Pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian, Rasulullah SAW melakukan
perjalanan ke Thaif dengan berjalan kaki bersama Zaid bin Haritsah,
mantan budaknya.
Di tengah perjalanan, setiap kali Rasulullah bertemu dengan kabilah, beliau selalu menyeru mereka untuk memeluk Islam.
Namun, tak seorang pun yang menanggapi seruan tersebut. Bahkan, para tokoh di Thaif sepakat untuk mengusir Rasulullah. Sedangkan orang-orang yang lemah, berusaha memperdaya Rasul SAW.
Sami bin Adullah al-Maghluts dalam bukunya menuliskan, ketika Rasul bertolak meninggalkan Thaif, tiba-tiba muncul beberapa orang dan budak belian yang mencerca dan memaki Rasulullah. Mereka berteriak-teriak sehingga orang-orang pun berkumpul di dekat beliau.
Mereka lalu membuat barisan dan mulai melempari Rasulullah dengan batu sambil terus memakinya hingga kedua terompah Rasul basah karena darah.
Zaid bin Haritsah berusaha melindungi Rasul dengan tubuhnya. Akibatnya, kepala Zaid terluka terkena lemparan batu penduduk Thaif. Rasulullah pergi meninggalkan mereka dengan wajah muram. Ketika sampai di Qarn Tsa'alib (Qarn al-Manazil), Rasulullah menengadahkan wajahnya dan melihat segumpalan awan menaunginya.
Rasulullah melihat Jibril berada di sana. Jibril berkata kepada Rasul SAW, “Allah telah mendengar ucapan dan penolakan kaummu terhadapmu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung agar engkau dapat memerintahkannya melakukan apa pun sekehendak hatimu.”
Malaikat penjaga gunung berkata kepada Rasul SAW, “Wahai Muhammad, apa yang engkau inginkan sekarang? Kalau engkau mau, aku siap menumpahkan Akh-Syabain (nama dua gunung di pinggir Makkah) kepada mereka.”
Rasul menjawab, “Tidak, aku hanya berharap semoga Allah melahirkan dari mereka keturunan yang mau menyembah Allah SWT tanpa menyekutukan-Nya.” (HR al-Bukhari).
Dari peristiwa tersebut, kita dapat mengambil makna yang mendalam tentang dakwah Rasulullah SAW. Pertama, dakwah dilakukan dengan ulet, sabar, dan ikhlas demi mengharap rida Allah SWT. (QS [103]: 3), walaupun banyak tantangan dan rintangan menghadang.
Kedua, dakwah dilakukan dengan sikap lapang dada, tidak dendam atau benci terhadap orang yang mencela bahkan melempari fisiknya sampai berdarah. Seandainya Rasulullah mau membalas, malaikat sudah siap melaksanakan perintah untuk membumihanguskan mereka.
Tapi, Rasulullah dengan lapang dada memaafkan mereka dan tidak melakukan pembalasan itu. Sebaliknya, Rasul mendoakan agar mereka melahirkan keturunan yang menyembah Allah SWT.
Ketiga, dakwah dilakukan dengan sikap menolak kejahatan dengan kebaikan (QS 13: 22). Berbuat baik kepada orang yang melakukan kejelekan, merupakan sikap yang terpuji, dan sangat dicontohkan Rasul SAW dalam menghadapi tantangan dakwah.
Banyak orang yang menyakiti dan mencaci makinya, namun Rasulullah SAW senantiasa berbuat baik kepada mereka dan mendoakannya. Dengan cara itu, mereka pun akhirnya luluh hatinya dan mengakui akan kearifan dan kebesaran jiwa dari Rasul SAW. Semoga kita bisa meneladani dakwah Rasul yang sabar, ikhlas, berlapang dada tidak dendam, dan antikekerasan.
Di tengah perjalanan, setiap kali Rasulullah bertemu dengan kabilah, beliau selalu menyeru mereka untuk memeluk Islam.
Namun, tak seorang pun yang menanggapi seruan tersebut. Bahkan, para tokoh di Thaif sepakat untuk mengusir Rasulullah. Sedangkan orang-orang yang lemah, berusaha memperdaya Rasul SAW.
Sami bin Adullah al-Maghluts dalam bukunya menuliskan, ketika Rasul bertolak meninggalkan Thaif, tiba-tiba muncul beberapa orang dan budak belian yang mencerca dan memaki Rasulullah. Mereka berteriak-teriak sehingga orang-orang pun berkumpul di dekat beliau.
Mereka lalu membuat barisan dan mulai melempari Rasulullah dengan batu sambil terus memakinya hingga kedua terompah Rasul basah karena darah.
Zaid bin Haritsah berusaha melindungi Rasul dengan tubuhnya. Akibatnya, kepala Zaid terluka terkena lemparan batu penduduk Thaif. Rasulullah pergi meninggalkan mereka dengan wajah muram. Ketika sampai di Qarn Tsa'alib (Qarn al-Manazil), Rasulullah menengadahkan wajahnya dan melihat segumpalan awan menaunginya.
Rasulullah melihat Jibril berada di sana. Jibril berkata kepada Rasul SAW, “Allah telah mendengar ucapan dan penolakan kaummu terhadapmu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung agar engkau dapat memerintahkannya melakukan apa pun sekehendak hatimu.”
Malaikat penjaga gunung berkata kepada Rasul SAW, “Wahai Muhammad, apa yang engkau inginkan sekarang? Kalau engkau mau, aku siap menumpahkan Akh-Syabain (nama dua gunung di pinggir Makkah) kepada mereka.”
Rasul menjawab, “Tidak, aku hanya berharap semoga Allah melahirkan dari mereka keturunan yang mau menyembah Allah SWT tanpa menyekutukan-Nya.” (HR al-Bukhari).
Dari peristiwa tersebut, kita dapat mengambil makna yang mendalam tentang dakwah Rasulullah SAW. Pertama, dakwah dilakukan dengan ulet, sabar, dan ikhlas demi mengharap rida Allah SWT. (QS [103]: 3), walaupun banyak tantangan dan rintangan menghadang.
Kedua, dakwah dilakukan dengan sikap lapang dada, tidak dendam atau benci terhadap orang yang mencela bahkan melempari fisiknya sampai berdarah. Seandainya Rasulullah mau membalas, malaikat sudah siap melaksanakan perintah untuk membumihanguskan mereka.
Tapi, Rasulullah dengan lapang dada memaafkan mereka dan tidak melakukan pembalasan itu. Sebaliknya, Rasul mendoakan agar mereka melahirkan keturunan yang menyembah Allah SWT.
Ketiga, dakwah dilakukan dengan sikap menolak kejahatan dengan kebaikan (QS 13: 22). Berbuat baik kepada orang yang melakukan kejelekan, merupakan sikap yang terpuji, dan sangat dicontohkan Rasul SAW dalam menghadapi tantangan dakwah.
Banyak orang yang menyakiti dan mencaci makinya, namun Rasulullah SAW senantiasa berbuat baik kepada mereka dan mendoakannya. Dengan cara itu, mereka pun akhirnya luluh hatinya dan mengakui akan kearifan dan kebesaran jiwa dari Rasul SAW. Semoga kita bisa meneladani dakwah Rasul yang sabar, ikhlas, berlapang dada tidak dendam, dan antikekerasan.
(Nanat Fatah Natsir)