Puasa dan Musafir

Dalam sebuah kesempatan, Pak Enang, sopir yang biasa
mengantar kami keluar kota bercerita tentang seorang
ustaz yang tidak berpuasa Ramadhan dalam perjalanan.
Menurut Pak Enang, perjalanan itu cukup ringan, yakni
Bandung-Jakarta.
Ia berpendapat, rukhshah (keringanan ) berpuasa itu ada
dikarenakan pada masa lalu di zaman Rasulullah SAW,
safar (perjalanan) itu cenderung berat dan menyulitkan.
Karena merasa kuat, Pak Enang tetap berpuasa dan sang
ustaz berbuka.
Safar berarti menempuh perjalanan. Secara syariat, safar
berarti meninggalkan tempat bermukim dengan niat
menempuh perjalanan menuju suatu tempat.  Kata safar
diambil dari bahasa Arab yang berarti tampak.
Disebut demikian karena ia menampakkan wajah asli dan
akhlak seorang musafir . Seseorang yang bepergian
dinamakan musafir . Musafir dikenali dari wajahnya,
pakaiannya, dan bekalnya. Dan bepergian juga
menyebabkannya dikenal banyak orang.
Ada banyak pendapat ulama dalam menentukan batas-
batas safar. Namun, keumuman mengambil batas jarak
safar seperti pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i, dan
Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan minimal
berjarak empat burud atau 16 farsakh atau setara dengan
89 km atau tepatnya 88,704. (Kitab al-Fiqhul Islami, karya
Dr Wahbah al-Zuhaili).
Namun, ada juga yang berpendapat, jaraknya sekitar tiga
mil atau perjalanan tiga hari dengan unta. Namun, ketika
tidak ada pembatasan jarak safar dalam syariat (nash ),
maka pembatasan safar kembali kepada ' urf (kebiasaan
masyarakat).
Ibnu Qudamah dan yang lain berpendapat, batasan safar
kembali pada ' urf. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya al-'Allamah Ibnul
Qayyim. ( Al-Mughni, 2/542-543, Al-Majmu' , 4/150, Majmu'
Al-Fatawa, 24/21).
Sedangkan rukhshah bermakna keringanan, kemudahan.
Diperbolehkan bagi musafir untuk tidak berpuasa dalam
keadaan safar. Sebagian sahabat pada masa Rasulullah
SAW berpuasa dan sebagian lagi berbuka dan kedua
golongan itu tidak menyimpang dari ajaran Nabi SAW.
Hamzah Aslami bertanya kepada Rasulullah SAW, “ Ya
Rasulullah, aku merasa kuat untuk berpuasa dalam
perjalanan. Salahkah aku apabila melakukannya ?”
Rasulullah SAW bersabda, “Itu adalah keringanan dari
Allah Ta'ala. Barang siapa yang menerimanya, itu adalah
baik, dan siapa yang masih berpuasa, maka tidak ada
salahnya. ” (HR Muslim, Fiqh Sunnah, karya Sayyid Sabiq).
Lihat juga al-Baqarah [2]: 184.
Jika dalam keadaan safar, mana yang lebih utama, puasa
atau berbuka? Para fuqaha berbeda pendapat. Imam Abu
Hanifah, Syafi'i, dan Malik berpendapat puasa lebih
utama bagi yang kuat melakukannya. Sedangkan berbuka
lebih utama bagi orang yang tidak kuat berpuasa.
Menurut Imam Ahmad, berbuka lebih afdhol. Sedangkan
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Yang lebih afdhol adalah
yang lebih mudah. Maka, orang yang lebih mudah
baginya berpuasa ketika itu dan sulit baginya akan meng-
qadha kemudian hari, maka lebih utama ia berpuasa .”
Pak Enang bercerita, dalam perjalanan itu sang ustaz
kesulitan mencari restoran untuk berbuka. Hal ini
dikarenakan tak ada pengelola restoran yang buka selama
Ramadhan. Sang ustaz terpaksa turut menahan haus dan
lapar.
(Ustaz Erick Yusuf)