Iktikaf

Salah satu menu spiritual dari paket rahmat Ramadhan
yang relatif kurang banyak mendapat perhatian dan
pengamalan dari umat Islam adalah iktikaf. Padahal
ibadah ini sungguh memberi kenikmatan dan kepuasan
spiritual tersendiri.
Menurut riwayat Ibn Umar, Anas, dan Aisyah RA bahwa
Nabi SAW selalu melakukan iktikaf pada sepuluh hari
terakhir di bulan Ramadhan sejak datang di kota Madinah
hingga beliau wafat. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Secara bahasa iktikaf berarti: berdiam diri, menetapi dan
menekuni sesuatu, yang baik maupun yang buruk.
Pemaknaan ini didasarkan pada ayat: “ Ingatlah ketika
Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: patung-
patung apakah ini yang kamu tekun beribadah
kepadanya ?” (QS. al-Anbiya’/21: 52) “… Dan janganlah
kamu campuri mereka (istri) sedang kamu beri’tikaf di
dalam masjid…” (QS. al-Baqarah/2: 187).
Pada ayat pertama (al-Anbiya’: 52), iktikaf berkonotasi
tekun menyembah berhala (syirik), sedangkan pada ayat
kedua (al-Baqarah: 187) menunjukkan tekun beribadah di
masjid (tauhid).
Esensi iktikaf adalah diam diri, menahan diri (dalam
beribadah), tekun, penuh konsentrasi dan konsistensi (al-
dawam alaih ) dalam ketaatan dan kedekatan spiritual
dengan Allah melalui tazkiyatun nafs di masjid.
Tujuan utama iktikaf adalah mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan menyucikan hati dan pikiran, serta
selalu merasa diawasi oleh Allah.
Iktikaf melatih berkonsentrasi, membiasakan tekun
beribadah semata-mata karena mengharap ridha-Nya;
dan membelajarkan diri untuk khusyu’ , penuh ketaatan,
konsentrasi, dan konsistensi dalam beribadah di rumah-
Nya, bukan di rumah sendiri.
Iktikaf memberi ruang kesadaran spiritual bagi kita untuk
kembali menata dan meluruskan mindset kita bahwa
kesibukan duniawi itu tidak pernah ada habisnya dan
tidak abadi.
Kesibukan duniawi tidak boleh melengahkan dan
melupakan Muslim dari mengingat Allah (dzikrullah ) di
rumah-Nya yang suci dan di bulan-Nya yang suci.
Yang abadi dan menjadi bekal kehidupan ukhrawi adalah
spiritualisasi diri dengan tekun dan khusyu’ beribadah
kepada-Nya, di saat kebayakan orang ramai sibuk dalam
urusan duniawi.
Iktikaf merupakan cerminan dari hamba Allah yang taat,
patuh, tunduk, dan khusyu’ dalam beribadah kepada-Nya.
Iktikaf menyadarkan kita pentingnya menyisakan ruang
dan waktu dalam diri kita untuk berada dalam masjid.
Sehingga spiritualisasi diri melalui iktikaf ini dapat
melejitkan kecerdasan spiritual dan moral yang tangguh.
Buahnya adalah perilaku moral yang luhur, berupa
keteladanan terhadap sifat-sifat dan nama-nama terbaik
Allah (al-asma’ al-husna).
Ketekunan duniawi tidak ada artinya jika tidak diimbangi
dengan ketekunan ukhrawi. Iktikaf adalah sarana
pendekatan diri kepada Allah yang paling tulus.
Iktikaf mengharuskan kita melepaskan diri dari keasyikan
duniawi, menuju kesucian hati dan kedekatan ruhani
kepada sang Maha Pencipta dan Pemilik kehidupan ini
melalui transit beberapa saat di rumah-Nya.
Dengan iktikaf , kecerdasan spiritual kita menjadi lebih
meningkat dan menguat, sehingga kita tidak mudah
tergoda oleh hiruk-pikuk materialism dan hedonism
keduniawiaan yang semu dan sesaat.
Sebagai aktualisasi dari sunah Nabi SAW, alangkah
meruginya jika momentum Ramadhan ini tidak diisi
dengan iktikaf .
Menikmati iktikaf sejatinya harus menjadi komitmen
setiap Muslim yang merindukan surga. Sebab, tradisi
baik (sunah) Nabi SAW ini diamalkan dengan tekun dan
khusyu’, niscaya kebugaran spiritual kita menjadi lebih
meningkat.
Sehingga hati dan pikiran kita semakin dapat dengan
mudah menangkap sinyal-sinyal Ilahi dalam menjalani
kehidupan di masa depan.
Sungguh indah dan nikmat, jika di saat masjid-masjid
mulai lengang ditinggalkan sebagian pelanggan
jama’ahnya , kita bisa melakukan transformasi hati dan
pikiran duniawi ke dalam kesucian hati dan pikiran di
rumah-Nya.
Yang sangat dibutuhkan untuk beriktikaf adalah
komitmen hati dan disiplin beribadah dengan tulus ikhlas
di rumah-Nya, bukan di rumah masing-masing.
‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa  “ Jika memasuki sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan, maka Rasulullah SAW
selalu mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan
malam-malamnya, dan membangunkan
keluarganya .” (HR. Bukhari-Muslim).
( Muhbib Abdul Wahab)