Jika ada di antara
kita, saat ini bergelimang banyak harta dan kemewahan atau meraih
tahta dan menduduki jabatan bergengsi, jangan buru-buru mengucapkan Alhamdulilah, sebagai ungkapan syukur. Melainkan hendaknya, ia berkaca diri dan intropeksi.
Sebab, apabila semua itu didapat dari korupsi, suap atau cara-cara haram lainnya, semua kemewahan dunia dan jabatan yang nyaman itu bukanlah ni'mah (nikmat) yang harus disyukuri, melainkan justru merupakan niqmah (malapetaka) yang mesti diwaspadai.
Dalam terminologi syar'i (Islam) hal ini disebut dengan istidraj. Sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin 'Aamir RA, "Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas maksiat-maksiatnya, apa yang ia suka, maka ingatlah sesungguhnya hal itu adalah istidraj".
Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat 44 dari QS Al An'aam [6], yang artinya "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa" (HR Ahmad no. 17349 dan dishahihkan Al Albani di As Silsilah Ash Shahihah no. 414).
Hadits dan ayat di atas menggariskan sunnatullah dalam kehidupan pendosa dan pelaku maksiat. Terkadang Allah SWT membukakan beragam pintu rizki dan pintu kesejahteraan hidup serta kemajuan dalam banyak aspek kehidupan seperti termaktub dalam redaksi ayat di atas, "Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka".
Bisa berbentuk kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, militer, kesehatan, kebudayaan, stabilitas keamanan dan lain sebagainya.
Ini merupakan istidraj (mengulur-ulur) dan imlaa' (penangguhan) dari Allah bagi mereka sebagaimana firman Allah, "Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh" (QS Al Qalam [68]: 44-45).
Jadi, ketika ada orang yang tidak shalat, tidak puasa Ramadhan, hidup dalam kubangan maksiat, namun hidupnya makmur, sejahtera dan bergelimang banyak kemewahan, ini adalah istidraj.
Ketika ada kelompok atau organisasi menghidupi kelompok dan organisasinya dengan uang haram, tapi kelihatannya tambah maju dengan semakin bertambah banyaknya anggota dan pendukungnya serta semakin meluasnya pengaruh dan cabang-cabangnya, ini pun termasuk istidraj.
Ketika seseorang meraih pangkat dan jabatan atau kemenangan dengan cara-cara yang zhalim dan menghalalkan segala cara, sesungguhnya hal ini juga istidraj.
Demikian pula, kalau ada negara yang kufur kepada Allah, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melegalkan beragam bentuk maksiat, memerangi orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, membatasi atau melarang berbagai aktifitas dakwah, namun secara zhahir tampak maju di beragam aspek kehidupan, hal ini masuk katagori istidraj.
Begitu bahayanya istidraj, sampai-sampai Umar bin Khaththab ra pernah berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi mustadraj (orang yang ditarik dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan)" (Al Umm, Imam Sayfi'i, IV/157). Maka, waspadalah terhadap istidraj, karena ia adalah kenikmatan yang membinasakan. Na'udzbillahi min dzalik.
Sebab, apabila semua itu didapat dari korupsi, suap atau cara-cara haram lainnya, semua kemewahan dunia dan jabatan yang nyaman itu bukanlah ni'mah (nikmat) yang harus disyukuri, melainkan justru merupakan niqmah (malapetaka) yang mesti diwaspadai.
Dalam terminologi syar'i (Islam) hal ini disebut dengan istidraj. Sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin 'Aamir RA, "Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba kelimpahan dunia atas maksiat-maksiatnya, apa yang ia suka, maka ingatlah sesungguhnya hal itu adalah istidraj".
Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat 44 dari QS Al An'aam [6], yang artinya "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa" (HR Ahmad no. 17349 dan dishahihkan Al Albani di As Silsilah Ash Shahihah no. 414).
Hadits dan ayat di atas menggariskan sunnatullah dalam kehidupan pendosa dan pelaku maksiat. Terkadang Allah SWT membukakan beragam pintu rizki dan pintu kesejahteraan hidup serta kemajuan dalam banyak aspek kehidupan seperti termaktub dalam redaksi ayat di atas, "Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka".
Bisa berbentuk kemajuan di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi, militer, kesehatan, kebudayaan, stabilitas keamanan dan lain sebagainya.
Ini merupakan istidraj (mengulur-ulur) dan imlaa' (penangguhan) dari Allah bagi mereka sebagaimana firman Allah, "Maka serahkanlah (Ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat tangguh" (QS Al Qalam [68]: 44-45).
Jadi, ketika ada orang yang tidak shalat, tidak puasa Ramadhan, hidup dalam kubangan maksiat, namun hidupnya makmur, sejahtera dan bergelimang banyak kemewahan, ini adalah istidraj.
Ketika ada kelompok atau organisasi menghidupi kelompok dan organisasinya dengan uang haram, tapi kelihatannya tambah maju dengan semakin bertambah banyaknya anggota dan pendukungnya serta semakin meluasnya pengaruh dan cabang-cabangnya, ini pun termasuk istidraj.
Ketika seseorang meraih pangkat dan jabatan atau kemenangan dengan cara-cara yang zhalim dan menghalalkan segala cara, sesungguhnya hal ini juga istidraj.
Demikian pula, kalau ada negara yang kufur kepada Allah, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melegalkan beragam bentuk maksiat, memerangi orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, membatasi atau melarang berbagai aktifitas dakwah, namun secara zhahir tampak maju di beragam aspek kehidupan, hal ini masuk katagori istidraj.
Begitu bahayanya istidraj, sampai-sampai Umar bin Khaththab ra pernah berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu menjadi mustadraj (orang yang ditarik dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan)" (Al Umm, Imam Sayfi'i, IV/157). Maka, waspadalah terhadap istidraj, karena ia adalah kenikmatan yang membinasakan. Na'udzbillahi min dzalik.
(Dr Ahmad Kusyairi Suhail, MA)