Menghormati Orang Tidak Perpuasa

Dalam hukum fikih, puasa diwajibkan hanya kepada
orang-orang yang telah memenuhi persyaratan. Tanpa
syarat tersebut terpenuhi, maka hukum puasa menjadi
gugur. Beberapa syarat wajibnya puasa adalah : 1).
Muslim, yaitu pemeluk agama Islam. 2). Mukallaf, yaitu
orang yang berakal sehingga terkena kewajiban
melakukan ibadah. 3). Mampu (menjalankan) puasa. 4).
Menetap di suatu tempat (tidak bepergian). 5). Tidak
memiliki penghalang.
Lantas, bagaimana dengan orang yang tidak wajib
berpuasa Ramadhan? Berdasarkan syarat tersebut,
seseorang tidak wajib berpuasa manakala: Pertama, Non
Muslim (tidak beragama Islam). Jika kita melihat data
sensus penduduk BPS tahun 2000-2010, jumlah pemeluk
agama Islam 87,18%. Berarti sisanya sebesar 12.82%,
yakni 30.465.617,99 adalah non muslim, dari total
237.641.326 jiwa.
Kedua, anak kecil dan orang yang tidak berakal (gila).
Jumlah anak Indonesia (0-18 tahun) menurut BPS tahun
2006 mencapai 79,8 juta anak. Jika separuhnya saja
belum tidak berpuasa, berarti 39,9 juta jiwa. Belum lagi
ditambah dengan jumlah orang gila. Ketiga,  orang sakit,
atau lanjut usia. Data BPS menunjukkan penduduk lanjut
usia di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 14.439.967
jiwa (7,18 persen), selanjutnya pada tahun 2010
meningkat menjadi 23.992.553 jiwa (9,77 persen). Sebuah
jumlah yang tidak sedikit.
Keempat, orang yang dalam perjalanan. Berdasarkan data
Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub, jumlah
penumpang yang diangkut maskapai nasional berjadwal
pada 2012 mencapai 72,4 juta orang, terdiri atas 63,6
juta penumpang domestik dan 8,8 juta penumpang
internasional. Sedangkan berdasarkan data BPS, jumlah
penumpang angkutan kereta api pada 2012 mencapai
202,2. Belum lagi pengguna kapal laut, kendaraan umum,
kendaraan pribadi dan sebagainya. Apalagi jika mudik
yang terjadi pada H-7 dan H+7 lebaran. Mereka yang
dalam perjalanan mendapatkan ru’soh dengan tidak
berpuasa.
Kelima, perempuan yang sedang mengalami haid atau
nifas setelah melahirkan. Dalam pendataan penduduk
oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk
Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai
259.940.857. Jumlah ini terdiri atas 132.240.055 laki-laki
dan 127.700.802 perempuan. Jika jumlah perempuan
tersebut 25% dalam keadaan haid atau habis melahirkan
(nifas), maka berarti ada 31.925.0005 perempuan yang
tidak berpuasa.
Angka-angka tersebut, tentu saja bisa diperdebatkan.
Tetapi syariat yang tidak mewajibkan lima golongan
orang tidak berpuasa, memilki landasan hukum yang
kuat, yakni bersumber dari Al Qur’an, hadits dan ijma
ulama. Pertanyaannya, lantas bagaimana Islam
memberikan tuntutan untuk menghormati orang yang
tidak berpuasa?
Pertama, secara alamiah, manusia diciptakan dalam
bentuk yang berbeda. “Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”. (QS Al Hujurat 13). Dengan demikian,
perbedaan yang terjadi di dunia ini merupakan
sunatullah.
Kedua, kita harus mengembangkan sikap dan prasangka
positip (husnudzon) terhadap perbedaan, baik itu suku,
agama, ras, golongan, dan jenis kelamin. Meniadakan
perbedaan adalah sesuatu yang mustahil. Karena itu kita
diperintahkan untuk bersikap positif dalam menerima
perbedaan. Tidak sekedar menerima perbedaan
koeksistensi sosiologis, tetapi memahamai sumber-
sumber perbedaan dan menerima mereka yang berbeda
sebagai bagian integral masyarakat. (Mu’ti, 2009).
Al Qur’an menegaskan “Tiada paksaan untuk (memeluk)
agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
dari jalan yang sesat. “ (QS. Al-Baqarah : 256). Dalam ayat
lain dikatakan“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah
semua orang yang di muka bumi ini beriman. Maka
apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya seluruh
mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (QS. Yunus :
99). Begitu juga dalam surat Al-Kahf : 29 dan Al-An’am :
107.
Ketiga, kewajiban untuk membangun tanggung jawab
sosial bersama. Berbeda bukan berarti tidak bisa
bergotong royong. Bahkan semua ajaran agama dan
tradisi budaya masing-masing suku di Indonesia
mengajarkan untuk saling membantu, sinergi dan
berbagi. Dalam kehidupan masyarakat, kita mengenal
budaya dan tradisi asah, asih dan asuh, pela gendong,
gotong rotong dan sebagainya. Meski secara teologis dan
sosiologis bersifat ekslusiv, agama dan budaya memiliki
universalitas misi kemanusiaan.
Dalam Islam, keimanan seseorang tidak akan sempurna
jika tidak diimbangi dengan amal saleh; yakni berbuat
kebajikan yang memberikan manfaat untuk sesama. Al
Qur’an menegaskan. “Dan tolong menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya. (QS An-Nisa 2).
Keempat. Memfasilitasi dan mengakomodir mereka yang
berbeda, sehingga dapat menjalankan agama sesuai
keyakinannya. Dalam piagam Madinah, semua komunitas
tanpa membedakan agama dan etnis, disebut sebagai
“ummat”. Sebagai penghormatan terhadap tamu dan
keyakinan, Nabi Muhammad Saw mengizinkan kaum
Nasrani Najran menunaikan salat di Masjidnya (Mu’ti,
2009). Al Qur’an menegaskan ”Apabila kamu diberi
penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang
serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala
sesuatu”  (QS. An Nisa: 86)
Dengan demikian, jika ada warung makan atau restoran
yang tetap buka di siang hari pada bulan puasa, jika
dalam konteks adalah memfasilitasi orang-orang yang
tidak berpuasa, maka tentu kita harus bersyukur. Karena
masih ada kepedulian terhadap mereka yang tidak
berpuasa. Tentu  saja dengan syarat tidak buka secara
sembarangan, tetapi dengan tetap menjaga dan
menghormati mereka yang berpuasa. Wallahua’lam

Faozan Amar
(Direktur Al Wasath Institute dan Dosen Studi Islam
UHAMKA)