Pesantren Tebu Ireng Dibangun Dekat Tempat 'Mesum'



Pesantren Tebu Ireng Dibangun Dekat Tempat 'Mesum'
Siti Ruqoyah, Dody Handoko
Selasa, 4 Agustus 2015, 06:50 WIB

VIVA.co.id - Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula tahun 1870 oleh pemerintah Belanda mengizinkan pihak swasta (Eropa) membuka usaha perkebunan di Hindia Belanda.

Di Jombang, didirikan Pabrik Gula (PG) Tjoekir yang sekarang terletak dekat dengan pesantren Tebu Ireng. Pendirian pesantren dekat dengan pabrik PB gula Tjoekir ternyata mempunyai hubungan sejarah.


Kisah Pilu Asmara Inggit Garnasih dengan Bung Karno
Kisah itu ditulis di buku Guru Sejati Hasyim Asy’ari: Pendiri Pesantren Tebu Ireng yang Mengakhiri Era Kejayaa Kebo Ireng dan Kebo Kicak.

PG Tjoekir didirikan pemerintah Hindia Belanda dengan berbagai cara yang memaksa masyarakat menjadi tergantung kepada mereka. Mengambil lahan pertanian milik rakyat untuk lokasi pabrik dan perkebunan tebu tanpa memberi ganti rugi, menjadikan mereka buruh pabrik, menghidupkan premanisme untuk menjadi centeng .

“Tempat itu menjadi lokalisasi, judi, perdukunan, tempat hiburan malam , tayub, wayang, prostitusi,” ujar budayawan Jombang, Dimas Cokro Pamungkas.

Penduduk Sumoyono menyebut lokasi itu dengan nama Kebo Ireng. Kebo Ireng dikendalikan seorang jawara bernama Joko Tulus. Ketokohan Joko Tulus di Kebo Ireng ibarat raja kecil, sehingga masyarkat menjulukinya Kebo Kicak.

Masyarakat yang pada awalnya adalah petani yang memiliki lahan-lahan pertanian kemudian terpaksa menjadi buruh pabrik. Setiap malam buruh pabrik asyik di lokalisasi, hiburan malam dan perjudian. 

“Uang mereka habis, mereka terpaksa berutang dan secara tidak langsung mereka harus menjadi buruh pabrik lagi untuk mendapatkan uang dan bersenang-senang kembali,” kata Dimas.

Praktik perdukunan juga berkembang pesat yang digunakan bila ada orang yang sakit, mengawali masa tanam tebu, dan mengusir makhlus halus yang mereka yakini ada di dalam pabrik.

Pondok Pesantren yang ada pada masa itu adalah Pesantren Sumoyono yang diasuh Kyai Sumoyono. Salah satu murid terbaiknya bernama Surontanu. Kebo Kicak dan Wiro, pemimpin padepokan Kebo Ireng, merupakan kakak tingkat Surontanu di pesantren. Namun kedua orang itu lebih memilih menjadi tangan kanan Belanda. 

Kondisi yang sangat jauh dari nilai-nilai agama ini berlangsung bertahun-tahun. Kyai Sakiban dan beberapa rekannya merasa harus berbuat sesuatu dengan meminta bantuan Kyai muda, Hasyim Asy’ari, untuk memperbaiki akhlak masyarakat di dusun Cukir.

Ia mempunyai ide mendirikan pondok pesantren di sekitar lokasi pabrik. Maka Sakiban memberikan wakaf sebidang tanah sebelah Utara Pabrik Cukir sebagai lokasi pondok pesantren. Hasyim Asy’ari bersama Sakiban dan Alwi memulai merintis pendirian pondok pesantren.

Pada mulanya pondok pesantren ini hanya padepokan silat dan pengobatan. Itu untuk mengelabui Belanda yang selalu mencurigai pendirian pondok pesantren. Bahkan, Sakiban mendatangkan beberapa santri dari berbagai daerah yang menguasai ilmu kanuragan.

Keahliannya dalam bercocok tanam juga membuat masyarakat sekitar semakin kagum dengannya. Setiap pagi ia berpesan kepada para santrinya , “Jangan lupa, setiap hendak mengawali bercocok tanam tubuh kita harus menghadap ke kiblat, dan ketika bibit mulai ditanam kita harus baca shalawat sebanyak 3 kali, “ kata dia.

Tujuh tahun sejak berdirinya pondok pesantren, nama Hasyim Asy’ari semakin dikenal masyarakat. Hasyim Asy’ari menginginkan pesantren itu memiliki nama yang bisa menjadi pengingat sebuah perubahan. Tebu Ireng adalah nama pesantren itu.

“Nama ini memiliki nilai filosofis yang berarti tebu yang paling baik jenisnya adalah tebu ireng, batang tebu yang berwarna hitam. Dari tebu jenis yang paling baik inilah kita berharap dan atas izin Allah akan menghasilkan gula yang paling bermutu dan bernilai jual tinggi,”kata Dimas.




© VIVA.co.id