik menjadi Muslim yang berperangai lemah lembut?
 

Tabungan Dunia Akhirat

Dimas Cokro Pamungkas
Anak (al walad atau al banun) dan harta ( al maal) adalah dua elemen penting dalam kehidupan manusia, yang sering diungkapkan dalam Al Quran dalam satu ayat.

Misalnya firman Allah dalam Surat Al Anfaal (8) ayat 28 : "Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak anak mu itu hanyalah sebagai cobaan. Dan sesungguhnya di sisi Allah terdapat pahala yang sangat besar."  

Hal yang semakna walaupun dalam konteks yang berbeda misalnya kita temukan dalam firman Allah surat Al Kahfi (18) ayat 46, surat Al Munafiquun (63) ayat 9 dan surat At Taghobuun (64) ayat 14 & 15.
    
Para mufassir menyatakan paling tidak terdapat dua pelajaran penting yang bisa diambil kenapa anak dan harta sering dikemukakan dalam satu ayat.

Pertama: Adalah sudah menjadi naluriah dan fitrah setiap manusia untuk mencintai kedua hal ini. Keduanya sudah build in masuk dalam struktur ruhani dan struktur berfikir setiap manusia tanpa harus diajarkan.

Kecintaan kepada keduanya adalah lintas suku, lintas profesi dan keahlian, lintas pendidikan, lintas jenis kelamin, lintas status sosial, bahkan juga lintas kebangsaan dan agama.

Hal ini sebagaimana digambarkan secara jelas dalam Al Quran Surat Ali Imron (3) ayat 14. Bahkan dalam sebuah hadits sahih Rasulullah saw bersabda, "Andaikan seseorang sudah memiliki bongkahan-bongkahan emas yang memenuhi dua lembah pegunungan, pasti ia akan mencari lembah yang ketiganya, dan akan berhenti ketika perutnya sudah menempel ke tanah (mati)."
   
Kedua : Anak dan harta adalah dua variabel utama dan sangat penting yang menjadi penyebab keselamatan dan kecelakaan manusia. Jika anak dididik dengan pendidikan agama dan akhlak yang baik, sehingga menjadi anak sholeh, ia akan menjadi investasi dunia akhirat yang menguntungkan, memberkahkan, menenangkan, sekaligus menjadi penyebab keselamatan kedua orang tuanya.

Sebaliknya jika tidak dididik dengan pendidikan aqidah dan ibadah yang benar serta akhlak yang mulia, kemudian menjadi anak yang durhaka, ia akan menjadi penyebab kecelakaan kedua orang tuanya.

Demikian pula harta, jika didapatkan dengan cara yang benar dan dimanfaatkan untuk kebaikan diri, keluarga maupun masyarakat, menjadi sarana ibadah, ia akan menjadi penyebab kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebaliknya jika didapatkan dengan cara yang tidak benar, maka akan mencelakakan dunia dan akhirat.

Berbagai kasus korupsi yang terjadi sekarang ini, hendaknya menyadarkan kita semua, harta yang didapatkan dengan cara yang tidak benar akan menghancurkan kehidupan kita di dunia ini apalagi di akhirat. Demikian pula anak keturunan kita. Wallahu Alam bi Ash Shawab

Berpikirlah

Dimas Cokro Pamungkas
Diceritakan dari buku tafsir milik Ibnu Katsir, seorang sahabat Nabi yaitu Ibnu Abbas mengisahkan, suatu hari datang beberapa orang Quraisy kepada kaum Yahudi dan bertanya,’’Apa yang dibawa Nabi Musa  kepada kalian (mukjizat)?”

Mereka menjawab,’’Tongkatnya serta tangannya yang putih bersinar bagi yang melihat.’’ Lalu mereka mendatangi kaum Nasrani dan bertanya,”Apa yang dibawa Nabi Isa kepada kalian (mukjizat)?’’ Mereka kemudian menjawab, ”Ia mampu menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, dan mampu menghidupkan orang mati.’’

Lalu merekapun mendatangi Nabi Muhammad dan berkata, ”Mintakanlah kepada Tuhanmu supaya Ia mengubah Bukit Shafa menjadi emas.” Nabi Muhammad berdoa kepada Allah akan hal tersebut.

Maka turunlah ayat yang berbunyi, ”Sesungguhnya pada penciptaan bumi dan langit serta pergantian siang dan malam terdapat tanda tanda (kekuasaan Allah) bagi para ulil albab.’’ (QS Ali Imran :190).

Apa maksud diturunkannya ayat ini? Siapa itu ulul albab? Memang sebagai manusia terkadang kita hanya ingin sesuatu yang jelas, nyata, dan praktis. Seperti kafir Quraisy yang meminta  Nabi supaya Allah mengubah Bukit Shafa menjadi bukit emas.

Namun Allah memberikan kunci dalam memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di dunia ini bagi manusia. Yaitu dengan menjadi ulul albab, yaitu manusia berpikir, yang menggunakan otak serta hatinya dalam memahami tanda kekuasaan-Nya.

Ada sebuah syair Arab terkenal yang berbunyi, ”Apabila manusia memikirkan segala kelakuannya, maka ia akan menyadari pelajaran di dalamnya.’’

Andai saja manusia menyempatkan waktunya untuk berpikir, memikirkan hakikat penciptaan dirinya, dunia seisinya seperti yang sudah dicontohkan di atas yaitu penciptaan langit dan bumi betapa dahsyatnya penciptaan itu.

Lalu pergantian siang dan malam, kenapa matahari selalu terbit dari timur, adakah manusia yang mampu menerbitkannya dari barat?

