Setiap tahun umat Islam bertemu dengan Dzulhijjah. Bulan yang di
dalamnya disunahkan bagi setiap Muslim untuk menyembelih hewan kurban.
Syariat yang ditetapkan oleh Allah sesaat setelah Nabi Ibrahim berhasil menundukkan ego dalam dirinya dan sepenuhnya total mengabdi kepada Allah dengan siap mengorbankan apa pun demi mendapat rida Allah, termasuk harta termahal di dunia, yaitu seorang anak.
Pergulatan panjang, bahkan diskusi dengan sang putra Nabi Ismail ketika mendapat perintah untuk menyembelih harta termahalnya itu, mengantarkan Nabi Ibrahim tetap memilih taat kepada Allah dengan benar-benar akan menyembelih putranya.
Tetapi, kasih sayang Allah luar biasa. Allah menggantikan sosok Nabi Ismail dengan seekor domba untuk disembelih oleh Nabi Ibrahim.
Tentu ada banyak pelajaran dari syariat kurban yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Ibrahim itu. Secara pribadi, kurban bagi seorang Muslim adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT untuk benar-benar mendapat rida-Nya. Kurban adalah wujud pengabdian seorang hamba kepada Allah untuk turut serta memberikan kebahagiaan kepada saudara seiman lain yang hidup susah dan miskin.
Secara sosial, syariat kurban menuntun umat Islam untuk tidak terjebak pada individualisme- materialisme yang berakibat pada keroposnya solidaritas dan soliditas internal umat Islam. Dengan syariat kurban diharapkan semua umat Islam secara berjamaah tetap komitmen dan konsisten pada keimanan kepada Allah SWT.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai” (QS [3]: 103). Berpegang kepada tali Allah berarti semua umat Islam harus saling menjaga, memelihara, dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah secara bahu-membahu dengan cara saling asah-asih-asuh.
Kurban adalah bentuk paling nyata dari keimanan seorang Muslim untuk mengajak saudara yang lain turut bahagia dalam menapaki hidup dengan berpegang teguh kepada tali Allah, sehingga tercipta ukhuwah Islamiyah yang kuat dan kokoh. Karena Allah tidak menyukai umat Islam hidup tercerai berai, sehingga mudah dikalahkan oleh umat lainnya.
“Sesungguhnya Allah meridai kalian dalam tiga perkara dan membenci kalian dalam tiga perkara. Dia meridai kalian jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, berpegang teguh pada tali Allah dan tidak bercerai-berai dan setia kepada orang yang telah diserahi urusan kalian oleh Allah (Pemimpin). Dan Allah membenci kalian dalam tiga perkara, yaitu banyak bicara (menyampaikan perkataan tanpa mengetahui kepastian dan kebenaran), banyak bertanya dan menghambur-hamburkan harta.” (HR. Muslim).
Jika kembali pada makna ayat yang memerintahkan umat Islam untuk berpegang teguh pada tali Allah yang, menurut Ibnu Katsir, berarti berpegang teguh kepada Alquran. Maka, tidak semestinya spirit kurban hanya terhenti pada prosesi penyembelihan hewan pada Hari Raya Idul Adha, tetapi harus berlanjut sepanjang waktu. Karena pada kurban, mewujud iman dan takwa paling nyata dari seorang hamba.
Syariat yang ditetapkan oleh Allah sesaat setelah Nabi Ibrahim berhasil menundukkan ego dalam dirinya dan sepenuhnya total mengabdi kepada Allah dengan siap mengorbankan apa pun demi mendapat rida Allah, termasuk harta termahal di dunia, yaitu seorang anak.
Pergulatan panjang, bahkan diskusi dengan sang putra Nabi Ismail ketika mendapat perintah untuk menyembelih harta termahalnya itu, mengantarkan Nabi Ibrahim tetap memilih taat kepada Allah dengan benar-benar akan menyembelih putranya.
Tetapi, kasih sayang Allah luar biasa. Allah menggantikan sosok Nabi Ismail dengan seekor domba untuk disembelih oleh Nabi Ibrahim.
Tentu ada banyak pelajaran dari syariat kurban yang pertama kali dilakukan oleh Nabi Ibrahim itu. Secara pribadi, kurban bagi seorang Muslim adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT untuk benar-benar mendapat rida-Nya. Kurban adalah wujud pengabdian seorang hamba kepada Allah untuk turut serta memberikan kebahagiaan kepada saudara seiman lain yang hidup susah dan miskin.
Secara sosial, syariat kurban menuntun umat Islam untuk tidak terjebak pada individualisme- materialisme yang berakibat pada keroposnya solidaritas dan soliditas internal umat Islam. Dengan syariat kurban diharapkan semua umat Islam secara berjamaah tetap komitmen dan konsisten pada keimanan kepada Allah SWT.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai” (QS [3]: 103). Berpegang kepada tali Allah berarti semua umat Islam harus saling menjaga, memelihara, dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah secara bahu-membahu dengan cara saling asah-asih-asuh.
Kurban adalah bentuk paling nyata dari keimanan seorang Muslim untuk mengajak saudara yang lain turut bahagia dalam menapaki hidup dengan berpegang teguh kepada tali Allah, sehingga tercipta ukhuwah Islamiyah yang kuat dan kokoh. Karena Allah tidak menyukai umat Islam hidup tercerai berai, sehingga mudah dikalahkan oleh umat lainnya.
“Sesungguhnya Allah meridai kalian dalam tiga perkara dan membenci kalian dalam tiga perkara. Dia meridai kalian jika kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, berpegang teguh pada tali Allah dan tidak bercerai-berai dan setia kepada orang yang telah diserahi urusan kalian oleh Allah (Pemimpin). Dan Allah membenci kalian dalam tiga perkara, yaitu banyak bicara (menyampaikan perkataan tanpa mengetahui kepastian dan kebenaran), banyak bertanya dan menghambur-hamburkan harta.” (HR. Muslim).
Jika kembali pada makna ayat yang memerintahkan umat Islam untuk berpegang teguh pada tali Allah yang, menurut Ibnu Katsir, berarti berpegang teguh kepada Alquran. Maka, tidak semestinya spirit kurban hanya terhenti pada prosesi penyembelihan hewan pada Hari Raya Idul Adha, tetapi harus berlanjut sepanjang waktu. Karena pada kurban, mewujud iman dan takwa paling nyata dari seorang hamba.
(Imam Nawawi)