Rasulullah SAW bersabda “yaquulullah tabaaraka wa
taala man tawaadha’a lii haakadzaa rafa’tuhu
haakadzaa ”—Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
'Barangsiapa rendah hati karena-Ku seperti ini, Aku akan
mengangkat derajatnya seperti ini’—(HR Muslim).
Beliau menyampaikan hadits tersebut sambil memberi
isyarat dengan tangan kanannya yakni telapak tangan di
bawah dan menempel di tanah dengan punggung
tangannya ke atas. Sementara ketika menyatakan “aku
akan mengangkat derajatnya seperti ini”, beliau SAW
meletakkan telapak tangannya menghadap ke atas dan
mengangkat ke langit.
Rendah hati adalah kata kunci. Allah akan tinggikan
derajat hamba baik dalam pergaulan sesama maupun
dihadapan Allah SWT bagi mereka yang memiliki
kerendahan hati. Sebaliknya orang yang menyombongkan
diri, maka allah akan rendahkan derajat mereka. Sejarah
kehidupan orang sombong selalu berakhir dengan
kehinaan. Rosululullah SAW sendiri adalah figur yang
sangat rendah hati.
Rosulullah SAW adalah seorang pemimpin yang rendah
hati dan sangat lembut, selalu memperhatikan setiap
orang yang bertanya, tidak berpaling hingga si penanya
yang berpaling. Menyambut setiap orang yang
mengulurkan, tidak akan melepaskan jabatan tangannya
hingga orang itulah yang melepaskannya.
Tatkala ada delegasi Najasi datang, beliau sendiri yang
melayani mereka. Ketika sahabat menegur “sudah cukup
ada yang lain” jawab beliau “aku ingin membalas sendiri
kebaikan mereka”. Ketika dalam perjalanan Rosulullah
perintahkan menyembelih kambing, masing masing
menyatakan “ aku yang menyembelih” yang lain
mengatakan “aku yang menguliti”, yang lain lagi “aku
yang memasak”, Rosulullah SAW menyatakan “aku yang
mencari kayu bakarnya !” Mereka berkata “cukup kami
saja yang mengerjakannya”. Beliau berkata “Aku tahu
kalian sudah cukup untuk mengerjakan, tetapi aku tidak
suka melihat hambanya diistimewakan dari teman-
temannya !”.
Allah memerintahkan kita shalat dengan bersujud hingga
kening menyentuh permukaan lantai atau tanah,
posisiyang sangat rendah, dengan maksud Allah angkat
derajat hamba yang merendah itu. Ketinggian malaikat
juga dinilai dari mentaati perintah Allah untuk sujud
kepada Adam. Sementara keengganan untuk
sujud merendah Iblis, menyebabkan ia harus turun
derajat terlempar jauh ke lembah kehinaan.
Kesombongan adalah jalan kenistaan.
Ibnu Abbas Ra dalam HR Attirmidzi dan At
Thabranimenceritakan kepada kita ketika Rosulullah SAW
ditanya apa yang dimaksud dengan derajat (wa maa ad
darojaat ?) Beliau menegaskan pertama menyebarkan
salam ( ifsyaa-us salaam ), kedua sedekah memberi makan
( ith’aamuth tho’aam ), ketiga shalat malam (As sholaatu
bil laili wan naasu niyaam ), dan keempat melembutkan
perkataan (layyinul kalaam ). Seluruhnya itu
menggambarkan kerendahan hati seorang hamba.
Kini seandainya para pemimpin kita baik mereka yang
menjabat di jajaran birokrasi ataupun menjadi anggota
parlemen atau para pempimpin informal memiliki
karakter yang rendah hati, insya Allah, Allah SWT akan
mengangkat derajat mereka ke tempat yang tinggi.
Tetap berkhidmah pada rakyat dan umat dengan
meminimalkan keistimewaan diri dari yang lainnya. Tidak
seperti fenomena yang nampak dimana jabatan yang
semakin tinggi justru membuat diri semakintinggi hati,
ke bawahan main perintah, selalu ingin dikawal dan
dihormati, bersalaman tegak yang lain
membungkuk lalu cepat melepaskannya, dan suka dengan
layanan upeti atau gratifikasi.
Istimewa. Sementara mereka yang menjadi anggota
parlemen baik di pusat maupun daerah menunjukkan
perilaku dan gaya hidup yang jauh berbeda dengan
sebelum terpilih menjadi anggota. Orang sering
menyebut OKB orang kaya baru atau orang kuasa baru.
Dandanan baru, mobil baru, rumah baru, gaya hidup
baru.
Elitis bak selebritis. Kerendahan hati telah tergadai
mungkin oleh biaya politik yang tinggi. Persoalannya
adalah kewibawaan menjadi hilang, penghargaan publik
sirna, celotehan mencibir menjadi pembicaraan
harian. Para pemimpin yang telah kehilangan kerendahan
hati.
Sebenarnya jabatan tinggi tidak mutatis
mutandis dengan derajat yang semakin
tinggi. Pragmatisme mengganti harga diri. Tak jarang
dengan rasa prihatin yang sangat mendalam dan
mengelus dada kita menyaksikan drama jabatan yang
berakhir di jaket pesakitan yang memalukan.
Saatnya untuk mengembalikan makna ketinggian derajat
sesuai dengan hakekatnya. Semua tugas dan amanah
diakses untuk sebesar-besar kepentingan orang banyak.
Bukansebaliknya, orang banyak yang ditunggangi untuk
membuat kita jadi penting. Allah lah yang memuliakan
dan menghinakan. Kekuasaan adalah milik-Nya.
“ Katakanlah (Wahai Muhammad) ’Wahai Tuhan pemilik
kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari
siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa
yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun
yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkau-lah segala
kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS Ali Imron 26).
(HM. Rizal Fadillah)