Nabi Isa pernah berkata, “Alangkah baiknya orang yang di setiap perkataannya untuk berzikir, diamnya untuk berpikir, dan penglihatannya untuk belajar.’’

Pernahkah Anda membayangkan,  ada manusia yang setiap kata dari mulutnya selalu digunakan untuk berzikir, entah untuk dirinya sendiri maupun untuk mengingatkan orang lain, bahkan diamnya pun berguna untuk berpikir?

Orang yang mampu melakukan ini akan menjadikan semua penglihatan dan panca indra lainnya sebagai hikmah dan pelajaran. Jadi, mari saudaraku, kita sempatkan waktu kosong kita atau saat kita diam untuk sejenak berpikir.

Karena, inilah kunci yang dimaksud untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Allah selama di dunia dan merupakan pembeda antara kita para Mukmin dan mereka para kaum kafir yang keras kepala dalam menerima bukti-bukti yang datang pada mereka.

Jika sudah, ada satu pesan bagi ikhwah sekalian, ubahlah kata seandainya menjadi semoga diiringi dengan niat yang tulus serta kerja keras niscaya kita akan melihat betapa indahnya dunia ini. Wallahu a’lam.

Menyertakan Asma Allah


Salah satu hadis sahih masyhur di kalangan ulama penulis kitab yang selalu menjadi pembuka tulisannya adalah hadis berbunyi  “kullu amrin dzii baalin laa yubdau bi bismillah fahua abtar au aqtha”, Segala urusan penting yang tidak diawali bismillah tidak atau kurang keberkahannya.

Mungkin inilah salah satu rahasia utamanya, di samping yang lainnya, kitab-kitab klasik karya para ulama salafus salih walaupun ditulis ratusan tahun yang lalu, tetap dianggap aktual dan menarik untuk dipelajari.

Kitab fikih Al Um sebagai salah satu contoh karya Imam Syafi"i (wafat 204 H) yang sudah berusia kurang lebih 1.200 tahun tetap dijadikan salah satu rujukan utama dalam menjawab berbagai persoalan fiqhiyyah masa kini.

Di samping itu, memang kitab-kitab fikih klasik tersebut pantas dijadikan rujukan karena isinya sangat prospektif, melampaui zaman dan waktu ketika buku tersebut ditulis. 

Menyertakan asma Allah, bagi kaum Muslimin merupakan suatu keniscayaan sekaligus kebutuhan. Baik pada pekerjaan rutin dan personal, seperti makan, minum, berpakaian, tidur, bangun tidur, terlebih lagi pada kegiatan yang diharapkan memiliki makna strategis untuk kepentingan bersama dalam skala lebih luas.

Seperti tersebut di atas, menulis buku dan karya ilmiah. Selain itu, memimpin rapat untuk membahas dan membicarakan masalah pendidikan, sosial ekonomi, budaya, dan politik yang berkaitan dengan kepentingan bersama.

Apalagi para pejabat publik, seperti pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif yang keputusannya berkaitan dengan nasib seseorang atau suatu bangsa, tentu menyertakan asma Allah pada setiap kata yang diucapkannya atau setiap ketukan palunya merupakan sesuatu hal yang sangat penting, strategis, dan menentukan.

Ada beberapa hal strategis dan fundamental mengapa kita sangat dianjurkan menyertakan asma Allah pada setiap kegiatan yang dilakukan. 

Pertama, memotivasi sekaligus mendorong agar perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan baik dan benar, tidak melanggar ketentuan-Nya, tidak mengharamkan yang halal, atau sebaliknya.

Menyertakan asma Allah bukanlah sekadar formalitas supaya kelihatan nuansa religiusnya, tetapi lebih substansial agar semua perilaku kita merupakan refleksi dan manifestasi dari keimanan kita kepada Allah SWT.

Dengan menyertakan asma Allah, seperti mengucapkan bismillah, sesungguhnya kita sedang menarik kegiatan yang kita lakukan pada nilai-nilai tauhid sekaligus menghilangkan sekularisasi dan dikotomi antara agama dan bukan agama, antara dunia dan akhirat.

Kedua-duanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Semuanya harus benar, baik, dan sesuai dengan ketentuan-Nya, serta semuanya akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya (QS az-Zalzalah [99] : 8).

Kedua, menggambarkan doa agar Allah menguatkan niat dan motivasi kita sekaligus memudahkan segala urusan. Basmalah, hamdalah, insya Allah, atau kalimat lainnya menggambarkan kerendahan hati bahwa manusia boleh merencanakan, tetapi Allah yang menentukan.

Sehingga, ketika berhasil dan hasilnya sesuai dengan harapan, tidak akan melahirkan kesombongan. Apabila belum berhasil, tidak akan menyebabkan frustrasi atau putus asa. Dan, inilah makna hakiki dari tawakal kepada Allah. Wallaahu"alam bish shawab.

Bertasbihlah

Dimas Cokro Pamungkas
Allah SWT berfirman, “Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dia-lah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Hadid [57] : 1 - 2).

Firman lainnya menyebutkan, “Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan, Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS Ali Imran [3] : 26 -27). Subhanallah.

Mari kita renungkan firman Allah itu. Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Mana buktinya? Dalam sebuah hadis yang cukup panjang, Abu Dzar menceritakan dia pernah meminta izin Rasulullah untuk menyendiri di suatu tempat.

