Rasakan Indahnya Berbagi

Pada suatu hari, Ibnu Mubarak pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sesampainya di Makkah, ia pun langsung menuju Ka’bah untuk bertawaf. Kemudian, ia istirahat di Hijir Ismail untuk sekadar melepaskan lelahnya sehingga tertidur di tempat itu.

Dalam tidurnya, Ibnu Mubarak bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Beliau berkata kepadanya, “Jika engkau telah kembali ke Baghdad, carilah Bahram dan sampaikan salamku kepadanya. Dan katakan bahwa Allah SWT telah rela kepadanya.”

Ibnu Mubarak pun terbangun kaget dan mengucapkan, “Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah.” Dalam hatinya, ia berkata, “Ini mimpi dari setan.”

Kemudian, ia mengambil air wudhu dan kembali bertawaf keliling Ka’bah sampai berulang kali. Karena kelelahan, Ibnu Mubarak kembali tertidur dan kembali bermimpi dengan mimpi yang serupa sampai tiga kali.

Dalam hatinya ia berontak, “Tidak mungkin sosok pendeta seperti Bahram mendapat salam dari Rasulullah SAW serta ridha dari Allah SWT.” Tapi, mimpi itu dirasa sangat nyata oleh Ibnu Mubarak. Karena setan tidak mungkin dapat menjelma menjadi Rasulullah SAW.

Setelah syarat dan rukun haji sudah selesai dan sempurna, Ibnu Mubarak pun buru-buru pulang ke Baghdad dan ingin secepatnya mendatangi daerah yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya.

Sampai pada tempat yang dituju, Ibnu Mubarak berjumpa dengan orang yang sudah lanjut usia, dan bertanya, “Apakah Anda yang bernama pendeta Bahram beragama Majusi?” “Oh ya, saya sendiri,” sahut Bahram.

Kemudian, Ibnu Mubarak langsung bertanya “Bahram, apakah Anda punya amalan yang dianggap baik di sisi Allah?”
Lalu, ia menjawab, “Punya. Aku mempunyai empat anak perempuan dan empat anak laki-laki. Aku kawinkan anak perempuanku dengan anak laki-lakiku.

Ini haram hukumnya,” timpal Ibnu Mubarak. “Selain itu, ada tidak?” “Ada, aku membuat pesta pernikahan besar-besaran dalam pernikahan anak-anakku itu,” jawab Bahram “Ini juga haram dan dilarang oleh agama Islam. Selain itu, ada tidak?” tanya Ibnu Mubarak penasaran.

Oh ada. Aku punya anak perempuan yang sangat cantik. Kucarikan pasangan yang sekufu (setara) dengannya. Ternyata, aku tidak mendapatkan. Akhirnya aku kawini saja anakku itu. Dan, aku membuat resepsi yang lebih besar, ribuan orang datang dalam pestaku itu,” kata Bahram. “Ini juga haram,” ujar Ibnu Mubarak tegas. “Ada tidak selain itu?

Ada. Pada malam pengantin itu, ketika aku hendak berhubungan dengan istriku yang merupakan anakku. Tiba-tiba datanglah seorang perempuan Muslim ke rumahku, ia menyalakan obor dari pelitaku yang ada di depan rumah. Setelah obornya nyala, ia pergi dan aku pun keluar dan memadamkan obor tersebut. Kemudian, ia kembali untuk menyalakan lagi sampai tiga kali. Dan hatiku berbicara, jangan-jangan perempuan itu mata-mata pencuri. Akhirnya, aku keluar membuntutinya dari belakang.

Ketika si perempuan itu masuk ke rumahnya disambut oleh suara anak-anaknya. ‘Ibu bawa apa? Perut kami sudah perih dan keroncongan.” Perempuan itu menangis sambil berkata, ‘Aku malu kepada Allah SWT kalau aku meminta kepada selain-Nya. Apalagi kepada orang Majusi yang nyata-nyata tidak seagama,” cerita Bahram.

Setelah aku mendengar perkataannya, aku langsung pulang dan mengambil satu nampan yang berisi aneka makanan. Lalu, aku pergi menuju rumah perempuan Muslim itu,” kata Bahram.

Ibnu Mubarak berkata, “Ternyata, inilah kebaikan kamu.” Kemudian, ia menyampaikan pesan dan salam Rasullah SAW kepadanya dan menceritakan perihal mimpinya ketika berada di Hijir Ismail.

Setelah mendengar cerita Ibnu Mubarak, Bahram langsung mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian syok, dan mengembuskan napas terakhir. Ibnu Mubarak pun turut serta dalam upacara kematian sampai Bahram dimakamkan.
(Ahmad Rosyidi)

Sujud

Ada orang yang beranggapan ibadah adalah urusan orang tua, bahkan ada yang melakukan shalat pun dengan cepat sekali, sehingga mengabaikan bacaan-bacaan shalat yang seharusnya dibaca dengan baik termasuk ketika bersujud.

Seakan-akan tidak membaca do’a sedikitpun ketika bersujud. Padahal saat itulah kita merasa kecil di hadapan Allah SWT, Yang Maha Besar.

Pada saat sujud kita meletakkan anggota tubuh kita di tempat yang sangat rendah, kita menanggalkan semua atribut keduniaan dan kita meletakkan semua gelar kehormatan. Semuanya kecil di hadapan Allah SWT.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam muslim, Rasulullah SAW bersabda : “Kalian harus memperbanyak sujud kepada Allah SWT, karena ketika kalian bersujud , Allah akan angkat derajat kalian, dan Allah akan hapus  dosa kalian.”

Ada dua hal penting yang patut kita garis bawahi dari hadis di atas. Perintah sujud yang disampaikan  Rasulullah SAW memberikan dua manfaat yang sangat berguna bagi kehidupan kita.

Pertama, dengan banyak bersujud, Allah SWT akan angkat derajat kita. Derajat yang akan Allah berikan kepada kita bisa berupa derajat di dunia maupun di akhirat,

Derajat di dunia bisa berupa kehidupan yang sakinah, jabatan, mendapatkan jodoh yang ideal, keinginan-keinginan lain yang dikabulkan, atau juga bisa berupa kedudukan yang tinggi. Semuanya itu merupakan dampak positif dari banyak bersujud kepada Allah SWT.

Sedangkat derajat di akhirat hanyalah Allah SWT yang maha mengetahui. Tak seorangpun yang mengetahui akan hal itu, karena itu menjadi rahasia Allah SWT semata.

Kedua, dengan bersujud Allah SWT akan menghapus dosa kita. Sebagai manusia tentu banyak perbuatan dosa yang kita lakukan, disengaja atau tidak. Dosa tersebut tidak kita ketahui jumlahnya, kecuali nanti di yaumil hisab (Hari Perhitungan).

Anjuran Rasulullah SAW untuk banyak bersujud agar dosa-dosa kita satu persatu dihapus Allah SWT. Semakin banyak bersujud kepada Allah SWT, semakin banyak pula dosa yang dihapus. Semakin banyak kita melaksanakan shalat, akan semakin banyak sujud yang kita lakukan.

Dalam satu raka’at shalat kita bersujud sebanyak dua kali. Maka, dalam 17 raka’at sehari semalam berarti kita sudah bersujud sebanyak 34 kali. Bagaimana dengan shalat sunat lainnya yang kita lakukan?

Bila kita shalat sunnah qabliyyah dan ba’diyyah yang kita laksanakan di awal dan akhir shalat fardhu sebanyak  16 raka’at, berarti kita sujud sebanyak 32 kali.

Bila jumlah bilangan rakaat shalat fardlu dan shalat sunnah dijumlahkan, berarti sehari semalam kita melakukan sujud kepada Allah SWT sebanyak 66 kali. Itu berarti Allah SWT akan menghapus 66 dosa kita sehari semalam.

Padahal dosa yang kita perbuat sehari semalam, lebih dari 66. Dengan bersujud sebanyak 66 kali sehari semalam, masih belum mampu menghapus dosa-dosa kita yang banyak sekali.

Perbanyaklah sujud kepada Allah SWT, tanpa perlu menghitung-hitungnya. Bersujudlah sebanyak-banyaknya setiap ada kesempatan. Karena memang Allah SWT menciptakan kita tak lain untuk beribadah kepada-Nya.
(Ustaz Ahmad Dzaki, MA)

Nasib Dapat Pasangan Hasil Selingkuh

Oleh: Dimas Cokro Pamungkas - Jombang
Assamualaikum,
lama tidak menulis di blog karena sedikit ada peningkatan aktifitas akhir-ini, kali ini pun saya belum akan menulis sesuatu, tapi saya membagikan email curhatan seseorang tentang masalah cobaan hidup, cobaan rumahtangga yang lumayan rumit dan pasti sangat melelahkan fisik dan mental bagi yang mengalaminya...
Di sini saya tidak membahas solusi dari saya, tapi saya hanya neng "share" permasalahan yang ada, dengan begitu saya mengajak anda semua untuk merenung dan berfikir sejenak terhadap kasus yang terjadi ini dan bagaimana solusi yang baik menurut kita masing-masing

Oh iya, sebagai privasi, saya menyamarkan identitas nama dan alamat si pengirim email, tapi selain sensor nama dan alamat saya tulis apa adanya seperti bunyi email yang masuk.
Monggo dianalisis sareng, kita pikir, hayati dan berusaha merasakan apa yang terjadi... Dan andai cobaan ini kita yang jadi aktor utamanya...

Nb: solusi, tukar pikiran dan masukan dari saya nanti saya inbox langsung ke yang bersangkutan pengirim email.

__________________________________________________________________________________

Assalamu'alaikum Ustadz...

Perkenalkan saya bernama I.
Saya mempunyai seorang sahabat yang sedang sangat galau dan hampir putus asa dengan kehidupan yang dijalaninya.
Sahabat saya bernama M. Dia adalah seorang wanita yang sekarang ini sedang bertaubat dari semua dosa-dosa besar yang telah pernah dia lakukan selama ini.
Sebagai perwakilan dari sahabat saya, saya ingin menceritakan permasalahannya dan menanyakan beberapa hal pada Ustaz. Mohon dirahasiakan ya Ustadz.

Sahabat saya ini, M, adalah seorang muslimah yang baik dan taat pada perintah Allah SWT pada awalnya. M sudah bersuami namun belum dikaruniai anak. Kemudian suatu waktu, M harus terpisah dengan suaminya karena study ke luar negara. Di negara tersebut, M berjumpa dengan seorang lelaki yang sama2 study di fakultas yang sama. Namanya B. B adalah seorang lelaki yang telah beristri. Akhirnya M dan B terlibat affair dan berzina karena jauh dari pasangan masing-masing. 

