Melacak Sejarah Hukum Waris

Jauh sebelum Islam datang, peradaban manusia telah
mengenal sistem pembagian waris. Pada zaman Jahiliyah,
misalnya, bangsa Arab sudah menerapkan pembagian
waris yang amat merugikan kaum wanita. Saat itu, yang
berhak mendapatkan hak waris dari orang yang
meninggal dunia hanyalah kaum Adam.
Tak semua laki-laki bisa memperoleh harta warisan.
‘’Yang boleh mewaris hanyalah laki-laki dewasa yang telah
mahir naik kuda dan memanggul senjata ke medan
perang serta memboyong harta ganimah (rampasan
perang),’’ ungkap Dr Moch Dja’far dalam Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam.
Menurut Dja’far, asalkan memenuhi syarat mampu
berperang, seorang lelaki dewasa tak peduli masuk
kategori nasab, anak angkat, kategori sumpah, dan
bahkan lahir di luar nikahpun dapat mewarisi.
Dalam tradisi Arab Jahiliyah, faktor-faktor yang
memungkinkan seseorang bisa menjadi ahli waris antara
lain: pertama, nasab atau kerabat dengan syarat. Kedua,
anak angkat dengan syarat. Ketiga, sumpah setia antara
dua orang yang bukan kerabat dengan kata-kata.
Pembagian sistem waris pada zaman itu cenderung
diskriminatif. Betapa tidak. Anak laki-laki yang belum
dewasa dan tidak ikut berperan dinyatakan tak berhak
mendapatkan hak waris. Begitu juga dengan kaum
perempuan, mereka sama sekali tidak berhak
mendapatkan harta warisan, kendati yang meninggal
dunia adalah orang tuanya atau bahkan suaminya.
Di masa Jahiliyah, anak perempuan juga tak berhak
mendapatkan harta warisan. Sebaliknya, orang lain yang
bukan anggota keluarganya, namun mereka pernah
mengikat sumpah setia, malah diberikan hak warisan.
‘’Kaum perempuan tak diperbolehkan memiliki harta
benda, kecuali wanita-wanita dari kalangan elite,’’ tulis
Ensiklopedi Islam. Bahkan, pada zaman Jahiliyah, wanita
menjadi sesuatu yang diwariskan.
Ketika ajaran Islam datang, Rasulullah SAW merombak
sistem hukum waris Arab Jahiliyah, sekaligus merombak
sistem kepemilikan masyarakat atas harta benda,
khususnya harta pusaka. Menurut Ensiklopedi Islam,
struktur masyarakat Arab pra-Islam amat dipengaruhi
oleh kelompok-kelompok kesukuan.
Sehingga, harta benda termasuk pusaka orang yang
meninggal menjadi milik sukunya. Rasulullah SAW
memperkenalkan sistem hukum pembagian waris yang
sangat adil. Setiap pribadi, baik laki-laki maupun
perempuan berhak memiliki harta benda. Selain itu,
kaum perempuan juga berkah mewariskan dan mewarisi,
seperti halnya kaum Adam.
Waris di Era Awal Islam
Sebelum turun ayat Alquran yang mengatur tentang
waris, di awal perkembangan Islam masih berlaku
landasan pengangkatan anak dan sumpah setia untuk
dapat mewarisi. ‘’Lalu berlaku alasan ikut hijrah serta
alasan dipersaudarakannya sahabat Muhajirin dan Ansar,’’
papar Dja’far.
Yang dimaksud dengan alasan ikut hijrah, papar Dja’far,
adalah jika seorang sahabat Muhajirin wafat, maka yang
mewarisinya adalah keluarga yang ikut hijrah. Sedangkan,
kerabat yang tak ikut hijrah tak mewaris. Jika tak ada
satupun kerabatnya yang ikut hijrah, maka sahabat
Ansar-lah yang akan mewarisinya.
‘’Inilah makna yang terkandung dari perbuatan Nabi SAW
yang mempersaudarakan  sahabat Ansah dan Muhajirin,’’
ujar Dja’far. Di awal perkembangan Islam, Rasulullah
SAW juga mulai memberlakukan hak waris-mewarisi
antara pasangan suami-istri.
Nabi Muhammad SAW kemudian memberlakukan
kewarisan Islam dalam sistem nasab-kerabat yang
berlandaskan kelahiran. Hal itu sebagaimana yang
disebutkan dalam Alquran surah al-Anfal ayat 75. Dengan
berlakunya sistem nasab-kerabat, maka hak mewarisi
yang didasarkan atas sumpah setia mulai dihapuskan.
Warisan atas alasan pengangkatan anak juga telah
dihapuskan sejak awal kedatangan Islam. Menurut
Dja’far, hal itu mulai diberlakukan sejak turunnya Firman
Allah SWT yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad
SAW untuk menghapus akibat hukum yang timbul dari
pengangkatan Zaid bin Haris sebagai anak angkatnya. (QS
33:5, 37, dan 40).
Di zaman sebelum turunnya ayat waris, Rasulullah SAW
kedatangan istri Sa’ad bin ar-Rabi bersama dua anak
perempuannya. Ia lalu berkata, ‘’Ya Rasulullah, ini dua
anak Sa’ad bin ar-Rabi yang mati syahid pada Perang
Uhud bersamamu. Paman mereka merampas semua
harta mereka tanpa member bagian sedikitpun.’’
‘’Mudah-mudahan Allah segera memberi penyelesaian
mengenai masalah ini,’’ sabda Rasulullah.
Tak lama setelah itu, turunlah ayat tentang waris dalam
surah an-Nisa ayat 11. Setelah turunnya ayat-ayat tentang
waris itu, maka jelaslah orang-orang yang berhak
menjadi ahli waris (Ashab al-Furudl). Semua pihak -- laki-
laki, perempuan, anak, ibu, bapak, suami, istri, saudara
kandung, saudara sebapak, saudara seibu, kakek, nenek,
dan cucu-- memiliki bagian dalam waris.
Rasulullah SAW amat menganjurkan umatnya untuk
melaksanakan hukum waris sesuai dengan ketentuan yang
ada dalam Alquran. Semua yang sudah diatur dalam
Alquran bertujuan memberikan keadilan pada setiap
orang. Selain itu, Rasul juga memerintahkan umat Islam
untuk mempelajari dan mendalami ilmu waris (faraidl)
ini.
Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,
‘’Pelajarilah ilmu waris dan ajarkan, karena ilmu waris
merupakan separuh ilmu. Ilmu waris adalah ilmu yang
mudah dilupakan dan yang pertama kali dicabut dari
umatku.’’ (HR Ibnu Majah dan Daruquthni).
Ilmu waris merupakan ilmu yang pertama kali diangkat
dari umat Islam. Cara mengangkatnya adalah dengan
mewafatkan para ulama yang ahli dalam bidang ini.
Orang yang paling menguasai ilmu waris di antara umat
Rasulullah SAW adalah Zaid bin Tsabit.
‘’Tak heran para imam mazhab menjadikan Ziad bin
Tsabit sebagai rujukan dalam ilmu waris,’’  ungkap
Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah dalam Ahkamul
Mawarits: 1.400 Mas’alah Miratsiyah.
(Heri Ruslan)