Sebelum berangkat, dia sempat menanyakan keberadaan khadam atau pelayannya. Pelayan itu sedang berada di rumahnya. Abu Dzar bergegas menemuinya. Ternyata, pelayan itu sedang duduk bersandar pada sebuah sandaran. Sendirian.

Anehnya, ujar Abu Dzar, dia seakan-akan tengah tergesa-gesa. Lalu, dia mengucapkan salam dan dijawab olehnya sebagaimana mestinya. Pelayan itu bertanya kepada Abu Dzar, “Atas izin siapa kamu datang kemari?” Dia menjawab, “Atas izin Allah dan Rasul-Nya.”

Pelayan itu mempersilakan Abu Dzar duduk. Dan, Abu Dzar duduk di sampingnya. Baru saja Abu Dzar duduk, Abu Bakar datang dengan tergopoh-gopoh. Abu Bakar mengucapkan salam dan dijawab oleh dia sebagaimana mestinya.

Tidak lama berselang, Umar bin Khaththab datang, kemudian Utsman bin Affan pun datang. Pelayan itu bertanya, “Atas izin siapa kalian datang kemari?” Abu Bakar, Umar, dan Utsman menjawab, “Kami datang kemari atas izin Allah dan Rasul-Nya.”

Lalu, Rasulullah pun datang. Dan, kisah yang menakjubkan dimulai. Beliau bersabda, “Mengapa sedikit sekali makanan yang tersisa ini?” Mendengar ungkapan itu semua sahabat diam saja karena tidak mengerti maksudnya.

Tiba-tiba beliau mengambil kira-kira enam butir kerikil. Kerikil itu sekonyong-konyong bertasbih di tangan Rasulullah hingga terdengar oleh pohon-pohon kurma di sekelilingnya. Masing-masing satu butir kerikil dipindahkan ke tangan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.

Dan, subhanallah, kerikil itu bertasbih di tangan mereka. Semua yang hadir terdiam menyaksikan mukjizat itu. Takjub, luar biasa. Di dalam sejumlah hadis dinyatakan, keutamaan bertasbih sangat luar biasa.

Rasulullah bersabda, “Ada dua kalimat yang ringan diucapkan tetapi berat dalam timbangan dan (kalimat) itu dicintai oleh Ar-Rahman (Allah yang Maha Pemurah), yakni 'subhanallah wa bihamdihi, subhanallahi al-adhimi'.” (HR Bukhari dan Muslim).

Beliau bersabda, “Apakah seseorang di antara kamu tidak mampu berbuat seribu kebaikan setiap hari? Lalu, ada seseorang dari sahabat itu bertanya kepada beliau: Bagaimana caranya seseorang di antara kami dapat berbuat seribu kebaikan setiap hari? Beliau bersabda: Dia membaca tasbih (subhanallah) seratus kali. Maka, baginya akan dicatat seribu kebaikan atau baginya akan dihapus dari padanya seribu kesalahan.” (HR Muslim).

Beliau bersabda, “Barang siapa membaca 'subhanallah wa bihamdih' seratus kali dalam sehari, akan dihapus dosa-dosanya sekali pun sebanyak buih di laut.” (HR Bukhari dan Muslim).

Pada kesempatan lain beliau bersabda, “Ucapan yang paling dicintai Allah ada empat macam. Terserah kalian mau mulai dari mana saja pun boleh, yakni subhanallah, alhamdulillah, la ilaha ilallah, dan allahu akbar.'' (HR Muslim).

Sebagai manusia sudah semestinya kita bertasbih kepada Allah. Bagaimana tidak? Sedangkan semua yang berada di langit dan di bumi bahkan kerikil pun bertasbih kepada-Nya.

(Sumber)

Sebaik-baiknya Do'a


Masih segar dalam ingatan kita ada orang-orang yang berani-beraninya menawarkan diri untuk dititipi seabrek permohonan kepada Allah SWT.

Permohonan-permohonan tersebut konon dijanjikan akan disampaikan langsung kepada Allah SWT di rumah-Nya.

Masyarakat yang berminat menitipkan permohonannya dijanjikan akan diterima dengan tangan terbuka. Sepanjang yang bersangkutan melengkapi persyaratan tertentu yakni bersedia membayarkan sejumlah uang.

Alhasil, kurang lebih sama dengan biro jasa pada umumnya. Layaknya biro jasa, layanan baru akan diberikan bila uang sudah dibayarkan.

Fenomena aneh tapi nyata tersebut sempat mengemuka di ruang publik. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun tak ketinggalan ikut-ikutan buka suara. Intinya, menyesalkan hal itu terjadi.

Sayangnya, komentar hanya sebatas pantas atau tidak pantas. Boleh atau tidak boleh. Seingat saya tidak ada yang sempat mencari tahu apa yang pada umumnya mereka mohonkan kepada Allah SWT itu sehingga mereka bersedia mengeluarkan sejumlah uang?

Mungkin juga ada jamaah haji Indonesia yang menceritakan pengalaman pribadinya bahwa saat berada di sekitar Ka’bah dirinya sempat kehabisan stok doa. Padahal, sejak jauh hari sebelum berangkat ke Tanah Suci dirinya sudah mencatat daftar permohonan yang hendak dimohonkan langsung kepada Allah SWT di rumah-Nya.

Mungkin juga ada jamaah haji/umrah Indonesia yang menceritakan pengalaman pribadinya bahwa dirinya dititipi banyak permohonan untuk didoakan di Multazam dan/atau di Raudhah oleh saudara-saudaranya. Dan, tentu saja titipan doa yang banyak tersebut pada praktiknya sungguh “mengganggu” saat dirinya benar-benar berada di Multazam dan/atau di Raudhah.