M dibutakan oleh rayuan B sehingga M meminta cerai dari suaminya karena diiming-imingi akan dinikahi oleh B setelah B menceraikan istrinya. Akhirnya M dan suaminya pun bercerai. Perzinahan antara M dan B terus dilakukan baik ketika M masih berstatus istri orang, M sedang dalam proses gugatan cerai, sampai akhirnya M benar2 menjadi janda. Bertahun-tahun zina itu dilakukan. Sampai akhirnya B menceraikan istrinya. 

Setelah setahun bercerai dari istrinya, B melamar M dan sudah merencanakan pernikahan dua bulan mendatang dari proses lamaran. Setelah proses lamaran, Mina benar2 berniat untuk bertaubat dan memohon ampunan pada Allah atas semua dosa yang dilakukannya. Mina ingin kembali pada jalan Allah SWT dan bersama-sama dengan B ingin merajut pernikahan yang diridhai Allah SWT. Tapi sayang, sebulan sebelum pernikahan, ternyata B terlibat lagi affair dan berzina kembali dengan wanita lain. Mina baru mengetahuinya seminggu sebelum pernikahan. Disaat itu, B meminta maaf atas semua kesilapannya dan ingin tetap menjalani pernikahan ini. M yang sudah dibutakan cinta akhirnya menerima B kembali dan pernikahan itu pun terjadi.

Namun seminggu setelah pernikahan, ternyata B berbohong. B tetap melanjutkan affairnya dengan wanita itu dan menikah siri dengannya tanpa wali yang sah. Karena orang tua wanita itu tidak mau menikahkan anaknya dengan B. Namun mereka tetap nikah dengan meminta bantuan seorang kyai pesantren sebagai wali wanita itu.

Kini M merasa benar2 ditipu oleh B. Janji untuk menikah dan membentuk keluarga yang benar2 bersih dengan niat ridha Allah SWT sepertinya hancur. Ketika M memprotes perlakuan B, hal yang dikatakan B adalah sungguh sangat menyakitkan M. B menikahi M hanya sebuah tanggung jawab dari janji saja. M bukan istri yang diinginkan. M tidak bisa memberikan kepuasan sexual kepadanya karena M jelek secara fisik. M juga tidak bisa memberikan B pekerjaan dan proyek seperti mantan istrinya dulu dan istri siri nya sekarang. B juga mengatakan pada M kalau dia akan kembali pada mantan istrinya dan B minta M jangan mengganggu urusannya. Kalau ternyata M sakit hati, silahkan kembali pada keluarga. Karena Budhi sudah merasa kalau M bukanlah pasangan yang bisa seiring dengannya dalam karir dan pekerjaan. Kalau dalam agama, memang benar kalau M lebih dari mantan istrinya dan istri sirinya. Tapi B tidak perlu agama. B perlu pekerjaan dan uang untuk membiayai kehidupan ini.
M begitu shock atas perkataan dan perlakuan B padanya. B yang sudah menjadi suaminya sangat tega mengatakan hal itu padanya.
Akhirnya M pun pulang pada keluarganya. Menunggu apa yang akan dilakukan B pada dirinya. Tapi M tidak mau bercerita pada keluarganya karena M masih berharap B akan kembali padanya dan meminta maaf atas semua perlakuannya serta akan bertaubat kembali bersama seperti janji awal.

Saya ingin bertanya... sebagai seorang istri yang shalehah, apa yang seharusnya M lakukan, Ustadz?
Ketika M menceritakan permasalahannya pada saya, yang saya sarankan adalah minta cerai dari B karena B sudah terlalu dhalim padanya.
Tapi sepertinya M berat untuk melakukannya sekarang ini. M masih sangat sayang pada B. Walaupun M marah pada B namun M saat ini belum bisa untuk melepaskan B.
M pernah bilang pada saya kalau dia ingin sekali menjadi wanita yg shalehah, istri yang shalehah, dan ibu dari anak-anak yang shalehah. M merasa ini adalah ujian dan hukuman yang Allah berikan padanya karena M dulu telah menyia-nyiakan suami yang sangat mencintai dan menyayanginya hanya karena terbujuk rayu dengan B. Namun kini  telah menjadi suaminya. Haruskah dia juga melepaskan B andaikan B menceraikannya?
Mohon penjelasan Ustadz agar M tidak lagi salah melangkah dari jalan Allah SWT.
M sekarang terus bertaubat atas semua dosa-dosanya... Saya kasihan dengan M. Dia begitu tertekan sekarang ini. Hal yang dilakukannya adalah shalat dan shalat serta berzikir, membaca Al-Qur'an... memohon ampunan pada Allah SWT... M terus menutupi diri. Saya kasihan padanya, Ustadz. M ingin berkonsultasi tapi tidak tau pada siapa yang bisa menjaga rahasia masalahnya. M tidak ingin membongkar aib suaminya karena itu juga menjadi aib baginya. Mohon jawaban dari Ustadz.
Terimakasih.

Insya Allah Ada Jalan!

Ketika kau tak sanggup melangkah
Hilang arah dalam kesendirian
Tiada mentari bagai malam yang kelam
Tiada tempat untuk berlabuh
Bertahan terus berharap Allah selalu di simu”.
"Insya Allah, Insya Allah, Insya Allah ada jalan
”.
(syair lagu Maher Zain)

Rasa yakin akan dekatnya pertolongan Allah tidaklah mudah. Sering masalah yang ada ditanggapi dengan jiwa yang frustrasi. Tak ada harapan. Seolah-olah dirinya adalah orang yang paling malang dalam kehidupan. Bagai syair lagu Hamdan ATT “Aku merasa orang termiskin di dunia//Yang penuh derita bermandikan air mata”. 

Ketika sakit , dia merasakan seolah olah tak ada orang lain yang lebih menderita selain dirinya. Ketika usaha jatuh dan dililit hutang, ia pun mengeluh betapa pedih kehidupan ini. Ketika berurusan dengan masalah hukum, Allah didakwa telah menganiaya dirinya.  Mengapa yang lain yang melakukan hal yang sama ternyata dapat selamat dari jerat hukum, lalu berteriak “Di mana keadilan?”

Bagi orang yang beriman tentu segala kesulitan ada hikmah dan maknanya. Sakit dapat menjadi penghapus dosa dan penambah pahala. Usaha bangkrut dapat menjadi penguat mental untuk bangkit untuk keberuntungan yang lebih besar. Begitu juga hukuman adalah pintu taubat agar kelak menjadi hamba yang lebih waspada dan banyak beramal.

Kita ingat ucapan dan doa Nabi Ayub saat ditimpa sakit berat yang menyedihkan, harta habis dan dihinakan, ditinggal sendirian oleh teman, kerabat, serta sanak keluarga. Istrinya pun hengkang. Beliau berkata, “Sungguh aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang” (QS AL Anbiyaa 83).

“Wa anta arhamur roohimiin” Engkau yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang !. Ini adalah kalimat yang menghidupkan cahaya lampu di kegelapan malam. Menjadi pengangkat harkat dari jurang yang dalam. Menjadi  penuntun langkah kaki yang terseok-seok dan jatuh bangun. Allah lah pemberi jalan, bukan yang lain. “Adakah yang lain yang mengabulkan permohonan orang yang ditimpa kesulitan ketika berdoa, meghilangkan keburukan, dan menjadikan kalian sebagai khalifah di bumi? Adakah Tuhan selain Allah? Sedikit sekali yang ingat” (QS An Naml 62).

Sesulit apapun yang dirasakan, prasangka kepada Allah harus tetap positif, karena Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Diawali dengan prasangka baik terhadap apa yang menimpa kita, dilanjutkan dengan kesungguhan berikhtiar di jalan-Nya, insya Allah ada jalan.

“Barangsiapa bersungguh-sungguh (berikhtiar)  dijalan Kami, maka Kami akan tunjukan jalan-jalan-Nya dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik” (QS Al Ankabuut 69).

Dari Al Fudhail bin Iyadl, syaikhul Haram Al Makki,  ia berkata ada keluarga yang terhimpit kesulitan hidup menjual alat tenun barang berharga terakhir milik mereka. Suaminya sepulang menjual barang seharga satu dirham tersebut bertemu dengan dua orang yang sedang bertengkar hebat.

Ketika ia bertanya “Ada apa?” Orang menyampaikan bahwa keduanya sedang memperebutkan uang satu dirham! Maka ia berikan uang hasil penjualan alat tenunnya. Kini ia tak memiliki apa-apa lagi. 

Sesampai di rumah dikabarkan kepada istrinya peristiwa yang terjadi. Meski kecewa tapi istrinya memahami dan bersabar. Dikumpulkan perkakas rumah tangga sederhana yang masih tersisa, lalu dibawa suaminya untuk dijual  kembali, ternyata kemana-mana tidak laku.

Kemudian ia berpapasan dengan laki-laki yang membawa ikan yang menebar bau busuk. Orang itu berkata kepadanya, “Engkau membawa sesuatu yang tak laku demikian juga dengan aku, maukah kita bertukar barang dagangan?” Lalu iya mengiyakan.

Sesampai d irumah, diminta istrinya untuk bertawakal kepada Allah dan segera memasak. “Istriku, segera masaklah ikan busuk ini, kita hampir tak berdaya karena lapar!”

Namun apa yang terjadi ketika istrinya membelah ikan tersebut, dari perutnya keluar  benda yang ternyata itu adalah mutiara. Dibawanya ke tempat kawannya seorang pedagang perhiasan, ternyata kawannya  tersebut berani membeli mutiara itu dengan harga empat puluh ribu dirham!.
 
Turn to Allah He’s never far away
Put your trust in Him, raise your hands and pray
Insya Allah we’ll find our way.....
We’ll find our way.
Insya Allah, insya Allah ada Jalan!  

(HM Rizal Fadillah)

Disiplin dalam Islam

Di antara ajaran mulia yang sangat ditekankan dalam Islam adalah disiplin. Disiplin merupakan salah satu pintu meraih kesuksesan. Kepakaran dalam bidang ilmu pengetahuan tidak akan memiliki makna signifikan tanpa disertai sikap disiplin.

Sering kita jumpai orang berilmu tinggi tetapi tidak mampu berbuat banyak dengan ilmunya, karena kurang disiplin. Sebaliknya, banyak orang yang tingkat ilmunya biasa-biasa saja tetapi justru mencapai kesuksesan luar biasa, karena sangat disiplin dalam hidupnya.

Tidak ada lembaga pendidikan yang tidak mengajarkan disiplin kepada anak didiknya. Demikian pula organisasi atau institusi apapun, lebih-lebih militer, pasti sangat menekankan disiplin kepada setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Semua pasti sepakat, rencana sehebat apapun akan gagal di tengah jalan ketika tidak ditunjang dengan disiplin. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disiplin adalah ketaatan atau kepatuhan terhadap peraturan. Ketaatan berarti kesediaan hati secara tulus untuk menepati setiap peraturan yang sudah dibuat dan disepakatibersama. Orang hidup memang bukan untuk peraturan, tetapi setiap orang pasti membutuhkan peraturan untuk memudahkan urusan hidupnya. 

