Dimas Cokro Pamungkas |
Abdullah bin Ma’lam bertutur: “Ketika
kami berhaji dan keluar dari Madinah, tiba-tiba kami bersua dengan
seseorang dari suku Bani Hasyim dari Bani Abbas bin Abdul Muthallib. Ia
menolak dunia dan fokus sepenuhnya untuk akhirat. Kemudian aku dan ia
disatukan dalam suatu perjalanan, dan aku merasa nyaman bersamanya.”
Abdullah menyapanya. “Apakah Anda bisa naik kendaraan bersama saya? Kebetulan saya ada tempat lebih.” Orang itu pun menjawab; “jazakallah khaira” (semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan) pada saya.”
Setelah merasa nyaman bersama saya, ia bercerita. “Saya adalah keturunan dari Bani Abbas. Dulu saya tinggal di Basrah, mempunyai kemuliaan, kenikmatan, kekayaan yang melimpah, dan kemewahan hidup.''
Ia melanjutkan, ''Suatu hari saya menyuruh pelayan agar mengisi kasur dan bantal dengan bahan sutera, yang dihiasi pula dengan taburan bunga mawar. Pelayan pun melakukan apa yang kutitahkan,” ujarnya.
“Begitu saya hendak tidur, ternyata ada cerocok bunga mawar yang tertinggal karena pelayan lupa merapikannya. Saya pun menderanya dengan sejumlah pukulan. Setelah cerocok itu dikeluarkan dari bantal, saya balik lagi ke tempat tidur.”
“Dalam tidur, saya bermimpi didatangi seseorang yang buruk rupa, seraya berkata; ‘Sadarlah dari pingsanmu, dan bangkitlah dari tidur lelapmu.’
Lantas dia menembangkan puisi: “Hai teman spesial, kini kau berbantalkan yang halus dan empuk. Namun setelah ini, kau beralaskan batu cadas yang keras. Maka bentangkan amal saleh untuk dirimu, sehingga kau bahagia. Jika tidak, esok engkau akan menyesal.”
“Kemudian aku bangun dan terjaga, dengan dihantui kecemasan. Lalu aku keluar saat itu juga, dan lari menuju Rabb-ku.”
Medium atau sebab untuk meraih kesadaran dan pertobatan memang amat beragam. Misalnya, seseorang baru sadar jika ditimpa penyakit akut lalu sembuh, mengalami kecelakaan maut lantas selamat, bertemu dengan seseorang yang piawai dalam menyentuh tali jiwanya, karena perjalanan usia, atau lantaran mimpi— seperti tersimbul dari narasi di atas.
Terkadang, sebab itu datang sendiri menyelinap ke dalam hati seseorang yang dikehendaki Allah. (QS al-Qashash: 56). Maka berbahagialah mereka yang bisa mereguk kesadaran ini sebelum ajal tiba.
Memunculkan kesadaran akan Allah dan akhirat, hakikatnya memang hak prerogatif Allah. Di samping ia juga merupakan medan mujahadah seseorang. Beragam ujian seringkali menjadi dinding tebal untuk sampai kepadanya.
Selain kemiskinan, kekayaan juga merupakan perangkap yang kerap meninabobokan seseorang sehingga mereka terlena dalam kemaksiatan.
Ketika banyak orang dan tokoh high class terperosok dalam jurang kemaksiatan, seraya melupakan Allah dan Hari Akhir— seperti ramai diberitakan,—gambaran di atas mengajarkan hal penting.
Bagaimana keturunan Bani Hasyim yang berada dalam gemerlapnya kekayaan ini telah mengambil keputusan yang amat menentukan perjalanan hidupnya.
Hal ini jelas tak mudah, karena orang yang tidur itu tak sadar jika dirinya bermimpi, kecuali sudah bangun. Demikian pula orang yang lalai terhadap akhirat; ia tidak menyadari akan apa yang sudah disia-siakan kecuali setelah kematian menjemputnya.
Abdullah menyapanya. “Apakah Anda bisa naik kendaraan bersama saya? Kebetulan saya ada tempat lebih.” Orang itu pun menjawab; “jazakallah khaira” (semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan) pada saya.”
Setelah merasa nyaman bersama saya, ia bercerita. “Saya adalah keturunan dari Bani Abbas. Dulu saya tinggal di Basrah, mempunyai kemuliaan, kenikmatan, kekayaan yang melimpah, dan kemewahan hidup.''
Ia melanjutkan, ''Suatu hari saya menyuruh pelayan agar mengisi kasur dan bantal dengan bahan sutera, yang dihiasi pula dengan taburan bunga mawar. Pelayan pun melakukan apa yang kutitahkan,” ujarnya.
“Begitu saya hendak tidur, ternyata ada cerocok bunga mawar yang tertinggal karena pelayan lupa merapikannya. Saya pun menderanya dengan sejumlah pukulan. Setelah cerocok itu dikeluarkan dari bantal, saya balik lagi ke tempat tidur.”
“Dalam tidur, saya bermimpi didatangi seseorang yang buruk rupa, seraya berkata; ‘Sadarlah dari pingsanmu, dan bangkitlah dari tidur lelapmu.’
Lantas dia menembangkan puisi: “Hai teman spesial, kini kau berbantalkan yang halus dan empuk. Namun setelah ini, kau beralaskan batu cadas yang keras. Maka bentangkan amal saleh untuk dirimu, sehingga kau bahagia. Jika tidak, esok engkau akan menyesal.”
“Kemudian aku bangun dan terjaga, dengan dihantui kecemasan. Lalu aku keluar saat itu juga, dan lari menuju Rabb-ku.”
Medium atau sebab untuk meraih kesadaran dan pertobatan memang amat beragam. Misalnya, seseorang baru sadar jika ditimpa penyakit akut lalu sembuh, mengalami kecelakaan maut lantas selamat, bertemu dengan seseorang yang piawai dalam menyentuh tali jiwanya, karena perjalanan usia, atau lantaran mimpi— seperti tersimbul dari narasi di atas.
Terkadang, sebab itu datang sendiri menyelinap ke dalam hati seseorang yang dikehendaki Allah. (QS al-Qashash: 56). Maka berbahagialah mereka yang bisa mereguk kesadaran ini sebelum ajal tiba.
Memunculkan kesadaran akan Allah dan akhirat, hakikatnya memang hak prerogatif Allah. Di samping ia juga merupakan medan mujahadah seseorang. Beragam ujian seringkali menjadi dinding tebal untuk sampai kepadanya.
Selain kemiskinan, kekayaan juga merupakan perangkap yang kerap meninabobokan seseorang sehingga mereka terlena dalam kemaksiatan.
Ketika banyak orang dan tokoh high class terperosok dalam jurang kemaksiatan, seraya melupakan Allah dan Hari Akhir— seperti ramai diberitakan,—gambaran di atas mengajarkan hal penting.
Bagaimana keturunan Bani Hasyim yang berada dalam gemerlapnya kekayaan ini telah mengambil keputusan yang amat menentukan perjalanan hidupnya.
Hal ini jelas tak mudah, karena orang yang tidur itu tak sadar jika dirinya bermimpi, kecuali sudah bangun. Demikian pula orang yang lalai terhadap akhirat; ia tidak menyadari akan apa yang sudah disia-siakan kecuali setelah kematian menjemputnya.
(Makmun Nawawi)