Setelah ditelusuri alakadarnya, tidak sedikit permohonan yang kualitas permohonannya di bawah standar. Memangnya kenapa? Disebutkan demikian karena tidak sedikit permohonan yang sejatinya tidak berbobot sama sekali.

Umpamanya, merengek-rengek meminta diberikan jodoh atau pasangan hidup. Menyangkut keinginan diberikan jodoh ini tidak sedikit jamaah umrah (Indonesia) yang berupaya menaiki Jabal Rahmah. Kemudian, di Jabal Rahmah itulah mereka melakukan ritual pencarian jodoh.

Sepintas lalu tidak ada yang salah dengan permohonan-permohonan tersebut bukan? Bahkan mungkin ada yang menganggapnya sebagai peluang emas yang boleh jadi hanya diperoleh sekali dalam seumur hidup. Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan kesempatan menunaikan kewajiban haji yang semakin “berat”, mengingat semakin panjangnya daftar tunggu (waiting list).

Bagaimana sebaiknya? Diilustrasikan dalam sejumlah hadis Rasulullah SAW bahwa ada beberapa sahabat beliau yang sungguh cerdas dalam memohon. Dikatakan demikian karena mereka benar-benar hanya memohon yang terbaik dari yang baik-baik. Berikut ini beberapa contohnya.

Pertama, sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar RA. Dikisahkan dalam sebuah hadis, suatu ketika Rasulullah bercerita tentang pintu-pintu Surga. Kata beliau pintu-pintu Surga itu jumlahnya ada delapan. Ketika itu Abu Bakar bertanya mungkinkah ada seseorang yang dapat memasukinya dari semua pintu? Dijawab oleh Rasulullah, mungkin saja. “Mudah-mudahan salah satunya adalah engkau.”

Kedua, sebagaimana dilakukan oleh Ukkasyah bin Mihshan al-Asadi. Dikisahkan Rasulullah bercerita tentang orang-orang yang akan memasuki Surga tanpa hisab. Jumlah mereka seluruhnya 70 ribu orang. Wajah mereka bersinar laksana bulan purnama, kata Rasulullah.

Sekonyong-konyong Ukkasyah berdiri, lalu berkata, “Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikanku salah seorang di antara mereka”. Rasulullah pun berkata: “Ya Allah, jadikan dia salah seorang di antara mereka.”

Mendengar respons Rasulullah itu, seorang Anshar berkata, “Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikanku salah seorang dari mereka”. Rasulullah menjawab, “Engkau kalah cepat dari Ukkasyah.”

Ketiga, sebagaimana dilakukan oleh seorang wanita tua Bani Israil. Dikisahkan suatu ketika dia mendapatkan peluang emas. Alkisah, Nabi Musa AS meminta dia menunjukkan makam Nabi Yusuf AS agar dia bisa membawa jasadnya saat dia keluar dari Mesir. Namun, wanita tua itu menolak kecuali dia diperkenankan untuk menemani Nabi Musa di Surga. Maka Allah memperkenankan wanita tua tersebut.

Demikianlah, tiga contoh orang-orang yang dalam hidupnya sukses merengkuh permintaan terbaik mereka. Ambisi-ambisi mereka positif karena mereka hanya menginginkan Surga. Dan, seluruh permintaan mereka terkabul. Wallahua’lam.

Melembutkan Hati

Dimas Cokro Pamungkas
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalanganmu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan kalian: dan dia sangat menginginkan (keselamatan dan keamanan) bagi kalian serta amat belas kasih lagi penyayang tehadap kaum mukmin.” (QS at-Taubah: 128).

Di tengah perilaku kekerasan yang melanda masyarakat kita, diwarnai upaya memaksakan kehendak, melunturnya kepedulian sosial, timbulnya kesenjangan sosial, kekerasan dalam rumah tangga, juga dendam yang diperturutkan, maka sikap lemah lembut menjadi pilihan dalam menyikapi berbagai persoalan kehidupan.

Becermin dari perilaku teladan Nabi Muhammad SAW, maka sudah selayaknya kita mengambil ibrah dan sirah nabawi dalam bersikap dan bertindak.

Setidaknya ada tiga perilaku teladan Rasul SAW yang memperlihatkan kelembutan hati, untuk mengantisipasi gejala sosial kemasyarakatan ini , yaitu sikap rela memaafkan, rendah hati (tawadhu), dan memberi tanpa pamrih. Ketiga sikap tersebut bersumber pada luasnya limpahan rasa kasih sayang beliau pada umatnya.

“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (QS Ali Imran: 159)

Rasulullah SAW memiliki sikap memaafkan bukan karena terpaksa atau karena tidak mampu membalas, tapi karena kasih sayang dan keikhlasan yang sempurna. Sikap rela memaafkan yang beliau contohkan bukan karena adanya paksaan dari orang lain, atau adanya pertimbangan keuntungan yang akan diperoleh, namun semata-mata dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

Menurut Imam al-Ghazali, memaafkan yang hakiki adalah bahwa seseorang itu memiliki hak untuk membalas, mengkisas, menuntut, atau menagih dari seseorang yang tertentu, tapi hak yang dimilikinya tersebut dilenyapkan atau digugurkan sendiri. Sekalipun ia berkuasa untuk mengambil haknya itu.

Sikap yang kedua adalah tawadhu bukan berarti merendahkan martabat, akan tetapi justru akan menambah ketinggian akhlak. Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabatnya, “Rendah hati (tawadhu) itu tidak menambah seseorang melainkan ketinggian. Karena itu bertawadhulah, pasti Allah akan meninggikan derajatmu.”