Analoginya sederhana. Kita bisa perhatikan pentingnya peraturan itu dalam lampu lalu lintas. Ketaatan setiap pengendara terhadap isyarat lampu lintas jelas membuat kondisi jalan menjadi tertib dan aman. Bayangkan ketika masing-masing pengendara mengabaikan peraturan berupa isyarat lampu lalu lintas itu. Pasti kondisi jalan akan kacau, macet, dan bahkan memicu terjadinya kecelakaan.

Contoh di atas tentu bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luasTegasnya, disiplin sangat ditekankan dalam urusan dunia, dan lebih-lebih urusan akhirat. Tidak heran jika Allah memerintahkan kaum beriman untuk membiasakan disiplin. Perintah itu, antara lain, tersirat dalam Al-Quran surat Al-Jumuah ayat 9-10.

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah untukmengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumidan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” (QS Al-Jumuah: 9-10).

Menurut ayat di atas, keberuntungan akan kita raih dengan disiplin memenuhi panggilan ibadah ketika datang waktunya dan kembali bekerja ketika sudah menunaikan ibadah. Bukan hanya urusan dagang yang harus ditinggalkan ketika sudah tiba waktu shalat. Sebab, menurut para mufasir, ungkapan “Tinggalkanlah jual beli” dalam ayat itu berlaku untuk segala kesibukan selain Allah. Dengan kata lain, ketika azan berkumandang, maka kaum beriman diserukan untuk bergegas memenuhi panggilan Allah itu.

Meskipun demikian, bukan berarti kaum beriman harus terus menerus larut dalam urusan ibadah saja. Ayat di atas juga memerintahkan supaya kaum beriman segera kembali bekerja setelah menunaikan ibadah. Dengan demikian, disiplin harus dilakukan secara seimbang antara urusan akhirat dan urusan dunia. Tidak dibenarkan mementingkan yang satu sambil mengabaikan yang lain. 

Disiplin yang dilakukan secara seimbang antara urusan ibadah dan kerja, akhirat dan dunia, itulah yang akan mengantarkan kaum beriman kepada kesuksesan. Perintah untuk menyeimbangkan antara urusan akhirat dan dunia juga dapat ditemukan dalam Al-Quran surat Al-Qashash ayat 77.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan jatahmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kamu kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash: 77).

Kita juga bisa cermati ajaran disiplin dalam perintah shalat jamaah. Kewajiban shalat wajib lima waktu selama sehari semalam sangat dianjurkan untuk dikerjakan secara berjamaah. Menurut keterangan Rasulullah SAW, nilai pahala shalat wajib secara berjamaah adalah dua puluh tujuh derajat dibanding shalat sendirian. Dari sini, dapat dipahami jika sebagian ulama kemudian menghukumi shalat jamaah sebagai sunnah muakkadah, sementara sebagian ulama lain menghukuminya wajib. 

Shalat jamaah jelas membutuhkan disiplin. Karena, umumnya shalat jamaah dikerjakan bersama-sama di masjid atau langgar tidak lama setelah azan berkumandang yang diikuti dengan iqamah. Dengan demikian, jika ingin mengikuti shalat jamaah, maka kita harus segera meninggalkan kesibukan setelah mendengar azan. Shalat jamaah di masjid atau langgar itu dikerjakan tepat waktuKalau kita masih saja ruwet dengan segala tetek bengek dunia, sementara azan sudah berkumandang, dipastikan kita akan ketinggalan, atau malah tidak mendapati shalat jamaah sama sekali.

Belum lagi tradisi itikaf atau berdiam diri ketika menunggu shalat jamaah dimulai. Ditambah tradisi berzikir setelah shalat jamaah selesai. Tanpa disiplin waktu yang bagus, mustahil kita dapat melakukan semua ituMembiasakan disiplin dalam segala urusan secara seimbang itulah yang akan menjadikan hidup kita indah, tertata, dan diliputi berkah.
(M Husnaini)

Perhiasan Terbaik di Dunia adalah Istri Solihah

Dalam riwayat Imam Muslim diceritakan, “Suatu hari anak Abu Thalhah dari (ibu) Ummu Sulaim meninggal dunia. Lalu, Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, ‘Jangan kalian bercerita kepada Abu Thalhah perihal anaknya itu. Biar aku sendiri yang akan menceritakan kepadanya.”

Begitu Abu Thalhah datang dari suatu bepergian, Ummu Sulaim menghidangkan santap makan malam kepadanya. Setelah Abu Thalhah makan dan minum dengan puas, Ummu Sulaim pergi ke kamar untuk bersolek secantik mungkin. Abu Thalhah pun mempergaulinya sebagaimana pasangan suami-istri.

Setelah melihat suaminya merasa kenyang dan terpuaskan, Ummu Sulaim berkata penuh kelembutan, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana menurutmu jika ada satu kaum meminjamkan barangnya kepada suatu keluarga, misalnya, kemudian mereka meminta kembali barang yang dipinjamkan tersebut, apakah keluarga tersebut dibenarkan menolaknya?”

Abu Thalhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim berkata, “Kalau begitu tabahkanlah hatimu dengan kematian anakmu.” Mendengar hal itu, karuan saja Abu Thalhah menjadi marah, seraya berkata, “Kamu biarkan aku menikmati pelayananmu sehingga aku terpuaskan dengan layananmu. Setelah itu, baru kamu memberitahukan aku tentang anakku.”

Keesokkan harinya, Abu Thalhah pun pergi menemui Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang telah terjadi. Mendengar apa yang diceritakan Abu Thalhah, Rasulullah pun bersabda kepadanya, “Semoga Allah memberi berkah kepadamu berdua di malam yang telah kalian lewati itu.” Kemudian, Ummu Sulaim pun hamil.

Demikianlah, gambaran akan kesalihan dan kecerdasan Ummu Sulaim sebagai istri dari Abu Thalhah. Kesalihan dan kecerdasannya terlihat dari beberapa hal.

Pertama, bagaimana kesabarannya dalam menghadapi kematian anaknya. Kedua, bagaimana Ummu Sulaim lebih mementingkan keridhaan suaminya ketimbang kesedihannya.

Ketiga, bagaimana kelembutannya dalam menyampaikan berita kematian anaknya kepada suaminya. Dan, keempat, bagaimana ia berusaha tampil memesona di depan suaminya untuk melanggengkan jalinan keluarga dan kasih sayang di antara keduanya.

Dengan demikian, istri yang salihah lagi cerdas adalah istri yang selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya,  taat kepada suaminya selama tidak bertentangan dengan perintah Allah SWT, menyenangkan suaminya ketika ia dipandang olehnya, menjaga diri dan harta suaminya bila suaminya pergi, dan berpikir, bertutur, serta bersikap cerdas.

Sebagai seorang Muslimah dan istri, kisah di atas harus menjadi renungan dan keteladanan agar menjadi istri yang salihah lagi cerdas. Sebab, kisah di atas mengandung teladan yang realistis bagi kaum Muslimah dan istri yang salihah tentang kecerdasan yang tinggi dan akalnya yang cemerlang.

Ketika seorang Muslimah mampu menjadi istri salihah lagi cerdas ,akan menjadikan dirinya mendapatkan keridhaan Allah SWT, Rasul-Nya, dan keridhaan dari suaminya. Semua itu akan mengantarkannya meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat serta kelak dimasukkan ke surga.

Untuk itu, teladanilah kisah di atas dan pelajarilah terus bagaimana menjadi istri yang salihah lagi cerdas. Berusahalah untuk mempraktikkannya serta bermohonlah kepada Allah SWT agar diberi kemampuan untuk menjadi istri yang salihah serta memiliki kecerdasan.
(Moch Hisyam)

Apa Hukum Islam Untuk Pengamen?

Pertanyaan:
Assalamualaikum pak ustadz...
Nama saya Hatta. Saya mau tanya ma pak ustadz,
masalah hukum uang hasil ngamen?
apakah halal atau haram? 
trma ksih pak ustad.
Wassalam.wr.wb
(Hatta, Palembang 081927735xxx


Jawab:
Waalaikumsalam Wr Wb
Mari kita simak hadits berikut,
Qabishah bin Mukhariq al- Hilali Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:
(1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti,
(2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan
(3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.

Mengamen, "menurut saya pribadi" bisa digolongkan dengan meminta, beda kemasan dengan tujuan sama yaitu mendapatkan uang/sesuatu yang bermanfaat untuk penghidupan,
Nah apakah sampean masuk golongan seperti hadits di atas yang memungkinkan untuk dianggap "boleh" meminta? kalau iya silahkan, tapi kalau tidak termasuk 3 poin di atas sebaiknya jangan.
Masukan saya buat sampean: monggo, ngamennya dilanjutkan dulu "selagi" belum ada pekerjaan lain untuk penghidupan, bila sekiranya sudah ada pekerjaan lain monggo ditinggalkan, atau silahkan ngamen untuk mengumpulkan modal buat usaha, setelah terkumpul modal silahkan buka usaha, tidak harus besar khan.
Tidak ada yang salah dengan pengamen, tapi kalau sampean merasa masih kuat fisik untuk bekerja yang lain ikhlaskan rizki dibidang "minta-meminta" buat orang yang lebih layak seperti fakir miskin, anak yatim piatu, orang cacat fisik & mental. Bila kurang jelas mari kita bahas lewat sms, suwun...
Wassalamualaikum Wr Wb




Tanya Jawab Diasuh Oleh:
Dimas Cokro Pamungkas S.pd (Gus Dimas)
Ketua Qurrota A'yun Psychology Consultant
Ketua Pencak Silat NU Pagar Nusa Gudo Jombang (Peguron Sapujagad)

Bila ada pertanyaan silahkan dismskan ke nomor 081559551234 atau ke email dimascokropamungkas@gmail.com, bisa juga inbox di Facebook akun: Gus Dimas (Dimas Cokro Pamungkas) tolong disertakan biodata Anda (minimal nama dan kota tinggal) terimakasih, semoga belajar bersama ini bisa membawa manfaat bagi kita semua, Aamiin...

Apakah Wajib Mengeraskan Bacaan ’Basmalah’ dalam Shalat Berjamaah?

