Sudah setahun Anwar sekolah di kota, di sebuah
madrasah tingkat Aliyah. Dia bangga sekali, karena tidak
semua anak lulusan Tsanawiyah di desanya dapat
melanjutkan pendidikan menengah atas di ibu kota
propinsi.
Sebagian besar hanya melanjutkan sekolah di ibu kota
kabupaten atau malah berhenti sekolah dan mulai
bekerja di sawah atau ladang membantu orang tua yang
umumnya petani.
Liburan setelah ujian smester dua kali ini dia manfaatkan
untuk pulang ke desa berkumpul dengan teman-teman
sebaya.
Berbagai macam agenda sudah tersusun di kepalanya,
salah satunya yang paling menarik adalah makan
bersama dengan teman-teman sebaya.
Mereka iyuran membeli bahan-bahan masakan yang
diperlukan, bisa berupa uang atau bahan mentahnya
langsung. Mereka akan masak sendiri, dengan
kemampuan sekadarnya, yang penting tidak asin.
Bekal ilmu memasaknya paling-paling dari sekali-sekali
memperhatikan ibu atau kakak perempuannya memasak
di dapur.
Membayangkan acara makan bersama itu, Anwar tidak
sabar segera sampai di desa. Perjalanan 60 km dengan
mobil dirasakannya terlalu lama.
Pada hari H, sepuluh anak remaja sudah berkumpul di
bawah sebuah pohon, tidak jauh dari pinggir sungai.
Itulah tempat favorit mereka.
Pada saat azan Zhuhur berkumandang, mereka tengah
sibuk-sibuknya memasak sambil bercanda penuh tawa.
Sebenarnya Anwar ingin segera ke masjid melaksanakan
shalat Zhuhur berjamaah seperti yang sudah biasa
dilakukannya sejak kecil.
Ayahnya selalu membimbingnya shalat berjamaah ke
masjid. Sejak sekolah dasar sampai tamat Tsanawiyah dia
sudah terbiasa shalat di masjid. Sebenarnya motif
utamanya shalat berjamaah di masjid adalah karena takut
ayahnya.
Kalau ketahuan tidak shalat di masjid, ayahnya pasti
marah besar. Ingat ayahnya, Anwar ingin segera shalat ke
masjid meninggalkan teman-temannya. Tetapi dia merasa
tidak enak, apalagi masakan hampir matang.
Sedang bimbang begitu, ayahnya lewat menuju masjid
dan mengingatkan Anwar untuk segera ke masjid. Dia
mengangguk, tetapi tidak melaksanakannya.
Begitu ayahnya kembali dari masjid dan melihat Anwar
masih bersama teman-temannya di bawah pohon, beliau
marah dan segera memanggil puteranya dengan suara
keras: "War, apabila acaramu selesai, segera ke rumah!"
Untunglah ayahnya masih memberinya kesempatan
menikmati hidangan yang sudah mereka siapkan susah
payah. Tetapi hati Anwar sudah tidak tenang, ayahnya
pasti marah besar. Dia siap menerima hukuman yang
akan diberikan.
Setelah benar-benar menerima hukuman, Anwar kaget
bukan kepalang. Hukumannya benar-benar di luar
dugaannya. Dengan tenang ayahnya memutuskan:
"Anwar, kamu tidak boleh kembali ke kota. Kamu harus
berhenti sekolah. Tinggal saja di desa bertani, lalu
menikah!''
''Tidak ada gunanya kamu sekolah tinggi di kota, kalau
hasilnya kamu mengabaikan panggilan azan. Ayah tidak
ingin kamu sekolah tinggi tetapi tidak peduli dengan
panggilan shalat. Baru setahun kamu di kota, kamu
sudah berani meninggalkan shalat berjamaah di masjid."
Anwar tahu watak bapaknya. Jika sudah memutuskan
sesuatu, sukar untuk mengubahnya. Dia minta maaf
sambil menangis, tetapi keputusan tetap tidak berubah.
Liburan sekolah sudah habis seminggu yang lalu, tetapi
dia belum juga diberi izin kembali ke kota. Anwar betul-
betul sangat menyesal telah mengabaikan panggilan
shalat Zhuhur di masjid. Walaupun sebenarnya, baru
sekali itu dia lakukan. Tapi penyesalan tidak ada gunanya.
Untunglah kemudian, pamannya membantu membujuk
ayahnya dan menjamin pelanggaran itu tidak akan
terulang kembali. Akhirnya ayahnya membolehkannya
kembali sekolah ke kota atas jaminan pamannya itu.
(Yunahar Ilyas)