Sikap yang ketiga adalah, memberi sesuatu yang kita miliki  tanpa pamrih, sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak.” (QS al-Mudatstsir: 6). 

Salah satu bentuk pemberian adalah berupa harta yang kita miliki, dalam bentuk sedekah. Bersedekah itu tidak memengaruhi harta seseorang, melainkan akan semakin menambah banyak jumlahnya. Karena itu bersedekahlah, pasti Allah akan memberikan kasih sayang-Nya pada kalian semua. (HR ad-Dailami)

Lebih jauh Rasul SAW bersabda, "Seutama-utamanya akhlak dunia dan akhirat adalah agar engkau menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu, memberi sesuatu kepada orang yang menghalang-halangi pemberian padamu, serta memberi maaf kepada orang yang menganiaya dirimu." (HR Thabrani, Baihaqi, dan Ibnu Abi Ad-Dunya).

Oleh karena itu, nilai moral yang melembutkan hati sebagaimana dicontohkan Rasulullah tersebut layak dihidupkan kembali, minimal dalam kehidupan pribadi, keluarga, hubungan kerja, ataupun masyarakat sekitar kita. Wallahua'lam bish shawwab.

Apa Hukum Islam Bagi Nyanyian & Musik?



Waalaikumsalam Wr Wb
Terimakasih pertanyaanya, ngapunten baru balas di sini, semoga lindunganNya selalu menyertai kita, aamiin...

Masalah hukum islam untuk bernyanyi dan alat musik, kita lihat dulu dari sudut pandang islam 'mana' kita melihatnya, karena tidak ada kebulatan hukum selama ini, ada yang mengharamkan namun ada pula yang menghalalkan, semua berdasarkan dalil dan keilmuan yang diyakini masing-masing. Ulama yang mengharamkan musik/nyanyian mereka berpedoman pada sejumlah ulama besar seperti  Qadi Abu Tayyib al-Tabari,  Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Sufyan dan lainnya.
”Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang siapa sering bernyanyi maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu, syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak”.(Imam Syafi'i)
  “Jika seseorang membeli budak perempuan, dan ternyata budak tersebut seorang penyanyi, maka pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut (karena termasuk cacat)."(Imam Malik,  ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama Madinah kecuali Ibnu Sa’id)

Sementara ulama yang membolehkan musik dan nyanyian kebanyakan mengikuti Abu Thalib al-Makki.
Suatu ketika Abi Hasan bin Salim ditanya Abi Thalib, “Mengapa engkau melarang mendengarkan musik, sementara al-Junaedi, Sirri Al-Saqati dan Dzunnun al-Misri senang mendengarkan musik?” Hasan bin Salim menjawab, “Saya tidak pernah melarang orang mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-orang yang lebih baik dariku. Aku hanya melarang bermain dan bersenda gurau dalam mendengarkan musik.”(Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Libanon: Dar Al-Fikr, tt, hal 268)
Sementra kalau menurut saya pribadi - Dimas Cokro Pamungkas, karena saya orang Nahdlatul Ulama (NU) ya saya berpedonan pada keyakinan saya (berdasar NU) yaitu BOLEH.
Apa alasan saya berkata seperti itu? kalau itu musik baik, untuk tujuan baik, syiar agama, menyampaikan kebaikan dan ajaran Allah, bukankah itu sangat bermanfaat? bukankan kita punya kebanggan dengan sufi besar kita Jalaluddin Rumi dengan musiknya?Kalau di dunia terkini bukankah kita bisa melihat Hadad Alwi dan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf yang mampu mendekatkan kaum muda untuk lebih memperdalam agama dan mencintai Allah dan Rasulnya? Selagi dibuat untuk berjuang di jalan yang benar, dipergunakan untuk tujuan benar, Insya Allah musik dan nyanyian itu boleh. 
Wallahu A'lam Bishawab

Wassalamualaikum Wr Wb.

Gus Dimas
Tanya Jawab Diasuh Oleh: 
Dimas Cokro Pamungkas S.pd (Gus Dimas)
Ketua Majlis Dzikir Qurrota A'yun Jombang
Ketua Qurrota A'yun Psychology Consultant Jombang
Ketua Pencak Silat NU Pagar Nusa Peguron Sapujagad Jombang  
Bila ada pertanyaan silahkan dismskan ke: 081559551234 atau ke email dimascokropamungkas@gmail.com, bisa juga inbox di Facebook: Gus Dimas (Dimas Cokro Pamungkas) tolong disertakan biodata Anda (minimal nama dan kota tinggal) terimakasih, semoga belajar bersama ini bisa membawa manfaat bagi kita semua, Aamiin...

Bolehkan Ngamen untuk Menafkahi Istri yang Hamil?


Waalaikumsalam Pak Rochim di Mojokerto,
salam kenal nggih, ngapunten agak lama balasnya.

Masalah ngamen monggo dilanjutkan dulu, kalau dilihat dari cerita hidup sampean khan memang lagi kepepet dan terdesak, ngamen bisa jadi solusi daripada melakukan tindakkejahatan/kecurangan atau bahkan menelantarkan keluarga, tapi mpun terlena di dunia 'perngamenan' terus nggih, bilih sampun saged bangkit dgn usaha lebih normal akan lebih baik dan mulia, semoga Dia melindungi Pak Rochim sekeluarga, Aamiin...
Wassalamualaikum.