Bagaimana hukum membaca basmalah atau lafadz
ِﻪﻠﻟﺍ ِﻢْﺴِﺑ ِﻦﻤْﺣَّﺮﻟﺍ ِﻢْﻴِﺣَّﺮﻟﺍ
dalam Surat al-Fatihah ketika shalat? Dan kalau wajib,
apakah harus dikeraskan bacaannya? Sebelum
menjawab pertanyaan ini akan dibahas mengenai status
surat al-Fatihah dalam shalat.
Membaca Surat al-Fatihah merupakan rukun shalat,
baik dalam shalat fardhu maupun shalat sunnah. Hal
ini didasarkan pada Hadits Nabi SAW berikut ini:
ْﻦَﻋ َﺓَﺩﺎَﺒُﻋ ٍﺖِﻣﺎَﺻ ِﻦْﺑ ِﻪِﺑ ُﻎُﻠْﺒَﻳ ُﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﺎَﻟ َﻢَّﻠَﺳَﻭ
َﺓﺎَﻠَﺻ ْﻦَﻤِﻟ ْﺃَﺮْﻘَﻳ ْﻢَﻟ ِﺔَﺤِﺗﺎَﻔِﺑ ِﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ
Dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi SAW menyampaikan
padanya bahwa tidak sah shalatnya orang yang tidak
membaca suratt al-Fatihah . (HR Muslim)
Sementara basmalah merupakan ayat dari Surat al-
Fatihah. Maka tidak sah jika seseorang shalat tanpa
membaca basmalah berdasarkan dengan firman Allah
SWT :
ْﺪَﻘَﻟَﻭ َﻦِّﻣ ًﺎﻌْﺒَﺳ َﻙﺎَﻨْﻴَﺗﺁ ﻲِﻧﺎَﺜَﻤْﻟﺍ َﻢﻴِﻈَﻌْﻟﺍ َﻥﺁْﺮُﻘْﻟﺍَﻭ
Dan sungguh Kami telah berikan kepadamu (Nabi
Muhammad) tujuh ayat yang berulang-ulang dan Al-
Qur’an yang agung . (QS al-Hijr: 87)
Yang dimaksud dengan ”tujuh ayat yang berulang-
ulang”' adalah Surat al-Fatihah. Karena al-Fatihah itu
terdiri dari ayat yang dibaca secara berulang-ulang
pada tiap-tiap raka'at shalat. Dan ayat yang pertama
adalah basmalah. Dalam sebuah hadits disebutkan:
ْﻦَﻋ :َﻝﺎَﻗ َﺓَﺮْﻳَﺮُﻫ ْﻲِﺑَﺃ ِﻪﻠﻟﺍ ُﻝْﻮُﺳَﺭ َﻝﺎَﻗ ُﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ :َﻢَّﻠَﺳَﻭ ِﻪْﻴَﻠَﻋ
ُﺪْﻤَﺤْﻟﺍ ِّﺏَﺭ ِﻪّﻠﻟ َﻦﻴِﻤَﻟﺎَﻌْﻟﺍ ُّﻡُﺃ ِﻥﺁْﺮُﻘْﻟﺍ َﻭ ِﺏﺎَﺘِﻜْﻟﺍ ُّﻡُﺃ ُﻊْﺒَّﺴﻟﺍَﻭ ِﻥﺎَﺜَﻤْﻟﺍ
Dari Abu Hurairah beliau berkata, Rasalullah SAW
bersabda, ”alhamdu lillahi rabbil 'alamin” merupakan
induk Al-Qur’an, pokoknya al-Kitab, serta Surat as-
Sab'ul Matsani. (HR Abu Dawud)
Berdasarkan dalil ini, Imam Syafi'i RA mengatakan
bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat yang
tujuh dalam surat al-Fatihah. Jika ditinggalkan, baik
seluruhnya maupun sebagian, maka raka' at shalatnya
tidak sah.
ِﻪﻠﻟﺍ ِﻢْﺴِﺑ  ُّﻲِﻌِﻓﺎَّﺸﻟﺍ َﻝﺎَﻗ ِﻦﻤْﺣَّﺮﻟﺍ ُﺕﺎَﻳﻵﺍ ِﻢْﻴِﺣَّﺮﻟﺍ ْﻥِﺈَﻓ ُﺔَﻌِﺑﺎَّﺴﻟﺍ
ْﻭَﺃ ﺎَﻬَﻛَﺮَﺗ ﺎَﻬَﻀْﻌَﺑ ْﻢَﻟ ُﺔَﻌْﻛَّﺮﻟﺍ ِﻩِﺰْﺠُﺗ ﺎَﻬَﻛَﺮَﺗ ْﻲِﺘَّﻟﺍ ﺎَﻬْﻴِﻓ
Imam Syafi'f RA mengatakan bahwa basmalah
merupakan tujuh ayat dari surat al-Fatiﺍah. Apabila
ditinggalkan atau tidak dibaca sebagian ayatnya, maka
raka'atnya tidak cukup . (Al-Umm , juz I, haL 129)
Karena merupakan bagian dari surat al-Fatihah, maka
basmalah ini juga dianjurkan untuk dikeraskan ketika
seseorang membaca al-Fatihah dalam shalatnya, sesuai
dengan Hadits Nabi SAW:
ْﻦَﻋ َﺓَﺮْﻳَﺮُﻫ ْﻲِﺑَﺃ ُﻪﻠﻟﺍ َﻲِﺿَﺭ َﻝﺎَﻗ  ُﻪْﻨَﻋ ﻰَّﻠَﺻ َّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ َّﻥَﺃ ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪﻠﻟﺍ
َﻢَّﻠَﺳَﻭ ُﺮَﻬْﺠَﻳ َﻥﺎَﻛ ِﺔَﻠَﻤْﺴَﺒْﻟﺎِﺑ
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW (selalu)
mengeraskan suaranya ketika membaca basmalah
(dalam shalat) . (HR Bukhari)
Menjelaskan hadits ini, 'Ali Nayif Biqa'i dalam tahqiq
kitab Idza Shahha al-Hadits Fahuwa Madzhabi karangan
Syeikh as-Subki menjelaskan:
"Ibn Khuzaimah berkata dalam kitab Mushannaf-nya
menyatakan, pendapat yang menyatakan sunnah
mengeraskan basmalah merupakan pendapat yang
benar. Ada hadits dari Nabi SAW dengan sanad yang
muttashil (urutan perawi hadfts yang sampai langsung
kepada Nabi Muhanzmad SAW), tidak diragukan, serta
tidak ada keraguan dari para ahli hadfts tentang shahih
serta muttashil-nya sanad hadfts ini. Lalu Ibn
Khuzaimah berkata, telah jelas dan telah terbukti
bahwa Nabi SAW (dalam hadits tersebut) mengeraskan
bacaan basmalah dalam shalat.” (Ma’na Qawl al-Imam
al-Muththalibi Izda Shahha al-Hadits Fahuwa Madzhabi,
hal 161)
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa basmalah
merupakan sebagian surat dari al-Fatihah, sehingga
harus dibaca manakala membaca al-Fatihah dalam
shalat. Dan juga basmalah disunnahkan untuk
dikeraskan dalam shalat jahriyyah atau shalat yang
disunnahkan untuk mengeraskan suara yakni maghrib,
isya’ dan subuh dan beberapa shalat sunnah berjamaah
yang dikerjakan pada malam hari.
Sunnah artinya lebih utama dikerjakan tapi tidak
sampai pada hukum wajib. Kesunnahan mengeraskan
bacaan basmalah ini sebagaimana sunnahnya
mengeraskan keseluruhan al-Fatihah dalam shalat
jahriyyah tersebut.
(KH Muhyiddin Abdusshomad)

Tiga Tingkatan Shalat Sunnah

Seperti diketahui bahwa selain fardhu lima waktu, ada
beberapa shalat tambahan yang sering disebut dengan
shlat nawafil yang dalam bahasa indonesia bisa
diterjemahkan sebagai shalat tambahan. Jika
diperhatikan secara sekasama ternyata shalat nawafil
ini ada beberapa tingkatan pertama sunnah, kedua
mustahab, ketiga tathawwu’ .
Meskipun ketiganya sering dikategorikan sebagai shalat
sunnah, tetapi pada hakekatnya memiliki perbedaan.
Dalam kitab Asrarus Shalat min Rub’il Ibadat, Imam
Ghazali menerangkan bahwa yang dimaksud dengan
shalat sunnah adalah shalat yang dinukil secara
langsung dari Rasulullah saw yang mana beliau
melakukannya secara terus menerus. Misalnya shalat
rawatib yang mengiringi shalat fardhu (shalat sunnah
qabliyah dan shalat sunnah ba’diya h), shalat dhuha,
shalat tahajjud, shalat witir dan sebagainya.
Adapun yang dimaksud dengan shalat mustahab adalah
shalat yang keutamaannya dijelaskan dalam hadits,
tetapi tidak ada keterangan bahwa Rasulullah saw
melaksanakannya secara terus menerus. Seperti shalat
sebelum keluar dari rumah, shalat setelah datang dari
bepergian, shalat pada beberpa malam dan hari
tertentu (shalat sunnah malam ahad, shalat sunnah
hari senin) dan lain sebagainya.
Sedangkan keterangan tentang shalat tathawwu’, adalah
shalat selain itu semua yaitu shalat yang tidak ada
keterangan dalam hadits maupun atsar. Tetapi seorang
hamba melakukannya sebagai munajat kepada Allah
swt. Begitulah yang dilakukan oleh seorang hamba yang
ingin mendekatkan diri kepada Allah secara tulus ikhlas
menyerahkan diri (tabarru’).
Ketiga kategori ini adalah ungkapan teoritis yang
menurut Imam Ghazali tidaklah berpengaruh bila
terjadi kesalahan penyebutan karena yang terpenting
adalah pemahamannya. ( Ulil H )

