Suatu hari Rasulullah SAW tengah tidur beralaskan
pelepah kurma. Sehingga bekasnya terlihat di badan
beliau. Sahabat Umar bin Khathab datang
mengunjunginya. Ketika Umar melihat keadaan Nabi SAW
demikian Umar menangis.
Kemudian Rasulullah bangun, “Mengapa engkau
menangis?” Tanya Rasulullah SAW kepada Umar bin
Khathab.
“Aku ingat kaisar dan kekuasaannya, sedangkan engkau
adalah utusan Tuhan. Tetapi engkau hanya tidur
beralaskan tikar.” jawab Umar sembari menangis.
“Apa engkau tidak ridha jika mereka memiliki dunia,
sedangkan kita memiliki akhirat,” sabda Rasulullah SAW
tegas.
Maka turunlah ayat ke-20 surat Alinsan, “Dan apabila
engkau melihat keadaan di sana (surga), niscaya engkau
akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan
yang besar.”
Suatu ketika sepulang dari medan peperangan. Rasulullah
dan para sahabatnya, disambut bahagia oleh kaum
muslim di Madinah. Seorang penjual air hendak
menyalami tangan Rasulullah, tapi Nabi SAW
menolaknya. Jusru Nabi sendiri yang mengambil
tangannya. Saat bersentuhan, Nabi merasakan hal aneh
pada tangannya. Lalu Nabi SAW melihat tangannya
sangat kasar sekali.
“Kenapa tanganmu kasar sekali?” Tanya Nabi Muhammad.
“Pekerjaan saya membelah batu setiap hari, wahai
Rasulullah,” jawabnya. “ Lalu pecahan batu itu saya jual
ke pasar dan uangnya saya gunakan untuk menafkahi
keluarga,” sambungnya.
Kemudian Rasulullah mencium tangan penjual air itu
sembari berkata,” inilah tangan yang tak akan pernah
disentuh api neraka selama-lamanya.”
Melihat kisah di atas yang mencerminkan kesederhanaan
dan kecintaan Nabi Muhammad SAW kepada rakyatnya,
kita ingin menangis seperti sahabat Umar bin Khathab.
Menangis karena haru dan rindu. Haru, karena sangat
langka manusia seperti beliau di permukaan bumi ini.
Padahal beliau adalah kepala negara dan utusan Tuhan.
Sebagai kepala negara tentunya beliau bisa hidup
bergelimangan harta.
Rindu, karena kita berharap ada pemimpin, pejabat dan
politisi di negeri ini menjadikan Rasulullah sebagai
teladan. Pemimpin yang hidupnya asketis, yakni yang
mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, kerelaan
berkorban, tidak menumpuk kekayaan, serta pemimpin
yang merasakan penderitaan, beban dan kesulitan
rakyatnya.
Kita rindu pemimpin yang menegakan hukum tanpa
pandang bulu. Pejabat yang adil dan bijaksana.
Hubungan pemimpin dengan rakyatnya harusnya seperti
diilustrasikan Rasulullah, sebagai pengembala ternak
yang setiap saat harus melindungi gembalaanya.
“Setiap kalian adalah pengembala (pemimpin), dan setiap
kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
pengembalaannya (kepemimpinannya),” seru Nabi SAW.
(HR Bukhori, Muslim)
Di Indonesia, keserakahan para pejabat merajalela.
Praktik KKN dan suap marak. Para pejabat tanpa merasa
malu melakukan korupsi miliaran rupiah, memanipulasi
dan membohongi rakyat. Uang rakyat yang dikumpulkan
rakyat untuk membangun Negara, malah dirampok wakil
rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya.
Ironinya, perilaku borok tersebut justru dilakukan oknum
berpendidikan tinggi. Sungguh terlalu!
Dengan petikan kisah di atas, kita dapat mengambil
hikmahnya dan berharap para pemimpin negeri ini, dan
para wakil rakyat baik di tingkat pusat hingga daerah,
menjadi pemimpin asketis, serta menjadikan Rasulullah
sebagai teladan. Aamiin.
(Kusnandar SThI)