 
Gus Dimas
Tanya Jawab Diasuh Oleh: 
Dimas Cokro Pamungkas S.pd (Gus Dimas)
Ketua Majlis Dzikir Qurrota A'yun Jombang
Ketua Qurrota A'yun Psychology Consultant Jombang
Ketua Pencak Silat NU Pagar Nusa Peguron Sapujagad Jombang  
Bila ada pertanyaan silahkan dismskan ke: 081559551234 atau ke email dimascokropamungkas@gmail.com, bisa juga inbox di Facebook: Gus Dimas (Dimas Cokro Pamungkas) tolong disertakan biodata Anda (minimal nama dan kota tinggal) terimakasih, semoga belajar bersama ini bisa membawa manfaat bagi kita semua, Aamiin...

Minta Dikirim Do'a, Yaasin dan Tahlil, Bolehkah?


Alhamdulillah, sampun, sudah kita kirimi do'a dan tahlil sebagai rasa persaudaraan kita sesama muslim dan sesama hamba Allah, semoga do'a-do'a yang kita panjatkan dengan ditujukan pada almarhum akan bisa meringankan dia di alamnya sana, aamiin...

Sampai detik ini banyak kaum muslimin yang berdebat tentang sampai atau tidaknya doa/yaasin/tahlil yang dikirim orang selain keluarga 'asli' kepada orang yang telah meninggal. Banyak yang bilang tidak sampai karena berpedoman pada:
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
Bagi saya pribadi dan bagi orang Islam NU kebanyakan, mendoakan orang meninggal boleh-boleh saja, apa salahnya dengan orang mendoakan sesama? toh kalau si almarhum bisa dikata saudara kita juga, yaitu saudara seiman dan seagama.

Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa dalil yang dijadikan acuan oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah saw pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda: “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”. 

Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lain-lainnya akan lebih bermanfaat bagi si mayit. apalagi Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan:
Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut.

Kita mendoakan orang yang sudah meninggal, agar Allah mengampuni dosanya, itu diperbolehkan (sekali lagi menurut saya). Di sini ada pemahaman yang salah, semua orang berfikirnya do'a itu sampai atau tidak ya? Ini bukan masalah sampai atau tidak sampai, yang mendengar doa ini adalah Allah, kita berdoa itu meminta kepada Allah, Allah pasti dengar dan jika Allah berkendak akan dikabulkan, mengabulkan apa tidak itu hak prerogatif Allah, bukan kita umat manusia.
Wallahu A'lam Bishawab



Gus Dimas
Tanya Jawab Diasuh Oleh: 
Dimas Cokro Pamungkas S.pd (Gus Dimas)
Ketua Majlis Dzikir Qurrota A'yun Jombang
Ketua Qurrota A'yun Psychology Consultant Jombang
Ketua Pencak Silat NU Pagar Nusa Peguron Sapujagad Jombang  
Bila ada pertanyaan silahkan dismskan ke: 081559551234 atau ke email dimascokropamungkas@gmail.com, bisa juga inbox di Facebook: Gus Dimas (Dimas Cokro Pamungkas) tolong disertakan biodata Anda (minimal nama dan kota tinggal) terimakasih, semoga belajar bersama ini bisa membawa manfaat bagi kita semua, Aamiin...

Yang Benar Wa 'Alaykum Salaam atau Alaykum Salaam?



Pertanyaan:
Apa perbedaan antara membalas salam dengan: Wa 'alaykum salaam atau alaykum salaam?

Jawaban:
Tidak ada perbedaan antara keduanya, semuanya diperbolehkan, tapi tampaknya yang terbaik adalah: satu dengan huruf 'waw' yaitu Wa 'alaikum salaam.
 
Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat, Aamiin...
 
 
Tanya Jawab Diasuh Oleh: 
Dimas Cokro Pamungkas S.pd (Gus Dimas) 
Ketua Qurrota A'yun Psychology Consultant Jombang 
Ketua Pencak Silat NU Pagar Nusa Peguron Sapujagad Jombang 
 
Bila ada pertanyaan silahkan dismskan ke nomor 081559551234 atau ke email dimascokropamungkas@gmail.com, bisa juga inbox di Facebook akun: Gus Dimas (Dimas Cokro Pamungkas) tolong disertakan biodata Anda (minimal nama dan kota tinggal) terimakasih, semoga belajar bersama ini bisa membawa manfaat bagi kita semua, Aamiin...

Apa Perbedaan Antara Qadariyyah dan Jabariyyah?



Pertanyaan:

Apa Perbedaan Antara Qadariyyah dan Jabariyyah?
(Bu Ida Solo - 046132****)

Jawaban:
Qadariyyah dan Jabariyyah adalah dua hal yang bertolak belakang.

Qadariyah adalah satu aliran dalam teologi Islam yang berpendirian bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya, mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri intuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya & kehendaknya, dalam bahasa inggrisnya disebut free will dan free act, yang ekstrim mereka meniadakan qadar atau ketetapan Allah yang azali atas segala sesuatu sebelum terjadi, sehingga setiap pekerjaan berasal dari manusia sendiri, tidak bisa disandarkan pada Allah baik dari segi penciptaan maupun penetapan.

Jabariyyah adalah aliran yang memandang manusia tidak mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan suatu perbuatan. Sebaliknya ia terpaksa melakukan kehendak atau perbuatannya sebagaimana telah ditetapkan Tuhan sejak zaman azali. Filsafat barat sebut aliran ini Fatalism atau Predestination. Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi adanya kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari Allah. Oleh karena itu menurut mereka, seseorang menjadi kafir atau muslim adalah atas kehendak Allah.
 