Tanggungjawab Pemimpin

Suatu hari, usai mengurus pemakaman jenazah Sulaiman
bin Abdul Malik, sang khalifah Umar bin Abdul Aziz
pulang ke rumah untuk istirahat sejenak. Tiba-tiba Abdul
Malik bin Umar, putra sang khalifah, menghampirinya.
Ia bertanya, “ Wahai Amirul Mukminin, apakah gerangan
yang mendorong Anda membaringkan diri di siang hari
seperti ini ?” Umar bin Abdul Aziz tersentak campur kaget
tatkala sang putra memanggilnya dengan sebutan Amirul
Mukminin, bukan ayah, sebagaimana biasanya.
Ini isyarat, putranya tengah meminta
pertanggungjawaban ayahnya sebagai pemimpin negara,
bukan sebagai kepala keluarga. Umar menjawab
pertanyaan putranya, “ Aku letih dan butuh istirahat
sejenak. ”
“ Pantaskah engkau beristirahat, padahal masih banyak
rakyat yang teraniaya ?” kata sang anak dengan bijak.
“ Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu.
Nanti usai Zhuhur aku akan mengembalikan hak-hak
orang yang teraniaya, ” jawab Umar.
“ Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang dapat menjamin
Anda hidup sampai Zhuhur jika Allah menakdirkanmu
mati sekarang? ” kata Abdul Malik. Mendengar ucapan
anaknya itu, Umar bin Abdul Aziz semakin terperangah.
Lalu, ia memerintahkan anaknya untuk mendekat,
diciumlah anak itu sembari berkata, “ Segala puji bagi
Allah yang telah mengaruniakan kepadaku anak yang
telah membuatku menegakkan agama.”
Selanjutnya, ia perintahkan juru bicaranya untuk
mengumumkan kepada seluruh rakyat, “ Barang siapa
yang merasa terzalimi, hendaknya mengadukan nasibnya
kepada khalifah.”
Subhanallah. Kisah di atas memberikan pelajaran (ibrah)
berharga kepada kita dan para pemimpin di negeri ini
setiap pemimpin di level manapun akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya di hadapan
manusia (di dunia) dan di hadapan Allah kelak (di
akhirat).
Rasulullah SAW menegaskan, “ Setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Pemimpin negara yang berkuasa atas
manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Seorang lelaki/suami adalah
pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Wanita/istri adalah pemimpin
terhadap keluarga suaminya dan anak suaminya dan ia
akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah
pemimpin terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya
tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah
pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang
kepemimpinannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Yang pasti, seorang pemimpin tidak akan dapat
menghindarkan diri dari tanggung jawab atas
kepemimpinannya. Boleh jadi seorang pemimpin dapat
berkelit dari pertanggungjawaban di dunia. Namun, ia
tidak akan dapat berlari dari pertanggungjawaban
(pengadilan) di akhirat kelak.
( Imam Nur Suharno)

Merendahkan Perempuan

Banyak ayat dan hadis yang menjelaskan kaum
perempuan memiliki kedudukan yang mulia dalam
kehidupan umat manusia. Dalam Alquran terdapat surah
an-Nisa /surah perempuan yang sebagian besar isinya
menggambarkan tentang kedudukan keluarga.
Artinya, ini isyarat pemeran utama dalam membangun
keluarga adalah kaum perempuan atau ibu. Anak dan
keturunan yang saleh dan salihah pada umumnya adalah
hasil dari belaian dan didikan ibunya. Al-uum al-
madrasatul uula (ibu adalah sekolah pertama).
Karena itu, penghormatan kepada ibu melebihi
penghormatan kepada bapak. Meskipun, memang
keduanya harus dihormati dan disayangi. Apalagi, ketika
keduanya sudah memasuki usia tua atau uzur. Terkait hal
ini, Allah SWT berfirman dalam surah al-Israa ayat 23-24.
“ Dan, Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-
kali janganlah kami mengatakan kepada keduanya
perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentah mereka
serta ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Dan, rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. ’”
Dalam tata cara berpakaian, perempuan diperintahkan
menutup aurat. Ini bagian dari penghormatan dan
penghargaan Islam terhadap mereka. Sekaligus, mereka
akan merasa terjaga dan terpelihara kehormatan dirinya.
Perempuan yang berusaha menutup auratnya, di samping
melaksanakan perintah agama, menghormati dirinya,
juga memperlihatkan identitas dirinya sebagai Muslimah.
Dalam surah al-Ahzab ayat 59, Allah menegaskan hal
tersebut.
“ Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal
karena itu mereka tak diganggu. Dan, Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. ’”
Berbeda dengan paham dan sikap dari golongan
materialis dan sekuleris. Dengan mengatasnamakan
kebebasan, kemerdekaan, dan hak asasi dinyatakan tak
ada keharusan bagi perempuan menjaga kehormatan
dirinya. Apalagi, menutup aurat.
Menutup aurat, bagi mereka, mengekang kebebasan
berekspresi bagi perempuan dan menghambat aktualisasi
diri. Karena itu, apa yang akan dilakukan sekelompok
orang dengan menyelenggarakan Miss World di Indonesia
yang mayoritas Muslim, dianggap sah-sah saja oleh
mereka.
Padahal, ini cerminan dari perilaku yang merendahkan
martabat perempuan. Ini juga menjatuhkan derajat
mereka ke derajat yang paling rendah. Kegiatan ini, jika
betul-betul dilaksanakan, hanyalah akan mengundang
amarah dan kutukan dari Allah SWT.
Allah berfirman dalam surah al-A’raf ayat 96, “ Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah
dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-
ayat Kami) itu maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.’” Wallahu a’lam.
( KH Didin Hafidhuddin)

Mengapa Harus Lari?

Khalifah Umar bin Khattab memiliki postur tinggi besar
dan berwibawa. Suatu ketika berjalan melewati anak-anak
yang sedang bermain di jalan. Melihat kedatangan
Khalifah Umar mereka lari ketakutan kecuali Abdullah bin
Zubair yang tetap berdiri tanpa takut sedikitpun, bahkan
ia menatap wajah Umar.
Umar Bin Khattab melihat anak ini berbeda dengan
teman seusianya dan mengagumi sikapnya, lalu bertanya:
“ Mengapa engkau tidak lari bersama teman-temanmu?”
Abdullah bin Zubair kecil tanpa segan menjawab dengan
lantang: “Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak melakukan
kejahatan apa pun mengapa harus lari? Jalan ini tidak
sempit, mengapa aku harus menyingkir memberi jalan
untukmu?”
Luar biasa ketegaran dan keberanian anak ini. Ia putra
tokoh Islam Zubair bin Awwam dan Asma yang telah
membentuk karakter cerdas dan ksatria yang penting
untuk kehidupannya di kemudian hari.
Menurut Aisyah ketika anak itu masih bayi, Rasulullah
SAW mengusap anak tersebut dan memberi nama
Abdullah. Ketika berusia tujuh atau delapan tahun
Abdullah datang kepada Nabi untuk berbaiat. Rasulullah
SAW tersenyum  saat melihat anak itu menghadap.
Kemudian dia membaiat Nabi (HR Muslim).
“Mengapa harus lari?” pertanyaan yang  sekaligus menjadi
jawaban bahwa dengan tidak lari dan menghindarpun toh
akan selamat. Hanya orang yang berdosa dan melakukan
kejahatanlah yang pantas untuk takut dan lari.
Memang kadang aneh, orang yang menyimpang dan
melakukan kejahatan kadang berani menghadang
tantangan dan risiko, padahal mereka berada di jalan
yang tak selamat. Sementara itu orang yang benar dan
jujur justru sebaliknya malah jadi penakut. Disinilah
Abdullah bin Zubair memberi pelajaran.
Pendidikan karakter itu harus sejak dini. Yahya As kecil
mendapat pendidikan dari Allah untuk dapat
menyelamatkan kehidupannya sendiri. Keselamatan yang
hakiki.
“Wahai Yahya ambilah Kitab dengan sungguh-sungguh.
Dan Kami berikan hikmah kepadanya sejak anak-anak.
Dan (Kami jadikan) rasa kasih sayang (kepada sesama),
kesucian dan ketakwaan. Dan sangat berbakti kepada
orangtua, tidak sombong dalam pergaulan dan tak
durhaka. Keselamatan bagi dirinya saat dilahirkan,
dimatikan, dan saat dibangkitkan” (QS Maryam 12-15).
Ada empat hal penting pendidikan karakter Allah SWT
kepada Yahya. Pertama dasar dari nilai adalah Kitab
karena celupan (sibghah) dari kepribadian yang mantap,
kuat, dan berani adalah Kitab Allah. Kedua, terbangun
kualitas intelektual yang baik dengan ilmu pengetahuan
yang luas dan memahami hikmah dari  berbagai sinyal
Allah.
Ketiga, hati yang bersih dan memiliki kepekaan
emosional serta empati yang tinggi terhadap berbagai
penderitaan sesama. Dan keempat, berbuat baik kepada
orang tua dan pergaulan sosial yang bagus dan tidak
sombong.
Keempat aspek di atas telah membuat Yahya muda  tidak
pernah lari dari medan juang dan tidak pernah merasa
sempit jalan walaupun mesti berhadapan dengan
berbagai bentuk kezaliman penguasa dan kaumnya. Ia
tegar menuntaskan misi kenabiannya.
Ketika kecil kita suka mendengar kisah sikap jika dikejar
oleh seekor anjing. Jika kita lari terus saat anjing
mengejar kita, maka anjing itu akan semakin kencang
mengejar dan mungkin cepat untuk menggigit. Dikatakan
kita harus segera diam, berjongkok seperti sedang
mencari batu untuk melemparnya. Niscaya anjing itu
akan berhenti mengejar. Meski hal itu tergantung pada
keadaannya, namun mungkin ada benarnya. Anjing akan
berhenti jika dia tahu sasarannya melawan dan berani.
Di tengah arus zaman yang keras seperti sekarang
dimana kemaksiatan mengepung diri dan anak-anak kita,
nilai-nilai moral mulai tergerus oleh budaya barat yang
hedonis, kerakusan yang memangsa korban siapa saja
termasuk saudara dan anggota keluarga sendiri, mistik-
mistik yang berkembang membarengi jiwa frustrasi yang
tidak mampu berkompetisi, maka tidak ada jalan lain
selain dengan gigih kita harus menanamkan jiwa
perlawanan, keberanian, dan harga diri pada anak anak
dan pelanjut generasi.
Membesarkan jiwa  mereka untuk mencapai keberhasilan
di masa depan. Memberi gambaran bahwa lapangan
kehidupan itu luas dengan rezeki yang Allah tebarkan
dimana-mana. Jalan itu tidak sempit anakku, mengapa
harus menyingkir? Sepanjang engkau tidak melakukan
kejahatan apapun, mengapa harus lari?
( HM Rizal Fadillah)

