Kebahagiaan di Penghujung Ramadan

Dalam Hadits Qudsi Riwayat Bukhari, Muslim, dan Ahmad
Allah SWT menyatakan antara lain “... Orang yang
berpuasa akan mendapat dua kegembiraan. Apabila
berbuka ia merasa gembira (idza afthara fariha). Dan
apabila bertemu dengan Allah, ia gembira pula karena
puasanya (wa idza laqiya rabbahu fariha bishoumihi) ”.
Ketika seseorang berbuka, maka yang ada adalah
kenikmatan yang dirasakan saat itu karena ia
telah melepaskan dahaga atau enaknya hidangan yang
dimakannya. Haus dan beratnya hal hal yang harus dijaga
seharian selama berpuasa seolah tak berarti dan telah
hilang semua. Begitu juga setelah ditunaikan ibadah
selama sebulan penuh, dengan tibanya hari raya iedul
fitri, maka segala ‘penderitaan’ selama sebulan seolah
tak pernah ada. Demikianlah sesungguhnya yang
dirasakan adalah saat itu, saat yang terakhir.
Dalam Hadits Qudsi shahih yang lain cukup menarik
tergambarkan bahwa Allah mengingatkan kita untuk
mewaspadai saat saat akhir seperti di atas. Anas Bin
Malik menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda
“ Sebagian orang orang penyembah kenikmatan dunia,
yang akan menjadi penghuni neraka, dipanggil pada hari
Kiamat. Ia dibenamkan satu kali benaman ke dalam
neraka. Lalu ditanya kepadanya ‘Hai manusia, apakah
engkau merasakan ada kebaikan barang sedikitpun ?
Apakah masih terasa  nikmat  yang engkau rasakan dulu
itu ? Dia menjawab ‘Tidak ada wahai Tuhanku  ! Aku sama
sekali tidak merasakan ada kebaikan yang pernah
kurasakan dan terasa tidak ada kenikmatan yang pernah
aku rasakan’.  Lalu dipanggilah orang yang paling
sengsara di dunia namun calon ahli surga. Dia
dibenamkan ke dalam surga satu kali. Kemudian dia
ditanya ‘Wahai manusia ! Apakah engkau merasakan
kesengsaraan ? Pernahkah engkau merasakan kesusahan
luar biasa ? Dia menjawab ‘Tidak pernah wahai Tuhan!
Sama sekali aku tidak pernah merasa sengsara dan tidak
merasakan kesusahan” (HQR Muslim, Ahmad, dan Ibnu
Hiban).
Dari Hadits ini jelaslah bahwa senang dan susah itu
dirasakan pada akhirnya. Ini tentu menjadi alasan
bahwa  kita sebagai makhluk ciptaan Allah patut untuk
berkeyakinan pada apa apa yang dijanjikan Allah tentang
hidup di kemudian hari. Tidak terbuai oleh fatamorgana
kehidupan sekarang dan tidak pula berputus asa
dengan apa yang menimpa saat ini.
Teringat kita bagaimana pelajaran dari perjalanan Nabi
Musa dengan Nabi khidr. Betapatidak mengertinya Nabi
Musa dengan peristiwa yang bermuara makna pada
akhirnya. Baik ketika perahu dibocorkan, ketika anak
dibunuh, maupun ketika rumah buruk dibangun. Semua
direspons negatif, penuh pertanyaan dan dikritisi. Bagi
Musa pejuang kebenaran dankeadilan sungguh tidak
bisa diterima perbuatan “sang Guru” yang membocorkan
perahu milik nelayan miskin dan membunuh anak yang
tak berdosa.
Ini adalah suatu bentuk kezaliman.
Namun setelah Nabi Khidr menjelaskan akhirnya
mengerti juga Nabi Musa  akan nilai tinggi
pelajaran kehidupan itu. Membocorkan perahu adalah
tindakan penyelamatan agar perahu “jelek” tersebut tak
terampas oleh penguasa otoriter. Membunuh anak adalah
perbuatan untuk menyelamatkan sang anak agar tak kafir
saat dewasa dan tak mengkafirkan orang tuanya. Begitu
juga rumah “reyod” di lokasi yang jauh dari sana
sini dibangun untuk kebaikan anak yatim yang kelak akan
menemukan harta di rumah itu. Seluruhnya adalah untuk
dirasakan bahagia di akhir.
Shaum Ramadhan kita akan berakhir.
Optimalisasi ibadah saat ini adalah pilihan cerdas. Bulan
yang penuh berkah dan bertaburan bonus dari  Allah ini
sebentar lagi akan meninggalkan kita. Alangkah sayang
jika kalimat perpisahannya adalah kesia-siaan, bukan
khazanah makna. Begitu indah perintah ibadah dari Allah
ini. Kesehatan, ketabahan, saling menyayangi, hidup
berbagi, serta kemudahan rezeki sangat terasa
mendatangi. Baru kita mengerti mengapa para sahabat
menjadikan Ramadhan sebagai terminal.
Enam bulan sebelum tiba, mereka menanti-
nanti datangnya Ramadhan. Enam bulan setelah lewat
mereka masih terikat dengan Ramadhan, khawatir amal
shaum tak diterima dan berharap hasil Ramadhan
menjadi modal untuk menjangkau kasih sayang dan
ampunan Allah SWT sampai Ramadhan berikutnya.
Bahagia di akhir merupakan tantangan sekaligus harapan.
Mereka yang memandang ada kebahagiaan di akhir, akan
memancarkan cahaya optimistik di wajahnya. Melangkah
dengan pasti menebar kebajikan ke kanan dan ke
kiri. Sebenarnya kita tidak perlu bersusah payah
menarik-narik tangan Ilahi, karena Allah lah yang akan
menarik badan dan jiwa sang hamba ke haribaan-Nya
yang abadi.
( HM Rizal Fadillah)