Namun demikian, Jabariyah terbagi atas dua kelompok utama, yaitu:

1. Jabariyah murni atau ekstrim yang dibawa oleh Jahm bin Shafwān paham fatalisme ini beranggapan bahwa perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia, tanpa ada kaitan sedikit pun dengan manusia, tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Manusia sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa, dan tidak memiliki daya untuk berbuat. Manusia bagaikan selembar bulu yang diterbangkan angin, mengikuti takdir yang membawanya. Manusia dipaksa, sama dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati.

2. Jabariyah moderat yang dibawa oleh al-Husain bin Muhammad al-Najjār. Dia mengatakan bahwa Allah berkehendak artinya bahwa Dia tidak terpaksa atau dipaksa. Allah adalah pencipta dari semua perbuatan manusia, yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, tetapi manusia mempunyai andil dalam perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannnya. Dan inilah yang disebut dengan kasb. Paham ini juga dibawakan oleh Dhirār bin ‘Amru. Ketika dia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan oleh Allah, dan manusia juga pada hakikatnya memiliki bahagian untuk mewujudkan berbuatannya. Dengan demikian, menurutnya bisa saja sebuah tindakan dilakukan oleh dua pelaku. 

Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat, Aamiin...

Tanya Jawab Diasuh Oleh:
Dimas Cokro Pamungkas S.pd (Gus Dimas)
Ketua Qurrota A'yun Psychology Consultant Jombang
Ketua Pencak Silat NU Pagar Nusa Peguron Sapujagad Jombang

Bila ada pertanyaan silahkan dismskan ke nomor 081559551234 atau ke email dimascokropamungkas@gmail.com, bisa juga inbox di Facebook akun: Gus Dimas (Dimas Cokro Pamungkas) tolong disertakan biodata Anda (minimal nama dan kota tinggal) terimakasih, semoga belajar bersama ini bisa membawa manfaat bagi kita semua, Aamiin...

Apakah Poligami Harus Atur Waktu 50:50?

Ilustrasi Poligami
Pertanyaan:

Ustadz, Ada seorang pria memiliki dua istri dan masing-masing istri hidup jarak jauh,
mengingat bahwa lokasi kerja berada di tempat yang sama sebagai salah satu istri sehingga membuat dia menghabiskan lebih banyak waktu dengan salah satu istri tersebut. Apakah sang suami berdosa dalam situasi ini? terutama kepada istri yang waktu bersama lebih sedikit?
(Bu Rany - Sidoarjo 0857481****)

Jawaban:

Waalaikumsalam,
Pertanyaan balik dari saya, apakah kedua istri senang dengan situasi ini atau tidak? bisa menerima keadaan ini dengan penuh keikhlasan apa tidak? Jika mereka iklhlas dengan penuh pemahaman dan kesadaran kalau tuntutan pekerjaan harus lebih sering di tempat/kota istri satunya maka tidak ada masalah.

Tapi kalau masing-masing dari mereka untuk menuntut haknya, maka itu adalah suatu keharusan pada diri suami untuk memperbaiki situasi, jadi jika ia tetap enam hari dengan salah satu dari mereka maka wajib untuk tinggal enam hari dengan yang lainnya, bisa tiga hari di sini dan tiga hari di sana, atau seminggu disini dan seminggu di sana, atau dengan perhitungan lain yang telah disepakati bersama.

Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan) Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta’ala,

{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ}
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa’:3).

Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Adapun bagi yang tidak mampu melakukan itu dan khawatir berbuat tidak adil, maka cukuplah dia menikahi seorang wanita (saja), sekali lagi saya cantumkan dalilnya:

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat, Aamiin...


Tanya Jawab Diasuh Oleh:
Dimas Cokro Pamungkas S.pd (Gus Dimas)
Ketua Qurrota A'yun Psychology Consultant Jombang
Ketua Pencak Silat NU Pagar Nusa Peguron Sapujagad Jombang

Bila ada pertanyaan silahkan dismskan ke nomor 081559551234 atau ke email dimascokropamungkas@gmail.com, bisa juga inbox di Facebook akun: Gus Dimas (Dimas Cokro Pamungkas) tolong disertakan biodata Anda (minimal nama dan kota tinggal) terimakasih, semoga belajar bersama ini bisa membawa manfaat bagi kita semua, Aamiin...

Apakah Wajib untuk Melepas Cincin atau Arloji Saat Kita Wudhu?

Wudlu

Pertanyaan:

Assalamualaikum Ustadz,
Apakah menjadi kewajiban untuk memindahkan cincin atau arloji selama kita wudhu?
Wassalam
(Ibu Mala Surabaya - 08137382****) 

Jawaban:
 
Waalaikumsalam
Secara syar'i, wudhu ditujukan untuk menghilangkan hadas kecil agar kita sah menjalankan ibadah, khususnya shalat.
''Shalatnya salah seorang di antara kalian tidak akan diterima apabila ia berhadas hingga ia berwudhu.'' (HR Abu Hurairah)
 