Dai dan Ustadz Bertarif

LPada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang Prof
Dr H Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di
sebuah
koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang.
Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan
mengkritisi para dai yang prilaku kesehariannya
bertentangan dengan
materi dakwah yang ia sampaikan. Sebagai sebuah
nasehat, semoga Allah SWT telah memberikan pahala
kepada beliau.
Namun fenomena dai berbulu musang pada masa
berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih parah
daripada
sekadar dai berbulu musang.
Muncul oknum dai yang berani memungut imbalan alias
upah dari masyarakat yang didakwahinya. Alias Dai
Walakedu (jual ayat kejar duit).
Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin ,
organisasi para dai yang dipimpin shahibul fadhiilah KH
Syukron Ma’mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam
musyawarah nasional (Munasnya yang ke-4), yang dihadiri
350 peserta, para ulama dan dai seluruh Indonesia
merumuskan enam butir kode etik dakwah.
Diantara kode etik dakwah itu, dai tidak boleh memungut
imbalan dari masyarakat yang didakwahi. Apa yang
dirumuskan Munas Ittihadul Muballigin mendapat
apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu
Dr Tarmizi Taher.
Kendati demikian, fenomena dai berbulu musang
maupun dai yang memungut imbalan tidaklah surut
jumlahnya, bahkan belakangan jauh lebih parah, karena
berkembangnya dai-dai yang masang tarif dalam
berdakwah.
Kami sungguh sangat kenyang menerima pengaduan
masyarakat tentang kekecewaan mereka terhadap oknum-
oknum dai yang memasang tarif dalam berdakwah.
Banyak masyarakat yang gagal mendatangkan seorang dai
karena setelah tawar menawar seperti layaknya
berdagang sapi mereka tidak mampu membayar tarif
yang diminta dai yang bersangkutan.
Masyarakat juga banyak yang bertanya kepada kami, apa
hukumnya memasang tarif dalam berdakwah dan
memberikan uang sebesar itu kepada dai bertarif.
Dalam kajian fiqh memang ada tiga pendapat yang
berkembang, yang pertama: pendapat yang
mengharamkan secara mutlak, baik ada perjanjian
sebelumnnya maupun tidak, pendapat ini memiliki dalil-
dalil yang kuat baik dari al-Qur’an maupun Hadis.
Pendapat kedua yang membolehkan  berdakwah dengan
memungut imbalan, pendapat ini berlandaskan kepada
Hadis riwayat Imam Bukhori, Rasulullah SAW bersabda,
“ Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya
adalah al-Qur’an. ”
Dalil ini memang kuat, namun penggunaan (Istidlal )
hadis ini untuk membolehkan memungut imbalan dalam
berdakwah sangat lemah, karena berdasarkan sabab
wurud hadis ini, hadis ini tidak berkaitan dengan
berdakwah melainkan berkaitan dengan mengobati orang
yang sakit dengan pengobatan Ruqyah (membacakan
surah al-Fatihah).
Sementara pendapat ketiga, dan inilah yang diambil oleh
Munas ke-4 Ittihadul Muballigin tahun 1996 adalah
pendapat yang mengatakan, apabila ada perjanjian
sebelumnya seorang dai akan menerima upah dalam
dakwahnya hal itu tidak dibolehkan. Sedangkan apabila
tidak ada perjanjian apa-apa kemudian dai diberi uang
saku, hal itu dibolehkan.
Dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya
shalat dan puasa, kendati tidak menjadi rukun Islam.
Surah al-Baqarah ayat 159 mengancam orang-orang yang
tidak mau berdakwah, mereka akan dilaknat Allah SWT
dan para makhluk yang melaknat.
Orang yang tidak mau berdakwah kecuali diberi imbalan
sama artinya dia tidak mau berdakwah kalau tidak ada
imbalan. Fenomena memungut imbalan ini belakangan
sungguh sangat memprihatinkan karena banyak dai yang
dalam dakwahnya memakai cara berdagang sapi dengan
tawar menawar, perjam, pertitik dan sebagainya.
Sepanjang pengamatan kami, tarif termahal dalam
berdakwah ini adalah Rp 100 juta satu kali ceramah (satu
titik) dan yang paling murah adalah Rp 10 juta.
Wajar bila masyarakat mengeluh terhadap fenomena
pasang tarif ini, karena uang yang mereka kumpulkan
adalah uang sumbangan dari orang-orang miskin yang
mengumpulkan dengan memeras keringat kemudian
dirampok begitu saja oleh oknum dai berbulu musang
itu.
Dai seyogianya adalah orang yang memecahkan masalah
umat bukan orang yang membuat masalah bagi umat. Dai
adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang
yang membebani umat.
Dai-dai yang kepingin cepat kaya lebih baik berdagang
sapi saja, karena terbukti banyak orang yang berdagang
sapi mendapatkan uang ratusan milyar rupiah, mobil pun
banyak dan istri pun berderet-deret.
Bersyukurlah dai yang dibuka aibnya oleh Allah SWT di
dunia karena ia masih punya kesempatan untuk
bertaubat.
Dan celakalah dai ketika aibnya dibuka oleh Allah SWT di
akhirat karena dia tidak punya kesempatan lagi untuk
bertaubat.
(Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA)

Do'akan

Di antara pahala yang besar sekali adalah mendoakan
pimpinan kita, pemerintahan kita. Bayangkan, jika mereka
berhasil membuat keputusan yang menyejahterakan
masyarakatnya, itu menjadi pahala tambahan bagi kita.
Koq pahala tambahan? Ya, sebab doa tidak dikabulkan
saja, sudah merupakan pahala. Sudah merupakan
kebaikan.
Makin panjang doanya, makin banyak permintaannya,
makin panjang dan banyak pahalanya, banyak
kebaikannya.
Apalagi ini bukan doa untuk diri sendiri. Melainkan doa
untuk orang lain. Dan orang lain yang didoakan adalah
pimpinan kita, pemerintahan kita.
Dengan prinsip dasar semua yang didoakan buat orang
lain, lalu kembali itu doa kepada kita, maka mendoakan
pimpinan, pemerintahan, tentu berganda-ganda
pahalanya, berganda-ganda kebaikannya.
Jika dengan doa kita, rakyat Indonesia, buat beliau-
beliau, bisa membuat dengan izin Allah mereka lurus,
terhindar dari maksiat, terhindar dari korupsi, terhindar
dari urusan perempuan (baca: perzinahan ), terhindar
dari urusan rizki dan perilaku haram, sehingga mereka
selamat dalam memimpin, selamat dalam tugas dan
pengabdian, tentu ini pun akan menjadi tambahan betul
pahala dan kebaikan bagi kita.
Kita sering mengeluh tentang keadaan pimpinan kita,
pemerintahan kita. Namun sudahkah kita mendoakan
mereka?
Mereka layak dikasihani. Layak didoakan. Tentu butuh
keikhlasan untuk percaya kepada mereka yang saat ini
memimpin dan memerintah. Dan keikhlasan juga buat
mendoakan.
Sebab banyak orang beranggapan, masak orang sudah
jelas-jelas jahat, banyak dosa, banyak salah, korup, mesti
didoakan? Ada aroma ketidakikhlasan. Jangan begitu
sebaiknya.
Pertama, kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Kita hanya bisa mendengar, tidak Mahamendengar. Kita
hanya melihat, bukan Mahamelihat. Sehingga apa yang
kita dengar, apa yang kita lihat, semuanya belum tentu.
Daripada timbul buruk sangka yang malah akhirnya
negatif total, lebih baik ambil sikap mendoakan mereka.
Doanya apa? Ya, doakan supaya mereka tidak jahat dalam
memimpin dan memerintah negeri ini, daerah-
daerahnya, kota-kotanya.
Tidak rakus, tidak serakah, banyak rizki, sehat badan,
banyak ditolong dan diampuni Allah, bersih rizkinya,
lurus perilakunya, panjang umurnya, dapat hidayah,
dapat taufik, dapat kemuliaan dan kehormatan serta rizki
dari
sisi Allah saja yang abadi, yang lebih menentramkan, dan
seterusnya.
Tambahan doa untuk kesehatan mereka. Kalau mereka
sehat, pahala balik ke kita sudah bakal banyak banget.
Dan saya menyenangi mendoakan orang lain. Sebab doa
itu benar-benar balik ke kita juga. Baik secara pahalanya,
juga secara kebaikannya.
Bayangkan jika mereka bisa menghasilkan keputusan yang
bisa menyelamatkan aset negeri ini, kekayaan negeri ini,
dari tangan mereka yang serakah? Subhaanallaah.
(Ustaz Yusuf Mansur)

Rindu Pemimpin Asketis

Suatu hari Rasulullah SAW tengah tidur beralaskan
pelepah kurma. Sehingga bekasnya terlihat di badan
beliau. Sahabat Umar bin Khathab datang
mengunjunginya. Ketika Umar melihat keadaan Nabi SAW
demikian Umar menangis.
Kemudian Rasulullah bangun, “Mengapa engkau
menangis?” Tanya Rasulullah SAW kepada Umar bin
Khathab.
“Aku ingat kaisar dan kekuasaannya, sedangkan engkau
adalah utusan Tuhan. Tetapi engkau hanya tidur
beralaskan tikar.” jawab Umar sembari menangis.
“Apa engkau tidak ridha jika mereka memiliki dunia,
sedangkan kita memiliki akhirat,” sabda Rasulullah SAW
tegas.
Maka turunlah ayat ke-20 surat Alinsan, “Dan apabila
engkau melihat keadaan di sana (surga), niscaya engkau
akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan
yang besar.”
Suatu ketika sepulang dari medan peperangan. Rasulullah
dan para sahabatnya, disambut bahagia oleh kaum
muslim di Madinah. Seorang penjual air hendak
menyalami tangan Rasulullah, tapi Nabi SAW
menolaknya. Jusru Nabi sendiri yang mengambil
tangannya. Saat bersentuhan, Nabi merasakan hal aneh
pada tangannya. Lalu Nabi SAW melihat tangannya
sangat kasar sekali.
“Kenapa tanganmu kasar sekali?” Tanya Nabi Muhammad.
“Pekerjaan saya membelah batu setiap hari, wahai
Rasulullah,” jawabnya. “ Lalu pecahan batu itu saya jual
ke pasar dan uangnya saya gunakan untuk menafkahi
keluarga,” sambungnya.
Kemudian Rasulullah mencium tangan penjual air itu
sembari berkata,” inilah tangan yang tak akan pernah
disentuh api neraka selama-lamanya.”
Melihat kisah di atas yang mencerminkan kesederhanaan
dan kecintaan Nabi Muhammad SAW kepada rakyatnya,
kita ingin menangis seperti sahabat Umar bin Khathab.
Menangis karena haru dan rindu. Haru, karena sangat
langka manusia seperti beliau di permukaan bumi ini.
Padahal beliau adalah kepala negara dan utusan Tuhan.
Sebagai kepala negara tentunya beliau bisa hidup
bergelimangan harta.
Rindu, karena kita berharap ada pemimpin, pejabat dan
politisi di negeri ini menjadikan Rasulullah sebagai
teladan. Pemimpin yang hidupnya asketis, yakni yang
mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, kerelaan
berkorban, tidak menumpuk kekayaan, serta pemimpin
yang merasakan penderitaan, beban dan kesulitan
rakyatnya.
Kita rindu pemimpin yang menegakan hukum tanpa
pandang bulu. Pejabat yang adil dan bijaksana.
Hubungan pemimpin dengan rakyatnya harusnya seperti
diilustrasikan Rasulullah, sebagai pengembala ternak
yang setiap saat harus melindungi gembalaanya.
“Setiap kalian adalah pengembala (pemimpin), dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
pengembalaannya (kepemimpinannya),” seru Nabi SAW.
(HR Bukhori, Muslim)
Di Indonesia, keserakahan para pejabat merajalela.
Praktik KKN dan suap marak. Para pejabat tanpa merasa
malu melakukan korupsi miliaran rupiah, memanipulasi
dan membohongi rakyat. Uang rakyat yang dikumpulkan
rakyat untuk membangun Negara, malah dirampok wakil
rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya.
Ironinya, perilaku borok tersebut justru dilakukan oknum
berpendidikan tinggi. Sungguh terlalu!
Dengan petikan kisah di atas, kita dapat mengambil
hikmahnya dan berharap para pemimpin negeri ini, dan
para wakil rakyat baik di tingkat pusat hingga daerah,
menjadi pemimpin asketis, serta menjadikan Rasulullah
sebagai teladan. Aamiin.
(Kusnandar SThI)

