Gus Dimas |
Seperti diwartakan dalam banyak hadis sahih, Rasulullah SAW selalu menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Dalam bahasa Arab, kegiatan penyambutan ini dinamai tarhib. Dalam sejumlah sabdanya, Nabi SAW selalu menegaskan kebesaran dan keagungan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah (syahrun mubarak) serta bulan yang di dalamnya ada “malam seribu bulan”. (HR Baihaqi dari Salman Al-Farisi).
Kegiatan penyambutan (tarhib) ini penting sebagai manifestasi dari kerinduan kita kepada Ramadhan. Paling tidak ada empat pesan yang bisa dipahami di balik penyambutan ini.
Pertama, filosofi tarhib ini mengindikasikan secara nyata bahwa apa yang disambut, yaitu Ramadhan dan kebaikan yang ada di dalamnya, adalah hal yang sangat istimewa. Karena pada kenyataannya, kita hanya menyambut hal-hal yang besar dan istimewa.
Kedua, secara kejiwaan (psikologi), tarhib memperlihatkan suasana hati yang riang dan gembira. Hal ini disebabkan paling tidak oleh dua hal. Pertama, Ramadhan bisa diibaratkan sebagai “tamu agung” yang mau menemui kita. Kedua, Ramadhan adalah “momentum”, yakni momentum perubahan dan perbaikan diri, baik sebagai individu maupun umat. Sebagaimana diketahui, momentum tak setiap saat datang.
Ketiga, tarhib bermakna memperbarui komitmen atau memasang niat (motivasi) yang kuat. Komitmen ini perlu karena ia menjadi salah satu faktor yang menentukan kualitas kerja dan kesuksesan. “Innama al-a`mal bi al-niy yat.” (HR Muslim dari Umar ibn Al-Khathab).
Sebagian ulama memahami niat (motivasi kerja) sebagai syarat sahnya perbuatan. Sebagian lagi memahami sebagai syarat kesempurnaan. Ada lagi yang memahami sebagai pencipta (penggerak) perbuatan (al-mujid li al-`amal). Menurut pendapat yang ketiga ini, tidak dapat dibayangkan timbul atau lahir suatu tindakan tanpa niat karena ia pencetusnya. Di sinilah pentingnya niat (motivasi).
Kempat, tarhib adalah langkah awal menuju dan meraih prestasi, yaitu takwa. La`allakum tattaqun (QS Al-Baqarah [2]: 183). Penting dicatat, perintah puasa dalam ayat ini diawali dengan seruan indah, “Hai orang-orang yang beriman.” Dalam tafsir ayat al-shaum, Syekh Sayyid Thanthawi, mantan Syekh Al-Azhar, memandang ser an (nida’) ini memiliki makna penting bagi tercapainya prestasi puncak bernama takwa.
Seruan ini, dalam pandangan Thanthawi, dimaksudkan untuk menggerakkan dan menggelorakan semangat iman dalam hati kaum beriman (li tahrik hararat al-iman fi qulub al-mu`minin). Juga dimaksudkan untuk mengingatkan mereka bahwa watak dan karakter dari kaum beriman adalah “mendengar dan patuh” ( al-sam`u wa al-tha`ah). (QS Al-Ahzab [33]: 36).
Watak lain dari kaum beriman adalah jujur dan bersungguh-sungguh (al-shidq). Kesungguhan ini, bagi Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarij Al-Salikin, meliputi tiga aspek sekaligus, yaitu kesungguhan dalam niat seperti dikemukakan (al-shidq fi al-niyyah), kesungguhan dalam kata-kata (al-shidq al-qaul), dan kesungguhan dalam tindakan (al-shidq fi al-`amal). Semoga puasa kita pada tahun ini menjadi lebih baik. Wallahua`lam.
Dalam bahasa Arab, kegiatan penyambutan ini dinamai tarhib. Dalam sejumlah sabdanya, Nabi SAW selalu menegaskan kebesaran dan keagungan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah (syahrun mubarak) serta bulan yang di dalamnya ada “malam seribu bulan”. (HR Baihaqi dari Salman Al-Farisi).
Kegiatan penyambutan (tarhib) ini penting sebagai manifestasi dari kerinduan kita kepada Ramadhan. Paling tidak ada empat pesan yang bisa dipahami di balik penyambutan ini.
Pertama, filosofi tarhib ini mengindikasikan secara nyata bahwa apa yang disambut, yaitu Ramadhan dan kebaikan yang ada di dalamnya, adalah hal yang sangat istimewa. Karena pada kenyataannya, kita hanya menyambut hal-hal yang besar dan istimewa.
Kedua, secara kejiwaan (psikologi), tarhib memperlihatkan suasana hati yang riang dan gembira. Hal ini disebabkan paling tidak oleh dua hal. Pertama, Ramadhan bisa diibaratkan sebagai “tamu agung” yang mau menemui kita. Kedua, Ramadhan adalah “momentum”, yakni momentum perubahan dan perbaikan diri, baik sebagai individu maupun umat. Sebagaimana diketahui, momentum tak setiap saat datang.
Ketiga, tarhib bermakna memperbarui komitmen atau memasang niat (motivasi) yang kuat. Komitmen ini perlu karena ia menjadi salah satu faktor yang menentukan kualitas kerja dan kesuksesan. “Innama al-a`mal bi al-niy yat.” (HR Muslim dari Umar ibn Al-Khathab).
Sebagian ulama memahami niat (motivasi kerja) sebagai syarat sahnya perbuatan. Sebagian lagi memahami sebagai syarat kesempurnaan. Ada lagi yang memahami sebagai pencipta (penggerak) perbuatan (al-mujid li al-`amal). Menurut pendapat yang ketiga ini, tidak dapat dibayangkan timbul atau lahir suatu tindakan tanpa niat karena ia pencetusnya. Di sinilah pentingnya niat (motivasi).
Kempat, tarhib adalah langkah awal menuju dan meraih prestasi, yaitu takwa. La`allakum tattaqun (QS Al-Baqarah [2]: 183). Penting dicatat, perintah puasa dalam ayat ini diawali dengan seruan indah, “Hai orang-orang yang beriman.” Dalam tafsir ayat al-shaum, Syekh Sayyid Thanthawi, mantan Syekh Al-Azhar, memandang ser an (nida’) ini memiliki makna penting bagi tercapainya prestasi puncak bernama takwa.
Seruan ini, dalam pandangan Thanthawi, dimaksudkan untuk menggerakkan dan menggelorakan semangat iman dalam hati kaum beriman (li tahrik hararat al-iman fi qulub al-mu`minin). Juga dimaksudkan untuk mengingatkan mereka bahwa watak dan karakter dari kaum beriman adalah “mendengar dan patuh” ( al-sam`u wa al-tha`ah). (QS Al-Ahzab [33]: 36).
Watak lain dari kaum beriman adalah jujur dan bersungguh-sungguh (al-shidq). Kesungguhan ini, bagi Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarij Al-Salikin, meliputi tiga aspek sekaligus, yaitu kesungguhan dalam niat seperti dikemukakan (al-shidq fi al-niyyah), kesungguhan dalam kata-kata (al-shidq al-qaul), dan kesungguhan dalam tindakan (al-shidq fi al-`amal). Semoga puasa kita pada tahun ini menjadi lebih baik. Wallahua`lam.
(A Ilyas Ismail)