Gus Dimas & Ryo |
Salah satu hikmah penting puasa, menurut Yusuf Qaradhawi, adalah
mendidik dan merawat jiwa (tazkiyat al-nafs) agar tetap bersih dan patuh
kepada Allah SWT, dengan melakukan semua perintah dan menjauhi semua
larangan-Nya.
Dalam Alquran, jiwa (nafs) menunjuk kepada berbagai kecenderungan yang ada dalam diri manusia, kecenderungan yang buruk, destruktif (fujur) maupun kecenderungan yang baik, konstruktif (takwa). (QS al-Syams [91]: 7-10).
Kesempurnaan jiwa, seperti ditunjuk ayat di atas, tidak sekali jadi atau taken for granted, tetapi dalam proses (on going process) menjadi sempurna. Kesempurnaannya memerlukan upaya perawatan dan penyucian diri yang harus dilakukan secara terus-menerus sepanjang waktu.
Dalam ajaran sufistik, penyucian diri atau perawatan jiwa itu secara umum dilakukan melalui tiga jalur.
Pertama, takhalli, yaitu proses bersih-bersih diri dengan mengosongkan sifat-sifat buruk atau tercela yang ada dalam jiwa kita. Takhalli merupakan proses awal yang harus dilakukan agar jiwa kondusif untuk perubahan dan perbaikan.
Kedua, tahalli, yang secara harfiah bermakna berhias atau bersolek (mempercantik diri). Setelah jiwa kondusif untuk pertumbuhan, perawatan jiwa selanjutnya dilakukan dengan tahalli, yaitu suatu proses menanamkan sifat-sifat baik dan mulia ke dalam jiwa. Dengan tahalli, manusia berusaha menghiasi diri dengan kualitas-kualitas moral atau keluhuran budi pekerti.
Ketiga, tajalli yang tak lain adalah performa kesempurnaan (takwa). Tajalli menunjuk pada orang yang mampu menyerap potensi-potensi kebaikan (ilahiyah) dan mengaktualisasikannya secara sempurna, sehingga ia menjadi manusia paripurna (insan kamil) seperti tampak pada diri nabi-nabi, terutama Nabi Muhammad SAW.
Ibadah puasa menjadi sangat penting sebagai media perawatan jiwa, karena secara intrinsik tiga jalur penyucian jiwa itu terkandung dalam ibadah puasa. Menurut Qaradhawi, ibadah puasa itu berintikan dua dimensi perjuangan yang secara bersama-sama harus diupayakan.
Pertama, dimensi pencegahan dan pengendalian (kaffun wa tarkun). Dalam ibadah puasa, seperti diketahui, terdapat banyak larangan. Orang yang berpuasa harus membersihkan diri dari berbagai keburukan dan akhlak tercela, sehingga Nabi SAW menyebut puasa sebagai perisai (junnah) dari dosa-dosa dan kejahatan (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Di sini terdapat proses takhalli dalam ibadah puasa.
Kedua, dimensi tindakan dan perbuatan (fi`lun wa `amalun). Selain menahan diri dari berbagai godaan, orang yang berpuasa diminta agar berbuat dan melakukan berbagai kebajikan dan amal saleh, seperti memberi makan dan buka kepada orang-orang yang berpuasa, meperbanyak sedekah, serta peduli kepada orang-orang tidak mampu. Ini semua, tak lain dan tak bukan, merupakan proses tahalli dalam ibadah puasa.
Sedangkan, tajalli mengejawantah dalam “prestasi puncak” bernama takwa. Ini berarti, penyucian diri dan perawatan jiwa yang dikelola melaui ibadah puasa, diharapkan benar-benar dapat mengantar kaum beriman menggapai takwa. Wallahu a`lam.
Dalam Alquran, jiwa (nafs) menunjuk kepada berbagai kecenderungan yang ada dalam diri manusia, kecenderungan yang buruk, destruktif (fujur) maupun kecenderungan yang baik, konstruktif (takwa). (QS al-Syams [91]: 7-10).
Kesempurnaan jiwa, seperti ditunjuk ayat di atas, tidak sekali jadi atau taken for granted, tetapi dalam proses (on going process) menjadi sempurna. Kesempurnaannya memerlukan upaya perawatan dan penyucian diri yang harus dilakukan secara terus-menerus sepanjang waktu.
Dalam ajaran sufistik, penyucian diri atau perawatan jiwa itu secara umum dilakukan melalui tiga jalur.
Pertama, takhalli, yaitu proses bersih-bersih diri dengan mengosongkan sifat-sifat buruk atau tercela yang ada dalam jiwa kita. Takhalli merupakan proses awal yang harus dilakukan agar jiwa kondusif untuk perubahan dan perbaikan.
Kedua, tahalli, yang secara harfiah bermakna berhias atau bersolek (mempercantik diri). Setelah jiwa kondusif untuk pertumbuhan, perawatan jiwa selanjutnya dilakukan dengan tahalli, yaitu suatu proses menanamkan sifat-sifat baik dan mulia ke dalam jiwa. Dengan tahalli, manusia berusaha menghiasi diri dengan kualitas-kualitas moral atau keluhuran budi pekerti.
Ketiga, tajalli yang tak lain adalah performa kesempurnaan (takwa). Tajalli menunjuk pada orang yang mampu menyerap potensi-potensi kebaikan (ilahiyah) dan mengaktualisasikannya secara sempurna, sehingga ia menjadi manusia paripurna (insan kamil) seperti tampak pada diri nabi-nabi, terutama Nabi Muhammad SAW.
Ibadah puasa menjadi sangat penting sebagai media perawatan jiwa, karena secara intrinsik tiga jalur penyucian jiwa itu terkandung dalam ibadah puasa. Menurut Qaradhawi, ibadah puasa itu berintikan dua dimensi perjuangan yang secara bersama-sama harus diupayakan.
Pertama, dimensi pencegahan dan pengendalian (kaffun wa tarkun). Dalam ibadah puasa, seperti diketahui, terdapat banyak larangan. Orang yang berpuasa harus membersihkan diri dari berbagai keburukan dan akhlak tercela, sehingga Nabi SAW menyebut puasa sebagai perisai (junnah) dari dosa-dosa dan kejahatan (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Di sini terdapat proses takhalli dalam ibadah puasa.
Kedua, dimensi tindakan dan perbuatan (fi`lun wa `amalun). Selain menahan diri dari berbagai godaan, orang yang berpuasa diminta agar berbuat dan melakukan berbagai kebajikan dan amal saleh, seperti memberi makan dan buka kepada orang-orang yang berpuasa, meperbanyak sedekah, serta peduli kepada orang-orang tidak mampu. Ini semua, tak lain dan tak bukan, merupakan proses tahalli dalam ibadah puasa.
Sedangkan, tajalli mengejawantah dalam “prestasi puncak” bernama takwa. Ini berarti, penyucian diri dan perawatan jiwa yang dikelola melaui ibadah puasa, diharapkan benar-benar dapat mengantar kaum beriman menggapai takwa. Wallahu a`lam.
(Dr A Ilyas Ismail)