Melacak Sejarah Hukum Waris

Jauh sebelum Islam datang, peradaban manusia telah
mengenal sistem pembagian waris. Pada zaman Jahiliyah,
misalnya, bangsa Arab sudah menerapkan pembagian
waris yang amat merugikan kaum wanita. Saat itu, yang
berhak mendapatkan hak waris dari orang yang
meninggal dunia hanyalah kaum Adam.
Tak semua laki-laki bisa memperoleh harta warisan.
‘’Yang boleh mewaris hanyalah laki-laki dewasa yang telah
mahir naik kuda dan memanggul senjata ke medan
perang serta memboyong harta ganimah (rampasan
perang),’’ ungkap Dr Moch Dja’far dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam.
Menurut Dja’far, asalkan memenuhi syarat mampu
berperang, seorang lelaki dewasa tak peduli masuk
kategori nasab, anak angkat, kategori sumpah, dan
bahkan lahir di luar nikahpun dapat mewarisi.
Dalam tradisi Arab Jahiliyah, faktor-faktor yang
memungkinkan seseorang bisa menjadi ahli waris antara
lain: pertama, nasab atau kerabat dengan syarat. Kedua,
anak angkat dengan syarat. Ketiga, sumpah setia antara
dua orang yang bukan kerabat dengan kata-kata.
Pembagian sistem waris pada zaman itu cenderung
diskriminatif. Betapa tidak. Anak laki-laki yang belum
dewasa dan tidak ikut berperan dinyatakan tak berhak
mendapatkan hak waris. Begitu juga dengan kaum
perempuan, mereka sama sekali tidak berhak
mendapatkan harta warisan, kendati yang meninggal
dunia adalah orang tuanya atau bahkan suaminya.
Di masa Jahiliyah, anak perempuan juga tak berhak
mendapatkan harta warisan. Sebaliknya, orang lain yang
bukan anggota keluarganya, namun mereka pernah
mengikat sumpah setia, malah diberikan hak warisan.
‘’Kaum perempuan tak diperbolehkan memiliki harta
benda, kecuali wanita-wanita dari kalangan elite,’’ tulis
Ensiklopedi Islam. Bahkan, pada zaman Jahiliyah, wanita
menjadi sesuatu yang diwariskan.
Ketika ajaran Islam datang, Rasulullah SAW merombak
sistem hukum waris Arab Jahiliyah, sekaligus merombak
sistem kepemilikan masyarakat atas harta benda,
khususnya harta pusaka. Menurut Ensiklopedi Islam,
struktur masyarakat Arab pra-Islam amat dipengaruhi
oleh kelompok-kelompok kesukuan.
Sehingga, harta benda termasuk pusaka orang yang
meninggal menjadi milik sukunya. Rasulullah SAW
memperkenalkan sistem hukum pembagian waris yang
sangat adil. Setiap pribadi, baik laki-laki maupun
perempuan berhak memiliki harta benda. Selain itu,
kaum perempuan juga berkah mewariskan dan mewarisi,
seperti halnya kaum Adam.
Waris di Era Awal Islam
Sebelum turun ayat Alquran yang mengatur tentang
waris, di awal perkembangan Islam masih berlaku
landasan pengangkatan anak dan sumpah setia untuk
dapat mewarisi. ‘’Lalu berlaku alasan ikut hijrah serta
alasan dipersaudarakannya sahabat Muhajirin dan Ansar,’’
papar Dja’far.
Yang dimaksud dengan alasan ikut hijrah, papar Dja’far,
adalah jika seorang sahabat Muhajirin wafat, maka yang
mewarisinya adalah keluarga yang ikut hijrah. Sedangkan,
kerabat yang tak ikut hijrah tak mewaris. Jika tak ada
satupun kerabatnya yang ikut hijrah, maka sahabat
Ansar-lah yang akan mewarisinya.
‘’Inilah makna yang terkandung dari perbuatan Nabi SAW
yang mempersaudarakan  sahabat Ansah dan Muhajirin,’’
ujar Dja’far. Di awal perkembangan Islam, Rasulullah
SAW juga mulai memberlakukan hak waris-mewarisi
antara pasangan suami-istri.
Nabi Muhammad SAW kemudian memberlakukan
kewarisan Islam dalam sistem nasab-kerabat yang
berlandaskan kelahiran. Hal itu sebagaimana yang
disebutkan dalam Alquran surah al-Anfal ayat 75. Dengan
berlakunya sistem nasab-kerabat, maka hak mewarisi
yang didasarkan atas sumpah setia mulai dihapuskan.
Warisan atas alasan pengangkatan anak juga telah
dihapuskan sejak awal kedatangan Islam. Menurut
Dja’far, hal itu mulai diberlakukan sejak turunnya Firman
Allah SWT yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad
SAW untuk menghapus akibat hukum yang timbul dari
pengangkatan Zaid bin Haris sebagai anak angkatnya. (QS
33:5, 37, dan 40).
Di zaman sebelum turunnya ayat waris, Rasulullah SAW
kedatangan istri Sa’ad bin ar-Rabi bersama dua anak
perempuannya. Ia lalu berkata, ‘’Ya Rasulullah, ini dua
anak Sa’ad bin ar-Rabi yang mati syahid pada Perang
Uhud bersamamu. Paman mereka merampas semua
harta mereka tanpa member bagian sedikitpun.’’
‘’Mudah-mudahan Allah segera memberi penyelesaian
mengenai masalah ini,’’ sabda Rasulullah.
Tak lama setelah itu, turunlah ayat tentang waris dalam
surah an-Nisa ayat 11. Setelah turunnya ayat-ayat tentang
waris itu, maka jelaslah orang-orang yang berhak
menjadi ahli waris (Ashab al-Furudl). Semua pihak -- laki-
laki, perempuan, anak, ibu, bapak, suami, istri, saudara
kandung, saudara sebapak, saudara seibu, kakek, nenek,
dan cucu-- memiliki bagian dalam waris.
Rasulullah SAW amat menganjurkan umatnya untuk
melaksanakan hukum waris sesuai dengan ketentuan yang
ada dalam Alquran. Semua yang sudah diatur dalam
Alquran bertujuan memberikan keadilan pada setiap
orang. Selain itu, Rasul juga memerintahkan umat Islam
untuk mempelajari dan mendalami ilmu waris (faraidl)
ini.
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,
‘’Pelajarilah ilmu waris dan ajarkan, karena ilmu waris
merupakan separuh ilmu. Ilmu waris adalah ilmu yang
mudah dilupakan dan yang pertama kali dicabut dari
umatku.’’ (HR Ibnu Majah dan Daruquthni).
Ilmu waris merupakan ilmu yang pertama kali diangkat
dari umat Islam. Cara mengangkatnya adalah dengan
mewafatkan para ulama yang ahli dalam bidang ini.
Orang yang paling menguasai ilmu waris di antara umat
Rasulullah SAW adalah Zaid bin Tsabit.
‘’Tak heran para imam mazhab menjadikan Ziad bin
Tsabit sebagai rujukan dalam ilmu waris,’’  ungkap
Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah dalam Ahkamul
Mawarits: 1.400 Mas’alah Miratsiyah.
(Heri Ruslan)

Akibat Tidak Peduli Seruan Azan

Sudah setahun Anwar sekolah di kota, di sebuah
madrasah tingkat Aliyah. Dia bangga sekali, karena tidak
semua anak lulusan Tsanawiyah di desanya dapat
melanjutkan pendidikan menengah atas di ibu kota
propinsi.
Sebagian besar hanya melanjutkan sekolah di ibu kota
kabupaten atau malah berhenti sekolah dan mulai
bekerja di sawah atau ladang membantu orang tua yang
umumnya petani.
Liburan setelah ujian smester dua kali ini dia manfaatkan
untuk pulang ke desa berkumpul dengan teman-teman
sebaya.
Berbagai macam agenda sudah tersusun di kepalanya,
salah satunya yang paling menarik adalah makan
bersama dengan teman-teman sebaya.
Mereka iyuran membeli bahan-bahan masakan yang
diperlukan, bisa berupa uang atau bahan mentahnya
langsung. Mereka akan masak sendiri, dengan
kemampuan sekadarnya, yang penting tidak asin.
Bekal ilmu memasaknya paling-paling dari sekali-sekali
memperhatikan ibu atau kakak perempuannya memasak
di dapur.
Membayangkan acara makan bersama itu, Anwar tidak
sabar segera sampai di desa. Perjalanan 60 km dengan
mobil dirasakannya terlalu lama.
Pada hari H, sepuluh anak remaja sudah berkumpul di
bawah sebuah pohon, tidak jauh dari pinggir sungai.
Itulah tempat favorit mereka.
Pada saat azan Zhuhur berkumandang, mereka tengah
sibuk-sibuknya memasak sambil bercanda penuh tawa.
Sebenarnya Anwar ingin segera ke masjid melaksanakan
shalat Zhuhur berjamaah seperti yang sudah biasa
dilakukannya sejak kecil.
Ayahnya selalu membimbingnya shalat berjamaah ke
masjid. Sejak sekolah dasar sampai tamat Tsanawiyah dia
sudah terbiasa shalat di masjid. Sebenarnya motif
utamanya shalat berjamaah di masjid adalah karena takut
ayahnya.
Kalau ketahuan tidak shalat di masjid, ayahnya pasti
marah besar. Ingat ayahnya, Anwar ingin segera shalat ke
masjid meninggalkan teman-temannya. Tetapi dia merasa
tidak enak, apalagi masakan hampir matang.
Sedang bimbang begitu, ayahnya lewat menuju masjid
dan mengingatkan Anwar untuk segera ke masjid. Dia
mengangguk, tetapi tidak melaksanakannya.
Begitu ayahnya kembali dari masjid dan melihat Anwar
masih bersama teman-temannya di bawah pohon, beliau
marah dan segera memanggil puteranya dengan suara
keras: "War, apabila acaramu selesai, segera ke rumah!"
Untunglah ayahnya masih memberinya kesempatan
menikmati hidangan yang sudah mereka siapkan susah
payah. Tetapi hati Anwar sudah tidak tenang, ayahnya
pasti marah besar. Dia siap menerima hukuman yang
akan diberikan.
Setelah benar-benar menerima hukuman, Anwar kaget
bukan kepalang. Hukumannya benar-benar di luar
dugaannya. Dengan tenang ayahnya memutuskan:
"Anwar, kamu tidak boleh kembali ke kota. Kamu harus
berhenti sekolah. Tinggal saja di desa bertani, lalu
menikah!''
''Tidak ada gunanya kamu sekolah tinggi di kota, kalau
hasilnya kamu mengabaikan panggilan azan. Ayah tidak
ingin kamu sekolah tinggi tetapi tidak peduli dengan
panggilan shalat. Baru setahun kamu di kota, kamu
sudah berani meninggalkan shalat berjamaah di masjid."
Anwar tahu watak bapaknya. Jika sudah memutuskan
sesuatu, sukar untuk mengubahnya. Dia minta maaf
sambil menangis, tetapi keputusan tetap tidak berubah.
Liburan sekolah sudah habis seminggu yang lalu, tetapi
dia belum juga diberi izin kembali ke kota. Anwar betul-
betul sangat menyesal telah mengabaikan panggilan
shalat Zhuhur di masjid. Walaupun sebenarnya, baru
sekali itu dia lakukan. Tapi penyesalan tidak ada gunanya.
Untunglah kemudian, pamannya membantu membujuk
ayahnya dan menjamin pelanggaran itu tidak akan
terulang kembali. Akhirnya ayahnya membolehkannya
kembali sekolah ke kota atas jaminan pamannya itu.
(Yunahar Ilyas)

Mengapa Tidak Berjilbab?