Ilmu Fiqih  mengatakan dianjurkan untuk melakukannya. Tapi jika itu ketat maka wajib untuk memindahkannya karena semua benda itu akan menghalangi air wudlu, air tidak akan mencapai apa yang di bawahnya 
''Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu, kedua tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu serta basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki." (QS Al-Maidah (5): 6)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan usap-lah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. al-Maidah [5]: 6) - See more at: http://dainusantara.com/tata-cara-wudhu/#sthash.dL1hsHxG.dpuf
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan usap-lah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. al-Maidah [5]: 6) - See more at: http://dainusantara.com/tata-cara-wudhu/#sthash.1uJBAC1H.dpuf
Alloh Subhanahuwata’ala  berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan usap-lah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. al-Maidah [5]: 6)
- See more at: http://dainusantara.com/tata-cara-wudhu/#sthash.1uJBAC1H.dpuf
Alloh Subhanahuwata’ala  berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan usap-lah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. al-Maidah [5]: 6)
- See more at: http://dainusantara.com/tata-cara-wudhu/#sthash.1uJBAC1H.dpuf
Alloh Subhanahuwata’ala  berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan usap-lah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. al-Maidah [5]: 6)
- See more at: http://dainusantara.com/tata-cara-wudhu/#sthash.1uJBAC1H.dpuf
Alloh Subhanahuwata’ala  berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan usap-lah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. al-Maidah [5]: 6)
- See more at: http://dainusantara.com/tata-cara-wudhu/#sthash.1uJBAC1H.dpuf
Alloh Subhanahuwata’ala  berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan usap-lah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. al-Maidah [5]: 6)
- See more at: http://dainusantara.com/tata-cara-wudhu/#sthash.1uJBAC1H.dpuf
Alloh Subhanahuwata’ala  berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan usap-lah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. al-Maidah [5]: 6)
- See more at: http://dainusantara.com/tata-cara-wudhu/#sthash.1uJBAC1H.dpuf
Semoga manfaat, terimasaksih, Wassalamualaikum.
Alloh Subhanahuwata’ala  berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku, dan usap-lah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki…” (QS. al-Maidah [5]: 6)
- See more at: http://dainusantara.com/tata-cara-wudhu/#sthash.1uJBAC1H.dpuf


Tanya Jawab Diasuh Oleh:
Dimas Cokro Pamungkas S.pd (Gus Dimas)
Ketua Qurrota A'yun Psychology Consultant Jombang
Ketua Pencak Silat NU Pagar Nusa Peguron Sapujagad Jombang

Bila ada pertanyaan silahkan dismskan ke nomor 081559551234 atau ke email dimascokropamungkas@gmail.com, bisa juga inbox di Facebook akun: Gus Dimas (Dimas Cokro Pamungkas) tolong disertakan biodata Anda (minimal nama dan kota tinggal) terimakasih, semoga belajar bersama ini bisa membawa manfaat bagi kita semua, Aamiin...

Penyakit Hati dalam Pandangan Islam

Gus Dimas
Oleh: Dimas Cokro Pamungkas

Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya Ilahi

Penggalan lirik lagu yang dipopulerkan nasyid Snada dan da'i kondang Aa' Gym terdengar sederhana namun penuh makna, lirik-liriknya mengingatkan kita betapa pentingnya bagi kita semua untuk menjaga hati, kenapa? yakinlah saudara, kalau segumpal daging hati akan menentukan gumpalan daging lainnya untuk menjadikannya baik atau buruk.

Sebagai muslim, kita diberi panduan oleh keyakinan kita kalau setidaknya ada 3 jenis penyakit hati, yaitu:

1. Penyakit Subhat dan Ragu-Ragu

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah oleh Allah penyakitnya itu; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta." – (QS.Al Baqarah 2:10)

Solusinya apa?
Kita kembali pada contoh dan teladan kita Rasulullah SAW, apa yang beliau kerjakan kita ikuti dan apa yang beliau tinggalkan kita jauhi pula, hal itu cocok dengan firman Allah: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." – (QS.Al Hasyr 59:7) 

2. Penyakit Syahwat dan Kesesatan

 فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat, dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan," – (QS.Maryam 19:59)

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا 

"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginan-lah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik," – (QS.Al Ahzab 33:32) 

Usaha dan cara mengatasinya bagaimana?
Kita atur pandangan kita terhadap wanita/laki-laki yang bukan hak kita dan bukan saudara kita, semakin sedikit kita berinteraksi pandang Insya Allah kita lebih bisa meredam nafsu dan menhindari yangt namanya zina mata, hal itu kita jalankan berdasarkan firman Allah: 

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

3. Penyakit Lalai dan Buta Hati 

لاهِيَةً قُلُوبُهُمْ وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا هَلْ هَذَا إِلا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ 

"(lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu, merahasiakan pembicaraan mereka, yaitu: 'Orang ini (Muhammad) tidak lain hanyalah seorang manusia (juga) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya'." – (QS.Al Anbiya 21:3)

 أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي 
الصُّدُورِ

"maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati, yang dengan itu mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga, yang dengan itu mereka dapat mendengar (menerima kebenaran-Nya). Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada." – (QS.Al Hajj 22:46)

Bagaimana cara selamat dari penyakit tersebut?
Mungkin cara yang pas adalah manusia harus selalu rajin meningkatkan kemampuan dan kwalitas egonya dengan selalu belajar dan belajar ilmu kehidupan agar manusia tersebut memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritua secara serasi, seimbang dan selaras (harmonis) bahasa kerennya "ngaji ati".

Semoga, kita semua terbebas dari penyakit-penyakit hati, meskipun secara fisik tidak terlihat dan terasa tapi efek kerusakan dari penyakit ini luar biasa, tetap dengan pedoman Jagalah hati jangan kau kotori, Jagalah hati lentera hidup ini, Jagalah hati jangan kau nodai, Jagalah hati cahaya Ilahi...
Wallahu A'lam Bissawaf

(DCP)