Saat Ramadhan yang lalu, perwajahan wanita muslim di
negeri ini tampak anggun dan lebih Islami. Terutama di
media kaca. Mereka (terutama para selebritas) terlihat
lebih salihah. Karena ada jilbab (hijab) di wajahnya.
Namun setelah bulan rahmat tersebut berlalu, wajah asli
mereka terihat lagi. Aurat mereka ditampakkan kembali.
Karena itu bagi sebagian orang jilbab terkesan hanya
untuk Ramadhan atau kegiatan keagamaan lainnya.
Di luar itu, jilbab pantasnya diletakkan kembali dan
dimasukkan ke lemari kembali. Naudzubillah . Jika
dikonfirmasi kepada mereka yang berjilbab saat
Ramadhan namun dilepas setelah itu, paling tidak inilah
beberapa alasannya.
Pertama, kalau mengenakan hijab, nanti kecantikannya
tertutup, terus laki-laki yang ingin melihat wajah aslinya,
akan menahan nafsunya. Kalau terus ditahan nafsunya,
itu bisa meledak dan ia melampiaskannya dengan
melakukan pelecehan!
Nah, pemecahannya, ya berarti harus buka hijab(?).
Seandainya jalan pemecahan itu benar, tentu Amerika
dan negara-negara barat akan menjadi negara yang
paling kecil kasus perkosaan dan pelecehan terhadap
wanita di dunia.
Namun pada kenyataannya tidak demikian, bahkan
menurut buku Crime in USA terbitan FBI, dikatakan setiap
enam menit sekali terjadi kasus pemerkosaan di sana.
Kedua, belum mantap hatinya. Boleh saja benar alasan
tersebut, tapi mohon dengan alasan ini hendaknya bisa
membedakan antara dua hal. Yakni antara perintah Allah
dengan perintah manusia.
Jika perintah itu datangnya dari manusia, maka bisa salah
dan bisa benar. Adapun jika perintah itu dari Allah, tidak
ada alasan bagi manusia untuk mengatakan, "Saya belum
mantap."
Bila masih mengatakan hal itu bisa saja dikatakan
keislamannnya belum mantap, padahal ia mengetahui
perintah tersebut dari Allah, hal tersebut menyeretnya
pada bahaya yang sangat besar, yakni keluar dari agama-
Nya, sementara dia tidak menyadarinya.
Dengan begitu berarti ia tidak percaya dan meragukan
kebenaran perintah tersebut. Perintah untuk berhijab
(kerudung) ada pada QS: Al-Ahzab, ayat  59.
Alasan lain, dikemas diplomatis. “Sebenarnya aku sih
pengen banget pake hijab, tapi kalau Allah belum
memberiku hidayah. Aku mesti bagaimana? Alasan ini
sebenarnya dalih yang menyeret dalam kekeliruan yang
nyata.
Kami ingin bertanya: "Bagaimana Ukhti tahu Allah belum
memberimu hidayah?" Hidayah itu datangnya dari Allah,
namun kita wajib berusaha untuk mendapatkannya.
Tanpa ada usaha tidak mungkin ada hasil.
(Ustaz Muhammad Arifin Ilham)

Spirit Istiqlal

Alkisah, pada suatu hari, seorang warga Mesir datang ke
Madinah untuk mengadukan gubenurnya, 'Amr ibn
Al-'Ash. "Saya dizhalimi," wahai Amirul Mukminin.
"Perlakuan zhalim seperti apa yang kau alami?" tanya
'Umar.
"Saya mengikuti lomba pacuan kuda. Kuda saya bisa
mendahului kuda anak 'Amr bin Al-'Ash. Ia marah karena
saya bisa membalap dan mengalakannya. Ia turun dari
kudanya, lalu memukuli saya di hadapan para penonton,
termasuk sang gubernur, tetapi tidak seorang pun
membela saya."
Anak gubernur itu bahkan menyatakan: "Kenapa engkau
berani mendahuluiku. Tidakkah engkau tahu, aku adalah
anak orang paling terhormat di negeri ini (Mesir)!"
Mendengar pengaduan rakyatnya, 'Umar langsung
menemui anak gubernur, Muhammad ibn 'Amr bin
Al-'Ash dan memberikan balasan setimpal berupa
pukulan seperti yang dialami oleh warganya tersebut.
Setelah itu 'Umar menyentil sang gubernur, 'Amir bin
Al-'Ash: "Sejak kapan engkau memperbudak rakyat,
sementara mereka itu dilahirkan oleh ibu mereka dalam
keadaan merdeka?!"
Kasus tersebut menunjukkan betapa tinggi kepedulian
dan keadilan sang khalifah (pemimpin umat) terhadap
kemerdekaan warganya.
Merdeka adalah hak asasi setiap manusia dan bangsa.
Karena itu, siapapun di muka bumi tidak berhak untuk
menindas, menzhalimi, mengeksploitasi, menginvasi, dan
merampas hak-hak kemerdekaan mereka atas nama
apapun, lebih-lebih atas nama kekuasaan. Karena
kekuasaan adalah amanah, bukan peluang untuk
menjajah.
Peringatan HUT kemerdekaan RI mengingatkan kita
kepada masjid terbesar di Indonesia, Istiqlal. Masjid ini
memang berarti masjid kemerdekaan , karena dibangun
sebagai sebuah monumen dan sekaligus sarana ibadah
yang  menyadarkan kita semua akan arti penting
kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pendahulu
kita dengan pengorbanan jiwa, raga, dan harta.
Kata istiqlal itu sendiri dalam bahasa Arab berarti
mandiri, merdeka, tidak bergantung dan didikte oleh
pihak lain. Dengan mendirikan masjid ini, para pendiri
bangsa ini ( founding fathers ) seakan berpesan dengan
memakmurkan masjid, kita semua bisa mewujudkan
kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya.
Masjid adalah pusat dan sumber inspirasi kemerdekaan
dalam segala hal, karena di masjid semua Muslim hanya
mengabdi dan memohon pertolongan kepada Allah SWT
(QS Al-Fatihah [1]: 5). Ayat ini oleh para mufassir, antara
lain, dimaknai ayat pembebasan manusia dari
ketergantungan kepada makhluk  menuju tauhid sejati.
Kemerdekaan dapat terwujud jika kita semua bersatu dan
mensinergikan diri untuk mewujudkan cita-cita mulia.
Shalat berjamaah di masjid tidak hanya melambangkan
persatuan dan kebersamaan, tetapi juga persamaan
(equality), egalitarianisme, dan anti-diskriminasi.
Yang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, penguasa dan
pengusaha dapat berdiri dalam shaf yang sama. Tidak
ada masjid hanya dikhususkan para penguasa,
pengusaha, atau pejabat. Masjid, seperti halnya
kemerdekaan, adalah hak semua.
Masjid dan kemerdekaan merupakan sebuah keniscayaan
atau ibarat dua sisi dari satu mata uang. Dalam masjid
kita dididik untuk hanya bertawajjuh (mengorientasikan
diri) dan takut kepada Allah, sehingga kita tidak serta-
merta membeo dan gampang diintervensi oleh siapapun.
Masjid mendidik kita untuk mandiri, mengembangkan
semangat kebersamaan, nasionalisme, dan patriotisme
sejati.
Spirit istiqlal tidak dapat dipisahkan dari semangat
pengabdian dan pengorbanan. Kita sudah mewarisi
kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan dan
pendahulu kita.
Pertanyaannya, sudahkah kita mewarisi pengabdian dan
pengorbanan mereka untuk kejayaan negeri ini. Istiqlal
mengajarkan kita untuk menanam dan berinvestasi masa
depan, bukan berlomba-lomba memanen hasil jerih
payah para pendahulu kita dengan menghalalkan segala
cara.
Istiqlal merupakan investasi paling berharga yang
ditanamkan para pendahulu kita untuk dijaga,
dipertahankan, dimaknai, dan dikembangkan.
Istiqlal tidak cukup hanya diperingati secara rutin tanpa
diaktualisasikan dalam bentuk dedikasi dan karya nyata.
Istiqlal adalah ruh nasionalisme kita yang perlu
ditanamkan pada diri generasi muda kita.
Ketika bangsa ini sakit dan lesu darah nasionalisme,
maka semangat istiqlal perlu digelorakan kembali,
dengan memberikan keteladanan moral dan spiritual
seperti kokohnya bangunan masjid Istiqlal.
Ketika para wakil rakyat dan para pejabat berlomba-
lomba memperkaya diri , alunan ayat dan azan nan
merdu dari Istiqlal seharusnya menyadarkan semua
untuk tidak mudah dijajah oleh hawa nafsu duniawi,
kerakusan, dan keserakahan.
Istiqlal adalah poros kemerdekaan Indonesia. Melaluinya
kita bisa beramal sosial, menempa kekuatan moral dan
kecerdasan spiritual kita.
Idealnya, peringatan HUT Kemerdekaan RI diperingati di
Masjid Istiqlal dengan renungan suci, taubat nasional,
dan komitmen bersama untuk memerdekakan bangsa ini
dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, korupsi,
illegal logging, miras, narkoba, pornografi, pornoaksi,
premanisme, dan segala bentuk kemaksiatan yang
merajalela di negeri ini.
(Muhbib Abdul Wahab)